Malaikat Bersayap

Malaikat Bersayap

Biarkan aku mengendap sebagai luka lama yang berangsur-angsur sembuh, yang sabar menemanimu menangis demi menghangatkan sepi.
Biarkan jiwaku menjaga tubuhmu yang sedang berkelana.


(Lukisan yang tergantung di Lantai 25 Rumah Sakit MRCCC Siloam Hospital Semanggi Jakarta)
 

"Jangaaan!" Teriakan Harum tertahan sepasang tangan dengan jari-jari kuat menekan bibirnya. Tangan kekar dan panas seorang lelaki. Entah datang dari arah mana. Dalam kegelapan tubuh yang kuat itu menghimpitnya ke pintu mobil. Lelaki itu semakin beringas tak terkendali. Dengan cepat tangan-tangan liar itu berusaha melepaskan jas putih yang menutup tubuh bagian atas. Otot paha yang kencang menahan tubuhnya hingga tak bisa bergerak. Harum berjuang mati-matian melepaskan diri dari cengkeraman lelaki asing itu. 

"Diammm!" Lelaki itu berteriak. Dengusan napasnya yang berbau alkohol mulai menjarah. Bibir panas itu mulai bergerak cepat mencium leher Harum yang jenjang. Dengan keberanian yang masih tersisa Harum menggigit kuping lelaki itu hingga mengerang kesakitan. Aroma darah segar mulai tercium.  Lelaki asing itu semakin berang. Dia memegang kuping yang robek oleh taring gigi Harum. Dengan kasar dijambaknya rambut Harum hingga tubuh Harum terjerembab ke belakang. Gadis berkulit kuning langsat itu mengerang di atas ubin kasar. Rasa kesal membuat lelaki itu makin buas bergerak di atas tubuh perempuan muda yang tampak sangat ketakutan.

"Buggg...!" Suara benda tumpul memukul lelaki itu tepat dibelakang kepalanya. Tiba-tiba lelaki itu diam tak bergerak. Seluruh kekuatan yang menindih tubuh harum lenyap seketika. Harum memanfaatkan situasi yang datang. Dia segera menggeliat bangun dan memperbaiki pakaiannya. Untunglah hari ini dia mengenakan setelan celana jeans dan kemeja berlapis. Setidaknya lelaki itu membutuhkan waktu panjang untuk memporak-porandakan kehormatannya. Geraknya cepat masuk ke dalam mobil dan segera menguncinya dari dalam. Yang ada di dalam pikiran Harum hanya satu. Segera pergi dari tepian jalan tempatnya memarkir mobil. Sejak pagi parkir rumah sakit sangat penuh sesak sehingga dia memilih parkir agak jauh.

"Tunggu!" Teriak lelaki yang telah menolongnya. 

Harum menyempatkan diri untuk menoleh ke arah datangnya suara. Seorang lelaki yang paling dibencinya sampai hari ini sedang berdiri tepat di depan mobilnya. Tidak mungkin menabrak lelaki yang sudah membantunya tadi. Sesungguhnya ini pertemuan kedua mereka setelah perpisahan beberapa tahun yang lalu. 

"Tolong antarkan aku pulang!" pintanya.

"Masuklah!" jawab Harum dengan bibir bergetar. Kakinya bagai mengambang di atas pedal gas mobilnya. Mata yang merah menahan tangis itu memandang awas kearah sekeliling jalanan yang sepi. Dia menyimpan banyak kekhawatiran. 


Bagaimana kalau laki-laki tadi adalah salah seorang anggota geng motor? Bagaimana kalau laki-laki asing itu bangun lagi dan mengejarku? Bagaimana kalau ada yang melihat peristiwa ini? pikir Harum dalam kalut.  


"Ayo, kita jalan saja!" ajak Awan menyadarkan Harum dari kalutnya.

Tanpa menjawab Harum menurut. Mobil berwarna putih mutiara itu segera melaju meninggalkan seorang lelaki asing yang terbujur tak berdaya. Tidak seorang pun dari mereka berdua ingin tahu kondisi orang itu. Harum akan menunggu panggilan polisi jika memang ada yang melaporkan peristiwa malam ini. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah segera meninggalkan lokasi. 

Sambil tetap fokus dengan jalanan yang dilalui, Harum melirik tubuh lelaki kekar yang duduk disampingnya. Lelaki yang dadanya pernah menjadi sandaran kepala disaat lelah. Lelaki yang pundaknya pernah digelayuti dengan manja. Lelaki yang selalu menemani hari-hari Harum dimasa lalu.

 “Mengapa dulu kau tidak mau menungguku?“ gumam Awan datar.  Entah apa yang mendorongnya mengeluarkan kata-kata itu. Harum lebih memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Awan. Hatinya masih kacau. Dia berusaha menata detak jantungnya yang hampir amblas. Hening, dua anak manusia itu hanya terdiam. Masing-masing kepala sibuk dengan pikirannya.

“Aku merasa ada sesuatu yang engkau sembunyikan. Apakah dokter muda itu sungguh mencintaimu?“ celetuk Awan tiba-tiba  mengejutkan Harum.

“Kamu memang sudah menolongku tadi. Tapi bukan berarti kamu boleh banyak bicara." Harum mengerutkan keningnya.

"Jangan menggangguku!“ Harum menambahkan.

“Aku tidak akan melakukannya.“ Awan membela diri.

“Ya, aku percaya. Kalau tidak, mana mungkin aku memberimu tumpangan." Harum mengejar mata Awan dengan galak. Harum belum mampu menyembunyikan rasa penasarannya. Angin mana yang membawa Awan datang menolong disaat yang tepat.

“Aku mencintaimu, Har!“ suara Awan cepat

"Diamlah! Please...." Harum melambatkan laju mobil.

“Aku sudah bertunangan. Diamlah!" lanjut Harum. 


