Laksmi sudah mengajarkan sebuah pelajaran penting, jika kejujuran masih merupakan nilai luhur yang dapat mengantarkan kita kepada kehidupan yang baik. Mengambil jalan pintas bukanlah sebuah pilihan, hanya karena keadaan tidak berjalan sesuai kehendak. Saat ini Nanta benar-benar merindukan seseorang yang selalu bertanya dimana dia berada, saat dia belum pulang ke rumah di malam hari.
Celotehan Anjani menyadarkan Nanta dari lamunan. Tubuh yang menanggung beban hati membuat angin dengan mudah menerbangkan pikiran. Meliuk-liuk dimainkan rasa sakit yang enggan berlalu. Matanya menyorot bayi cantik dihadapannya. Anjani lebih mirip dengan Laksmi daripada dirinya. Kulitnya sawo matang, wajahnya menggemaskan dengan bola mata besar dan bening. Sore ini tubuhnya dibalut baju merah muda bertabur bulatan-bulatan kecil berwarna putih. Kedua telapak kakinya dibungkus kaos kaki bergambar Hello Kitty. Dengan rambut yang sudah disisir rapi, jidatnya dihiasi bando lucu dengan warna senada. Laksmi mempersembahkan Anjani dengan sempurna, kecuali takdirnya sendiri.
Saat itu kira-kira pukul 21.15 Wita. Laksmi tak kunjung bisa memejamlan mata. Punggungnya terasa nyeri, gerakan bayi dalam rahimnya menimbulkan kontraksi berulang melalui pinggang lalu ke panggul. Durasinya semakin cepat dari waktu ke waktu. Dia merasakan perutnya semakin lama semakin mengeras. Hari itu masih kurang tiga minggu dari tanggal perkiraan lahir. Laksmi memilih bangun dari tempat tidur lalu mondar mandir menuju dapur, kamar mandi, ruang keluarga, dan ke kamar tidurnya lagi. Dia nampak sangat gelisah.
Setetes bercak darah yang meluncur dari mulut rahim Laksmi berhasil menghentak malam. “Masss… antarkan aku ke rumah sakit. Ada darah keluar, sepertinya aku segera melahirkan.” seru Laksmi sambil menyambar tas bayi yang mematung hampir dua bulan di samping tempat tidur mereka. Sontak Nanta mengambil kunci mobil, dompet, dan telepon genggamnya. Dengan sigap dia mendorong pintu garase agar city car berwarna hitam yang terparkir disana segera dapat dipacu. Ini kehamilan pertama istrinya, setelah penantian sepuluh tahun dalam pernikahan. Dari arah Nusa Dua, Nanta memacu mobilnya dengan tergesa. Menurut perkiraan, dia membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan untuk sampai di rumah sakit ibu dan anak Bunda, yang berlokasi di jalan Gatot Subroto, Denpasar.
“Masss… perutku sakit sekali!” jerit Laksmi berkali-kali.
“Sabar ya, sayang! Sebentar lagi sampai” ucap Nanta berpura-pura tenang. Laki-laki mana yang bisa bernapas dengan teratur disaat seperti ini. “Masss…kabarin ibu dan ayah di Jakarta ya, bilang cucu pertama mereka mau lahir!“ pinta Laksmi sambil mengelus perut buncitnya. “Nanti aku telpon. Atur napasmu, jangan buang-buang energi!” seru Nanta mengingatkan. “Perasaanku kok tidak enak ya... Doakan aku ya, Mas!” pinta Laksmi lagi. “Sudahlah, jangan berpikir aneh-aneh. Itu pengaruh hormon kehamilan. Aku sudah sering baca di Google.” Nanta kembali menenangkan istrinya.
“Apakah kau sudah memutuskan nama anak kita nanti?” tanya Laksmi sambil meringis.
“Iya, sayang…sudah. Kamu atur napas lagi ya, jangan banyak bicara…!” ucap Nanta.
“Aku tetap pada pilihanku ya Mas, jika benar bayi kita lahir perempuan, beri dia nama Anjani.” Kali ini Nanta menjawab tanpa menoleh istri di sampingnya, “Iyaaa, sayang!”
Berkali-kali mesin mobil itu terdengar meraung karena pedal gas yang ditekan terlalu keras dan pedal kopling kurang diangkat. Situasi itu membuat Nanta melupakan cara mengemudi yang baik. “Bagaimana kalau aku dan dia tidak selamat?” wajah Laksmi mulai menegang. “Semua akan baik-baik saja. Aku sudah menelpon dokter Mira tadi. Dia akan segera ke rumah sakit tanpa menunggu info dari perawat jaga IGD.” Nanta berusaha fokus pada jalan di depan. Lututnya mulai gemetar. “Kalau aku mati, apakah kau akan menikah lagi?” tanya Laksmi dengan suara lirih. Dia mulai tersengal kesulitan mengambil napas. Melihat kondisi istrinya, Dwipa kembali menambah kecepatan mobil.
Keringat membasahi bajunya. Laksmi merasa seluruh tubuhnya kesemutan menahan rasa sakit yang tiada tara. Wajahnya memucat. “Aku tidak mau kehilangan bayi ini, bahkan jika aku harus mati sekalipun,” gumam Laksmi .