Apa hebatnya mendengar ulangan kata cinta dari seorang mantan kekasih yang sudah menghianatiku, pikir Harum.


“Cinta tidak mengenal musim. Ijinkan aku menjelaskan semuanya, Har!” Wajah Awan sungguh memelas.

“Omong kosong! Aku sudah rela melepaskanmu,“ suara Harum semakin tinggi. 

"Sudahlah, diam dan jangan bicara lagi!" Harum memperbaiki posisi duduknya.


Aku adalah bagian yang selalu engkau lewatkan. Kehilanganmu membuat jiwaku penasaran. Andai Kau mengerti jika yang paling menyesakkan dan membuatku berdarah-darah adalah mengenangmu, keluh Awan.


Terhenyak, ingin rasanya Awan segera memeluk erat tubuh perempuan di sampingnya. Melumat bibir ranumnya hingga aliran listrik kembali menyengat sampai ujung kepala. Sampai kapanpun dia akan tetap mencintai perempuan ini.

Isi kepalanya menerawang lagi. Mengenang masa-masa terbaik dalam kehidupan percintaan mereka. Ketika hubungan itu hadir bagai cahaya pagi yang menghangatkan hari.


Awan segera menarik kepalanya ke belakang, lalu bersandar di jok kursi tempatnya duduk. Tidak mungkin bermimpi melakukan itu lagi. Keadaannya sudah tidak sama. Ragu-ragu diliriknya perempuan yang dulu pernah dia pertahankan dengan segenap kemampuan.  “Kapan bisa bertemu lagi?“ Suara Awan berusaha menggapai telinga Harum. Menoleh saja tidak dilakukannya, apalagi menjawab pertanyaan Awan. Pandangan Harum lurus ke depan. Awan mengerti jika tidak mungkin memaksa lagi. 


Dengan tangan kanannya, Awan memberi isyarat untuk berhenti. Mobil sedan mungil itu menepi, tepat di depan Panorama Town House Lebak Bulus Jakarta Selatan. Perlahan dia turun dan berlalu menjauh. Dari balik punggungnya hanya terdengar ucapan terima kasih. Tubuh Awan tenggelam di dalam gelap. Harum menyempatkan diri untuk melirik deretan rumah yang tertata rapi itu. Mengingat cerita masa lalu membuat kerut-kerut amarah yang tadi melukis bibirnya mendadak menghilang. Ada sesuatu yang terasa aneh. Aroma busuk berhembus semakin lama semakin kuat menusuk hidungnya. Harum segera menginjak pedal kopling dengan penuh dan memindahkan tuas transmisi dari posisi netral ke posisi gigi satu. Mobil mulai melaju setelah pedal gas di bawah kaki kanannya diberi tekanan. Harum mencoba mengintip ke belakang dengan bantuan kaca spion yang menempel pada plafon mobil di atas kepalanya. Dia sangat khawatir ada sesuatu yang aneh disana. Harum mengusap dadanya, semua baik-baik saja. Hampir saja dia kembali memanggil nama Awan. 


Harum menyusuri jalan TB Simatupang yang tidak pernah mati. Dari pagi hingga pagi lagi manusia seakan tidak pernah berhenti bergerak. Harum tersenyum kaku, menelan ludahnya. Sungguh ia tidak pernah menyangka, setelah beberapa tahun berpisah dengan Awan, mereka dipertemukan kembali di salah satu jalanan di pinggir kota Jakarta. Lelaki yang pernah singgah itu belum berubah. Harum berusaha menghapus ingatan. Harum berupaya menyembunyikan perasaannya jika malam ini rindu mereka berlarian saling mendahului.

"Dia sudah meniduriku," aku Sarah pelan.

Harum menoleh ke samping. Ditemukannya wajah Sarah yang menunduk. Tak percaya dengan kata-kata yang baru saja mengusik telinganya, Harum mengguncang pundak Sarah.

"Kamu bicara apa tadi?" selidik Harum.

"Awan sudah meniduriku," ulang Sarah pelan.

"Kamunya yang mau kan?" Harum balik bertanya.

Sarah menundukkan kepalanya lebih dalam. Harum hanya menatap jengah perempuan muda disampingnya. Kalau bukan karena rasa kasihan yang datang menyelinap, sudah sejak tadi Harum menampar pipi putih mulus Sarah.

"Dimana kalian melakukannya? Di kamar kos ini? Siaaal!" teriak Harum sambil berdiri. Lututnya gemetar menyangga tubuh yang mulai oleng.

"Jangan dijawab, aku tak bersungguh-sungguh ingin tahu bagaimana penghianatan itu kalian lakukan! Keluar dari kamarku!" teriakan berikutnya makin memekakkan telinga. Malam yang lengang menjadi saksi pertengkaran hebat di kamar kos mereka di salah satu sudut selatan pulau Bali.  

Sarah beringsut mengambil tas besar yang sudah dia persiapkan sebelumnya. Apalagi yang mungkin dilakukan Harum selain mengusirnya. Tarikan napas yang semakin memburu membuat Sarah bergerak lebih cepat. Itu menjadi malam terakhir Harum dan Sarah ngobrol berdua di kamar kos mereka. Sakit hati Harum sudah sampai diujung. Dipandangnya hasil test pack kehamilan yang tergeletak disamping tempat tidur mereka. Ada dua garis merah muncul dengan jelas. 

Mengingat cerita itu membuat Harum menarik napas panjang. Semakin ke depan, nyatanya hanya waktu yang menyembuhkan luka hati. Masa lalu memang susah untuk menghilang. Dia selalu bimbang untuk menemukan jalan pulang. Itulah alasan kuatnya merantau ke Jakarta. Sebuah kota asing yang kini menjadi rumah baginya. Bersyukur pekerjaannya sebagai seorang dokter berhasil membuatnya sibuk dan perlahan-lahan hanyut dalam rutinitas baru. Di kota ini juga dia bertemu lelaki lain yang berhasil membuatnya lupa, jika sebelumnya pernah sangat hancur.


Hari ini adalah jadwal Harum untuk jaga di IGD. Dengan semangat dia mengosongkan segelas susu hangat dan melumat tuntas roti lapis berselai nanas kesukaannya. Setelah mengucap syukur atas berkah Tuhan, Harum bergegas mengambil jas putih bersih yang tergantung di lemari pakaian. Langkahnya pasti menyambut hari. Harum adalah seorang dokter di rumah sakit Mitra Sehat. Ada banyak kondisi yang membuatnya menyelesaikan pendidikan kedokterannya dalam waktu singkat. Kemampuan akademis yang sempurna dan rasa sakit hati membuatnya bertekad untuk cepat.

 "Code Blue!!!" Teriak seorang perawat IGD. Teriakan yang paling dikhawatirkan seluruh nakes disana. Sebuah sinyal kegawatdaruratan. Sontak Harum melompat ke ruangan pasien yang dimaksud. Baru saja operan jaga dengan kolega sebelumnya. Suasana sibuk IGD rumah sakit Mitra Sehat sudah menyapanya. Perempuan malang di atas brankar itu berusaha bertahan dalam keadaan tersengal-sengal karena sesak napas. Disampingnya berdiri seorang laki-laki berpakaian lusuh.

"Saya suaminya, Dok!" ujar laki-laki itu dengan wajah pucat.

"Ah, iya ya...!" Jawab Harum singkat masih dengan perasaan bingung dengan pemandangan yang ada didepannya. Entah apa yang menjadi alasan alam semesta mempertemukannya dengan perempuan ini lagi. Harum mengusir rasa penasarannya dan bergerak cepat untuk memberi pertolongan.

"Ambil set resusitasi di depan!" seru Harum kepada seorang siswa perawat yang mematung dengan wajah pucat. Mungkin ini pengalaman pertamanya menyaksikan pasien yang sedang bertaruh nyawa. "Pasang monitor, panggil residen anastesi untuk evaluasi dan back up ICU...!" Intruksi Harum memenuhi sebagian ruang IGD

"Mohon menunggu diluar, Pak. Segera daftarkan istri Bapak di front office dan kami akan berusaha menolong istri Bapak." Harum memberi pengertian kepada suami perempuan itu.

"Tolong aku...." Sayup-sayup terdengar suara lemah pasien itu. Sebenarnya tanpa meminta tolongpun, Harum tidak pernah ragu untuk memberi pertolongan kepada setiap pasien yang datang. Hanya saja ketenangan Harum dalam bertugas hari ini cukup terganggu. Dia berusaha bersikap profesional dan menerima kenyataan. Perempuan ini adalah salah satu pasiennya di IGD hari ini, yang memiliki hak sama dengan pasien lainnya. 

"Siapkan set intubasi...!" seru Harum sambil memasang sarung tangan yang baru. Harum segera melakukan intubasi dan memompa napas pasien. Junior yang lain melakukan kompresi dada karena nadi semakin melemah. 

"Harum, ma...maafkan aku. Awan tidak ber...salah. Di...dia menyusulmu ke kota ini. Se...tahun yang lalu A...Awan sakit. Dia dikuburkan di TPU Ta...Tanah Me...Merah!" Sarah berjuang sekuat tenaga mengeja kalimat yang sudah lama ingin dia sampaikan. 

Berampul-ampul adrenalin sudah diinjeksikan. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dua puluh menit melakukan resusitasi jantung paru, layar monitor berseru nyaring menampilkan aktivitas datar jantung pasien. Kedua pupil Sarah berdilatasi maksimal.

Harum merasa seluruh plafon ruang IGD menghimpitnya dengan kuat. Sakit sekali, terlampau sakit untuk dia lalui sendiri.

"Maafkan aku, Ibu. Aku gagal lagi menjaga titipanmu. Bahkan sampai hari inipun aku masih tidak mampu menolong saudara sambungku sendiri," gumam Harum lirih. 


Dilepasnya jas putih yang membalut tubuhnya. Harum merasa sesak. Tatapan kosong jatuh kepada tubuh Sarah yang pucat pasi. Satu-satunya saudara perempuan yang dititip ibu sambungnya, ketika almarhum ayahnya menikah lagi. Lalu, siapa lelaki yang hadir menolongnya selama ini? Harum menutup wajahnya dengan kedua tangan.










 


Read More

Percintaan Tanpa Tubuh (Sitha & Rahwana)

Sudah tiga hari sejak pertama kali Sitha lebih memilih untuk bicara tanpa mata yang terbuka, bibir yang diputuskan mengatup, dan telinga yang entah masih mampu mendengar celoteh dunia atau tidak. Satu-satunya yang mampu dia tangkap hanya suara lembut lelaki disampingnya.

"Aku tahu engkau masih ada disana, karena itu mari tetap bicara," bisik Rahwana.


Di bawah rembulan, tubuh Sitha bersinar perak. Dagingnya padat membentuk lekuk-lekuk tubuh seorang dewi. Semesta senyap seketika. Alam pun takjub menikmati kecantikan Sitha yang sedang tergolek lemah di atas bale-bale perahu yang terbuat dari kayu cendana. Angin yang sempat merayapi tubuh Sitha segera merendahkan ombaknya, tidak ada yang kuasa menyaksikan keindahan perempuan itu. Mahluk laut lebih memilih untuk berlindung dalam persembunyian. Tidak ada yang berani memandang kekasih hati seorang raksasa itu.