“Sabar ya, Dokter akan menolongmu!” seru Nanta.
“Dokter itu harus menyelamatkan bayi kita lebih dulu.” suara Laksmi terdengar melemah. Kontraksi beruntun yang terjadi di rahimnya membuat Laksmi tidak nyaman. “Ya, tentu. Mereka akan menyelamatkan kalian berdua. Jangan habiskan tenagamu, sayang.”
Nanta sudah kehilangan cara untuk menenangkan istrinya. Dia menangkap kegelisahan itu. Sebuah kekhawatiran akan proses persalinan yang sudah lama mereka tunggu. Mempertahankan akal sehat menjadi sebuah usaha yang susah payah dilakukan Nanta, disaat dia sendiri dalam keadaan panik.
Sesampainya di depan ruang IGD, Laksmi segera dibaringkan pada bed yang sudah disiapkan perawat jaga. Dokter Mira telah menunggu disana. Dokter yang membantu program kehamilan Laksmi segera melakukan pemeriksaan. Mata Nanta tidak mampu menangkap semua kejadian yang berlangsung cepat. Kepalanya mau pecah melihat hiruk pikuk paramedis yang memberi pertolongan sigap kepada para pasien. Beberapa wanita lain menjerit kesakitan menanti kelahiran bayi. Hampir semua ditemani suami mereka. Nanta menguatkan hati untuk menemani istrinya sejenak, sebelum masuk ke ruang operasi. Seorang perawat datang menyentuh bahu kanannya.
“Mohon Bapak menunggu diluar, karena prosedur operasi akan segera dimulai.” pinta perawat itu dengan suara lembut. Duduk di sofa ruang tunggu dirasakannya bagai pesakitan. Tak lama seorang perawat lain memanggil namanya.
“Selamat ya, Pak! Bayinya perempuan, sehat dan cantik. Bapak boleh melihat adik bayi, mari ikut saya.” Sujud syukur Nanta terdengar meluncur dari bibirnya. “Terima kasih,Tuhan!” ucapnya berkali-kali. Belum sempat dia menanyakan kondisi Laksmi, pandangan matanya direbut oleh mahluk mungil yang menangis di depannya.
Entah berapa lama waktu berlalu ketika dokter Mira menyampaikan berita itu. “Laksmi mengalami kondisi apneu pasca operasi. Tensinya tak terukur, nadinya lemah, napasnya gasping, kontraksi uterus buruk, dan terjadi perdarahan aktif!” Dokter Mira memberi penjelasan dengan wajah sayu.
“Waktu kematian jam 23.15 Wita.” lanjut dokter Mira dengan hati-hati. Tangis Nanta pecah berantakan. Dia merasakan langit runtuh menimpa tubuhnya kemudian menghempasnya di batu karang tajam. Dalam kesendirian dia berusaha menyeka tetesan air di ujung matanya. Dengan langkah berat dia menyusuri lorong mencari tubuh Laksmi dibaringkan.
Diantara duka yang mendalam, Nanta teringat pada apa yang sudah dilakukannya untuk mendapatkan Anjani. Awalnya Laksmi menolak program yang ditawarkan dokter Mira. “Kita belum siap dengan jumlah dana yang cukup besar. Bagaimana kalau kita menabung dulu?” ajak Laksmi saat itu. Dia ingin semua dilakukan dengan perencanaan matang, karena bukan hanya biaya per siklus saja yag harus dipersiapkan. Mereka wajib mempunyai dana ekstra untuk biaya tidak terduga lainnya.
Ketika hasrat yang besar untuk memiliki seorang anak begitu menguasainya, Nanta sedang dihadapkan dengan beban pekerjaan yang cukup berat. Niat itu muncul saat dia harus menghadiri rapat penting dengan beberapa investor yang berminat untuk mengerjakan proyek pembangunan rumah sakit berskala internasional di daerah Pecatu Ungasan, Bali. Ini proyek besar, mengingat lokasinya yang strategis dekat patung Garuda Wisnu Kencana dan prediksi bisnis daerah wisata itu dimasa mendatang. Dengan jabatan yang ada dibahunya, sangat memungkinkan bagi Nanta untuk menentukan siapa yang bisa mengambil proyek besar itu. Mr. Akira dari Jepang menghadiahkan biaya program bayi tabung yang sudah ditunggunya.
Ketika semua diatur dengan rapi, tidak seorang pun tahu cerita itu. Begitu juga dengan istrinya sendiri, Laksmi. Dengan berat hati Nanta menyebut ada bonus kerja dari kantornya. Memaksakan mimpi justru telah membuat Nanta menyia-nyiakan jati dirinya. Perjalanan kisah untuk menghadirkan Anjani didua jam terakhir kehidupan Laksmi, menjadi cerita yang akan terus dikenang. Sedangkan waktu tidak memberikan kuasa untuk diputar ulang.
(penggalan cerpen dari kumpulan cerpen Perjalanan, Ni Wayan Sri Mulyani)
EmoticonEmoticon