Rahwana menatap tubuh didepannya dengan seksama. Menyaksikan keindahan yang dipamerkan perempuan itu tidak lantas membuatnya berlaku raksasa. Tidak terlintas di kepalanya untuk mengambil kesempatan emas itu. Mata ketiganya hanya tertuju kepada jantung Sang Dewi. Dia melihat ada gerakan lembut disana. Seiring gerakan perahu yang digoyang hasrat untuk bercumbu.

Laki-laki bertubuh kekar itu mendengus. Asap putih mengepul dari kedua lubang hidung yang berbulu lebat. Bola matanya membesar menahan rindu.  Gerakan tertahan dari sebentuk cinta kepada seorang perempuan yang baru saja diculiknya.

"Tidak ada yang menaruh rasa melebihi aku," bisik Rahwana lembut.

"Dan engkau menyukainya dengan diam-diam," lanjutnya pelan.

Lengang, sepi, hanya senyap yang menemani pertemuan itu. Sebuah perjumpaan yang sudah direncanakan semesta. Harus ada yang menolong Rahwana untuk bicara kepada kekasihnya. Hanya dengan melemahkan kesadaran Sang Dewi percakapan itu bisa terjadi. Dalam keadaan biasa, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk bertutur tentang hati masing-masing. 

Rama, sang penguasa akan melindungi Sitha dengan pasukan berlapis. Sedangkan Rahwana ditawan amarah jika harus bersitatap dengan lelaki yang telah merebut kekasih hatinya dimasa lalu.

"Mengapa selalu ada yang merasa lebih tahu siapa yang aku inginkan? Merasa lebih mampu memberikan semua yang aku butuhkan. Belum sekalipun mereka bertanya langsung tentang hal itu kepadaku. Semua merasa benar dengan pikiran masing-masing. Merasa paling tahu yang terbaik untuk hidupku, tanpa mau mendengar apa yang sesungguhnya aku inginkan." Bibir Sitha tetap terkatup. Rahwana tersenyum mendengar keluh hati kekasihnya. Ingin sekali segera membawa Sitha terbang kesebuah tempat yang tidak terjamah. Hanya ada mereka berdua disana. 

"Bukankah aku telah bersemayan dihatimu? Jika perjumpaan kasat mata hanya menimbulkan peperangan. Mari bercakap dalam tidurmu." Bisikan lembut itu diterbangkan angin ke dalam lubang telinga Sitha. Seorang perempuan yang sedang kasmaran tetapi memilih untuk menidurkan semua anggota tubuhnya. Toh, dalam pikiran, memadu hasrat terasa lebih menggairahkan.

Perahu kehidupan itu mulai bergoyang. Terombang ambing ditengah lautan luas. Mereka pun bercinta dalam hening. Ruang yang tak tersentuh logika. Tanpa gerakan ataupun suara yang tertangkap telinga. Sebuah pergumulan di atas awan, yang hanya disaksikan oleh Sang Hyang Candra. Desahan demi desahan yang semakin terdengar parau. Ada jiwa yang sedang kebingungan mencari tubuhnya kembali. Setelah perjumpaan yang lama mereka nantikan.


(Sebuah cerita fiksi yang saya persembahkan untuk seorang wanita hebat yang sedang berjuang dalam tidurnya. Jalan cerita yang hanya ada dalam imajinasi penulis dan bukan kejadian sebenarnya. )








Read More

Luka Hati

Ada hati yang pernah kau tinggalkan disini. 
Ketika tergoda langit luas menjadi alasan untuk lupa mengemas.
Disaat kau kembali, aku terlanjur saling dekap dengan luka.


"Aku tidak betah dengan anak itu, Shan. Baunya luar biasa. Aku mual kalau dekat dengannya. Apa kau tidak menyuruhnya sikat gigi dan mandi yang bersih?" kata Erwin dengan ketus. Tanpa menoleh dia bergegas pergi meninggalkan Shanti, istrinya.

Shanti menarik napas panjang. Belum juga sehari penuh Wulan ada di rumah mereka. Tidak cukup sekali Erwin menyenggolnya dengan kata-kata yang menyudutkan keberadaan Wulan di rumah itu. 

Shanti menghampiri Wulan yang terpekur sendirian di pojok rumah. Anak perempuan berusia lima tahun itu nampak kusut masai. Wajahnya penuh ketakutan. Rambutnya yang ikal hampir gimbal karena jarang disisir, bajunya kucel., dan bau badannya menebar kemana-mana. Sambil menutup setengah hidung mungilnya, dia menuntun Wulan ke kamar mandi. Ahhh... suamiku tidak salah. Wulan memang sangat bau. 

Shanti merawat Wulan dengan segulung perjuangan yang tidak berujung. Sepuluh tahun tidak berhasil hamil membuatnya jengah. Dia butuh seseorang yang dapat dijadikan tumpuan. Luapan cinta yang minta segera dituang kepada seseorang. Wulan menjadi tempat yang baik untuk meneteskan kasih sayang yang terlanjur lama gelisah.

Sudah tiga tahun sejak Wulan menjadi anak angkatnya. Lambat laun Shanti pun terbiasa dengan kesibukan baru itu. Ketika waktu membesarkan Wulan sedang meminta banyak perhatian, karir Erwin semakin melambung. Tuntutan pekerjaan membuat Erwin sering pergi keluar kota dan meninggalkan mereka berdua. 

Pagi itu Shanti mendapati Wulan menangis di samping meja makan. Terduduk lemas sambil memegang pantat mangkuk pencampur adonan pancake. Dia menyentuh pundak gadis kecil itu. Dengan tangan yang lain Shanti mengusap air mata yang menetes ke lantai.

"Tidak apa-apa, sayang! Kita akan memulainya lagi. Mungkin adonan berikutnya akan menjadi pancake terbaik yang pernah kita buat selama ini." Shanti menenangkan hati Wulan yang dibakar kecewa.
Dipeluknya tubuh Shanti dengan kuat. Mendekap Shanti membuat Wulan menikmati kasih seorang ibu. Disana ada kerinduan yang sangat besar. Mengamati Shanti selama tiga tahun terakhir membuat Wulan memahami alasan mengapa dia mulai mencintainya.

"Ayo, Wulan. Kita lihat papa dulu yuk, nanti keburu telat berangkat ke kantor!" ajak Shanti sambil menarik tangan Wulan menuju garase mobil. Wulan mengangguk tanda setuju. Wajahnya ceria mengikuti langkah Shanti dari belakang.

"Ma, aku sudah tidak bisa melayani perempuan itu lagi," kata Erwin sambil menutup pintu mobil yang akan membawanya ke kantor.
"Perempuan? Mama tidak tahu kalau papa sudah melayani perempuan lain."
Tangannya menangkap kaca jendela yang belum sepenuhnya tertutup. Erwin mendongakkan kepala lewat jendela. 
"Dia mulai memeras kita. Menukar Wulan dengan uang yang tidak pernah cukup. Aku capek, Ma...."  Wajah Erwin berubah sayu.

Deg, Shanti merasa jantungnya amblas ke bumi.

"Papa tidak pernah cerita apapun." Shanti mengernyitkan dahi. Sungguh dia tidak menyadari jika selama ini Erwin berusaha mempertahankan Wulan. Erwin terkesan sibuk dengan pekerjaan dan sangat jarang menanyakan perkembangan gadis belia itu. Sekalinya bertemu Erwin lebih banyak melontarkan keluhan daripada melambungkan pujian untuk anak itu.

"Kalau kamu ingin bertemu Ibu kandungmu, tengoklah langit di atas kepala. Kasih sayang Ibumu akan melindungi anaknya setiap saat." Wulan tidak pernah melupakan ucapan Erwin ketika suatu malam sang Ibu menitipkannya kepada Shanti disebuah jalanan sempit kota. Saat ketika keputusan untuk adopsi sudah disepakati.

Wulan mendengar semua pembicaraan itu. Dia memberi isyarat dengan tangannya. Dia tidak menginginkan ibu kandungnya. Bayangan tangan kasar menampar wajahnya muncul lagi. Hentak teriakan itu kembali bergema. Wulan berlari menjauh. Erwin yang sudah siap menancapkan gas memilih keluar dari dalam mobil. Dengan sigap dia berlari mengejar. Shanti berteriak-teriak meminta pertolongan para tetangga. Wulan terlanjur mengambil separuh hidupnya. 

Semua usaha yang mereka lakukan tidak memberi hasil. Wulan terlanjur menghilang dibalik kerumunan orang di pinggir jalan. Kali ini mereka benar-benar kehilangan gadis itu.

Dengan bantuan polisi pada hari kedua semenjak dia menghilang, Wulan ditemukan di bawah jembatan. Erwin hanya memeluk erat istrinya yang menangis sesenggukan memandang tubuh Wulan yang tak lagi bernyawa. Gadis bisu itu terlalu banyak menyimpan luka.















 

 




Read More

Guru Di Masa Pandemi - Covid 19

Hati seorang guru dimasa pandemi ini adalah 
pondok pesraman dimana cinta dan luka saling dekap.

Pandemi ini telah memberikan pengaruh sangat besar bagi penduduk bumi. Semua sektor mengalami guncangan, tidak terkecuali dunia pendidikan. Semua serba tidak pasti karena berhadapan dengan mahluk yang tidak kasat mata. Berbagai metoda diuji coba. Semua bermuara kepada tercapainya tujuan pengajaran/program.

Ketika Tuhan (alam semesta) tetap menjadi misteri. Ada tiga guru lain yang saat ini  terus mengalami proses belajar untuk mencari cara terbaik membawa umat manusia kepada keselamatan.


Sebutan Guru bukan sekedar kata biasa.
Dibalik maknanya ada tugas dan tanggung jawab yang besar.

Guru berasal dari dua suku kata. Dalam bahasa Sanskerta Guru terdiri dari suku kata Gu yang nerupakan kependekan dari kata Gunatitha (memiliki arti tidak terbelenggu oleh materi) dan Ru yang merupakan kependekan dari Rupavarjitha  (bermakna mampu mengubah/menyeberangkan orang lain dari lautan kesengsaraan.

Umat Hindu di Bali mengenal ajaran Catur Guru. Dalam bahasa Sanskerta disebutkan jika Catur berarti empat dan Guru berarti berat/guru/yang ditiru. Dari makna itu guru memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Keempat guru itu adalah :
1. Guru Swadhyaya.
Beliau adalah Maha Guru dari segala guru. Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa.
2. Guru Rupaka/Guru Reka.
Dikenal sebagai guru pertama dan paling utama. Beliau adalah orang tua yang melahirkan, membesarkan, dan mendidik kita.
3. Guru Pengajian.
Guru yang memberikan pendidikan secara formal di sekolah-sekolah. Beliau yang mempunyai tugas pokok untuk mendidik, mengajar, dan melatih semua siswanya dengan adil.
4. Guru Wisesa.
Adalah Pemerintah yang memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat sebuah bangsa.

Kita semua adalah guru. Sebelum kita menilai kinerja "para guru" lain, mari menengok ke dalam diri. Sudah sejauh mana kita berbuat dan berusaha. 










Read More

Mata Kucing Hitam

Ketika Ayah dan Ibunya memutuskan untuk berpisah, Melati hanya mampu menangis sesenggukan. Sungguh, dia tidak ingin memilih salah satu diantara mereka. Baginya tidak ada yang menang dan kalah. Ini hanyalah tentang sebuah sikap untuk menghindar, lari, dan menyerah.  Dengan mata basah, pandangannya beralih kepada seekor kucing hitam bermata lebar yang tiba-tiba hadir di depan kamarnya.




"Meongggg...!" Suara kucing itu terdengar nyaring. Bulunya yang hitam menyatu dengan gelapnya malam. Mata kucing itu bercahaya terang menyorot wajah Melati.
"Ngapain kamu disana?" Melati menjulurkan kedua tangannya. Berharap kucing itu mau pindah kepangkuan. Sungguh, untuk saat ini dia sangat membutuhkan seorang teman.

Kucing itu tidak bergeming. Tubuhnya masih berdiri gagah di depan pintu masuk kamarnya yang terbuka lebar. Ketika Melati bangun dari tempat tidur dan bergerak mendekat, ia sudah kehilangan hewan dengan mata bercahaya itu. 

"Kamu boleh membawa Si Manis ikut ke rumah ibumu, sayang." Bisikan ayahnya mengejutkan Melati. Dengan mata sembab dipandangnya wajah sang ayah. Disana dia menemukan banyak guratan usia. Melebihi jumlah guratan yang seharusnya. Bukan karena Melati mempelajari teori wajah manusia, tetapi ayahnya memang nampak lebih tua dari lelaki seusianya. Wajah itu nampak sangat lelah.

"Ayah jahat!" teriak Melati dalam serak.
"Iya, Nak. Ayah jahat karena tidak mampu merubah sikap ibumu. Ayah minta maaf ya...." Suara ayahnya terdengar parau. Itulah percakapan terakhir Melati dengan sang ayah, sebelum ibunya membawa gadis berusia tujuh tahun itu pergi ke rumah neneknya di Karangasem.

Setahun berlalu setelah perceraian kedua orang tuanya diputuskan oleh pengadilan. Melati memilih tinggal dan diasuh sang nenek. Mungkin karena kesibukan ayahnya bekerja membuat Melati tidak cukup dekat dengannya. Si Manis pun ikut diboyong ke Desa Tumbu, Karangasem. Rumah asal ibu Melati. Kucing hitam dengan kuku mengkilat itu menjadi teman setianya. 

Hingga pada suatu malam Jalan Raya Seminyak Kuta dihebohkan dengan penemuan seorang mayat perempuan. Tubuhnya mati karena kehabisan darah. Lehernya meninggalkan luka gigitan taring yang tajam. Tubuh perempuan itu penuh dengan cakaran kuku binatang buas. Setelah melakukan olah tempat kejadian perkara, mayat itu dibawa ambulance menuju kamar mayat Rumah sakit Sanglah. Mungkin untuk keperluan penyelidikan polisi. Kata orang-orang yang sempat melihatnya, tidak ada yang mampu mengenali mayat perempuan itu. Wajahnya sudah rusak dan hancur.

"Ikutlah dengan ayahmu," kata neneknya mengusik permainan Melati bersama boneka kucing hitam bermata bulat itu. Wajah mungil dengan kulit sawo matang itu mendongak. Melihat senyum lelaki didepannya, Melati menghambur ke dalam pelukan. 
"Mengapa ayah semakin jahat? tidak pernah datang menengokku?" tanya Melati.
"Maafkan ayah, ibumu melarang ayah datang," jawab Gede.
Melati mendapati mata ayahnya yang basah. Menetes terus hingga Melati merasakan bagai hujan yang sedang mengguyur pertiwi. Ada rasa rindu menyeruak diantara kesedihan yang hadir.

Suara ambulance di desa yang sunyi itu mengalihkan perhatian Melati.
"Siapa yang sakit?" tanya Melati. Dipandangnya wajah sang ayah dengan penuh tanya. Gede memejamkan matanya dalam. Sangat dalam. Sebelum menjawab pertanyaan itu, dia berusaha menata nafasnya.
"Bapak Polisi menemukan ibumu di jalanan. Tempat dimana ayah mengambilnya dulu. Ibumu sudah meninggalkan kita." Gede memeluk putri semata wayangnya. Mereka hanyut dalam tangisan yang sama. 

Sekarang Melati mulai mengerti apa yang terjadi dengan kedua orang tua mereka. Ayahnya yang sibuk menafkahi keluarga tidak sekalipun mendapat balasan perhatian dari perempuan yang melahirkannya itu. Melati tidak pernah melihat ibunya merawat ayah, setia untuk tertawa bersama, dan memeluknya di waktu yang bersamaan. Pernikahan bukan hanya tentang uang dan hidup berkecukupan. Ada hati yang juga ingin dipuaskan.

Setelah upacara pengabenan ibunya selesai, Melati segera mengemas pakaiannya. Sudah bulat tekadnya untuk tinggal bersama ayah di Denpasar. Lagi pula kehilangan Si Manis membuatnya semakin kesepian, walau nenek sudah menggantinya dengan sebuah boneka. 

Sebelum Melati masuk ke dalam mobil, pandangannya direbut oleh kehadiran seorang perempuan tua. Perempuan sangat tua itu melangkah dengan tersuruk-suruk. Tubuhnya tampak kering dimakan usia. Wajah renta yang lekang hangus oleh matahari. Wajah dengan kulit yang melipat di sudut-sudut matanya.

"Berbaktilah kepada lelaki ini, jangan mengulangi kesalahan ibumu." suara neneknya membuat Melati mengangkat dagu.
"Dia bukan ayahmu. Ketika ayah dan ibumu menikah, engkau sudah berusia satu tahun." Neneknya mengusap rambut ikal gadis belia di depannya.
"Nenek tidak ingin membawa cerita hidupmu kedalam kubur." 






Read More

Diganggu Cemburu

"Jangan terlalu dekat dengan Bli Nyoman ya, Mbok Tu!" kata Dewi, iparku paling bontot. Deg! jantungku rasanya melesat dari tempatnya nangkring selama ini. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit, seperti ditimpa plafon dapur tempat kami berdiri. Dewi memandangku jengah. Matanya menyala terang seakan ingin membakarku utuh. Aku tidak menjawab apapun. Hanya memberi anggukan. Ini bukan pertama kalinya aku menerima sikap sinis Dewi. 

Itulah hari terakhir aku ada di rumah mertua kami. Karena setelah ucapan panas pagi itu, aku segera mengemas barang-barang dan pakaianku. 

"Kita mau kemana, Bu?" tanya Raka, anakku. Mata lelaki berusia tujuh tahun itu menyipit. 

"Ikuti saja, nanti ibu ceritakan," jawabku sekenanya. Raka bagai kerbau dicocok hidungnya. Dia hanya mengikuti kemana kakiku melangkah. Garase motor tentunya. Syukurlah itu hari Sabtu, Raka tidak harus mengikuti kegiatan sekolah. Beruntung juga aku punya satu unit sepeda motor yang dibekali Bapak waktu Bli Wayan meminangku dulu . 

Sejujurnya aku bingung harus kemana. Kalau pulang ke rumah bajang, aku malu kepada adik lelaki dan ipar di rumah. Walaupun aku tahu mereka sangat menyayangiku, mungkin saja kehadiranku memberi beban buat mereka. Aku juga memikirkan kondisi ayah dan ibuku sendiri. Mereka akan sangat mengkhawatirkan aku dan putra semata wayang kami. Dengan langkah yakin aku memutar haluan motor menuju kantor suamiku. Siapa lagi yang harus aku tuju kalau bukan dia. Apalagi dalam keadaan seperti ini.  


"Tunggu ya, di sebelah kantorku ada kos-kosan sederhana. Tenangkan dirimu dulu, biar aku tengok kesana." kata Bli Wayan dengan lembut. Wajahnya masih seperti biasa, selalu tersenyum walau dalam keadaan apapun. Mungkin karena memang emosi suamiku yang sudah mapan, atau bentuk mukanya yang tidak bisa berubah. Entahlah...


Sudah dua bulan kami tinggal di rumah kos ini. Setiap ada yang bertanya, kami selalu membuat alasan tentang jarak rumah dan kantor suamiku yang cukup jauh. Alasan paling masuk akal dan cukup sopan untuk mengubur pikiran buruk. Dengan tinggal di kos, kesibukanku juga agak berkurang. Masak hanya untuk tiga mulut. Kamar hanya dua ruangan. Halaman sempit. Berbeda sekali dengan saat aku tinggal di rumah mertua. 

Suamiku bersaudara tiga orang. Yang tengah adalah perempuan dan sudah menikah ke daerah Pengabetan, Kuta. Jadilah kami tinggal bersama dengan adik bungsu suamiku dan istrinya. Mertua kami sudah tidak ada, bahkan aku hanya mengenal Ibu mertua saja. Setahun setelah melahirkan Raka, Ibu mertuaku menyusul suami tercinta. 

"Luh, siap-siap ya, kita harus pulang sekarang juga. Aku akan segera menjemputmu dan Raka," kata Bli Wayan sore itu. Di telepon genggam suara suamiku terdengar gusar. Karena suamiku adalah pemimpin regu dalam keluarga kecil kami, aku hanya mengiyakan tanpa bertanya apapun. Dari suaranya sudah terbaca jelas ada sesuatu yang sangat penting.


Isak tangis sudah terdengar keras dari gerbang rumah tua kami. Itu suara Dewi, iparku. Semakin lama suaranya semakin serak dengan teriakan melengking dan memekakkan telinga. Raungannya lebih mirip lolongan serigala. Walaupun aku pernah dibuat kesal, tapi melihatnya seperti itu hatiku hancur berantakan.

Setelah kepergianku, tidak ada yang telaten merawat Nyoman Bagia, suami Dewi. Kondisinya yang masih sakit setelah kecelakaan di Jimbaran membuatnya belum bisa kembali bekerja. Pertolonganku disalah artikan. Bantuan perawatan yang kuberikan dihantam kecurigaan. Hati yang cemburu hanya mampu melihat kebaikan sebagai muslihat. Dewi tidak salah jika terpaksa mencurigaiku. Kesibukannya menciptakan jarak. Mungkin jika dia mau bicara baik-baik, tidak ada hati yang harus menanggung luka.


Kami beranjak untuk mempersiapkan pemakaman.







Read More

Catatan di Gunung Agung

EKSPEDISI JALUR TUA


    Aku tumbuh dari keluarga yang gemar traveling. Ayah dan ibu menurunkan darah itu kepada kami. Sejak kecil kami sudah terbiasa menjelajah pulau Bali dengan sepeda motor, mulai dari hanya dengan satu sepeda motor, hingga harus dengan dua sepeda motor karena sudah tidak cukup untuk empat orang dalam satu motor.

    Setelah menikah dan memiliki tiga anak, aku tetap mengisi waktu libur keluarga dengan memuaskan kegemaran itu. Anak ketiga kami pernah ikut menyeberang pulau Nusa Penida dengan boat kecil ketika berumur enam bulan. Keputusan untuk menginap semalam dan tidur di balik bangunan wantilan Pura Dalem Ped bukan tanpa pertimbangan. Hanya beralaskan tikar pandan, aku menyusui batitaku hingga terlelap di keesokan pagi. 

        Pada tanggal 18 Mei 2016 telepon genggamku berdering. Dari layar telpon aku membaca nama Odah Legian (nenek Legian), panggilan anak-anakku kepada nenek mereka.

"Sri, ibu dan bapak mau mendaki Gunung Agung tanggal 22 besok, kamu ikut ya!" ajak ibu. "Hah...! mendaki Gunung Agung?" aku balik bertanya. Ibu tahu betul aku suka bertualang. Sebelumnya kami sudah terbiasa mendaki bukit-bukit di beberapa tempat di Bali sambil memuaskan hasrat untuk bersyukur kepada Tuhan dengan mencapai pura-pura di ujung langit. Kali ini terasa agak berbeda. Tujuannya adalah gunung tertinggi di Bali. 

“Manfaatkan setiap kesempatan baik yang datang ke dalam hidupmu, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Kita tidak punya kuasa untuk masa depan.” kata ibu berusaha membuatku menjatuhkan pilihan kepada rencana itu. Malam itu aku katakan siap berangkat, tetapi akan minta ijin dulu kepada suami dan ketiga anakku. Mengajak mereka bertiga sudah tidak memungkinkan.

       Mendiskusikan rencana ini kepada anak-anak membutuhkan usaha lebih. Restu dari ketiga anakku jatuh menjelang hari keberangkatan. Aku yakin Tuhan punya rencana indah melalui ijin yang diberikan suami dan anak-anak. 


Dalam penanggalan kalender Bali, Sabtu, tanggal 21 Mei 2016 adalah bulan purnama. Hari baik untuk melakukan perjalanan spiritual. Sepulang dari kantor, aku bergegas mandi, memakai kain dan kebaya Bali. Setelah berpamitan, motorku melaju ke arah Legian Kuta. Tas ransel hitam milik Damar anak keduaku sudah tersangkut di punggung. Isinya hanya air putih, obat-obatan, kain pengganti dan sedikit perbekalan makanan. Jaket merah Bayu, anak pertamaku ikut menemani. Di rumah ibu, sudah siap empat orang temannya yang berusia sebaya beliau. Wah... ini ekspedisi kakek-kakek dan nenek-nenek. Aku adalah peserta termuda saat itu.




Sekitar pukul 16.30 Wita kami berangkat dengan tujuan kabupaten Karangasem, Bali, lokasi Gunung Agung berada. Perjalanan menjadi begitu menyenangkan karena teman-teman ibuku pandai bercerita, mulai dari kisah anak-anak, cucu, bahkan cerita dimasa muda mereka. Gelak tawa di dalam mobil membuat suasana menjadi hidup. Hampir tiga jam perjalanan dari kawasan Kuta, akhirnya kami sampai di Pura Pasar Agung, Desa Besakih, Karangasem, Bali. Kami tiba disaat gelap sudah mulai turun dan kabut menyelimuti seluruh areal kawasan hutan dan pura. Karena hari itu adalah bulan purnama, ada beberapa orang juga datang silih berganti untuk sembahyang di pura. Aroma dupa yang harum menerobos liang hidungku dengan bebasnya. Suasana yang hening dan kusyuk membuat hati tentram dan pasrah kepada Tuhan. Ibu mengajak kami segera menaiki tangga-tangga menuju areal utama pura. Napas yang terengah-engah membuat bibir mengepulkan asap. Yang pertama kami tuju adalah pemangku pura. Beliau menyambut kami dengan hangat. Istri dari pemangku pura menyuguhkan teh manis dan jajan pia Bali. Beliau sangat bersahaja. Ransel kami dikumpulkan di balai panjang.

"Kami senang menyambut kedatangan kalian." sapa beliau dengan santun. "Setelah selesai minum teh, persiapkan sarana sembahyang, mari saya temani untuk berterima kasih kepada Tuhan, karena semua sampai dengan selamat." lanjut beliau. Kami pun menurut dan larut dalam persembahyangan bersama.     

      Dingin mulai masuk ke celah-celah kain kebaya yang aku kenakan. "Saya mohon maaf karena tidak bisa menemani kalian munggah ke atas gunung. Ada pesamuhan desa yang harus saya hadiri besok pagi. Jadi kalian akan ditemani adik saya yang juga seorang pemangku, istrinya yang akan menjadi porter kalian, dan seorang pemandu yang akan menjadi leader kalian. Tongkat sudah saya siapkan ada di dapur pura. Sekarang istirahat dulu, pendakian dimulai jam 02.00 Wita," jelas beliau.

         Kami berkumpul untuk makan malam, dilanjutkan mulai mencari lokasi untuk tidur sejenak. Cuaca yang sangat dingin membuat kami tidak bisa terlelap. Kaos kaki segera membungkus kedua telapak kaki yang mulai kisut. Aku merasa was-was. Ternyata belum mulai mendaki sudah dingin sekali. Kami merasa tidak siap dengan peralatan yang seadanya. Kedua jemari tanganku kesemutan karena menahan dingin. Untuk menghangatkannya, Ibu segera mengoleskan minyak ramuan beliau. Ada ketakutan yang terbersit dalam pikiranku, jangan-jangan tubuhku beku di tengah pendakian. 

Jarum jam di balai panjang menunjukkan pukul 24.00 Wita. "Mari kita sembahyang dulu sebelum mulai mendaki!” Ibu kembali mengajak kami sembahyang di tengah malam purnama.








            Sekitar pukul 01.45 Wita pemandu kami datang. Sungguh waktu yang sangat singkat untuk dapat mendengar penjelasan dan arahan untuk pengalaman pertama ini. Kami benar-benar bermodalkan nekat. Kami berkenalan satu sama lain. Ada Jero Mangku pura bersama istrinya, dan Bapak Kadek yang merupakan leader kami. 

Sebagai persiapan terakhir, kami memeriksa kendi yang akan dipakai sebagai tempat penampungan tirta ( air suci ), yang akan kami ambil di atas gunung. Memastikan dua sesajen yang akan dijinjing Jero Mangku dan istrinya agar tidak tertinggal. Semua anggota ekspedisi juga sudah menggenggam tongkatnya masing-masing.

Tiba-tiba ibu Ketut Jati, sahabat ibuku berteriak. "Ya ampun, sandal saya putus!" teriaknya. Wah gawat, kami kebingungan. Tidak mungkin naik gunung tanpa alas kaki. Pemandu kami mengambil inisiatif untuk meminjam sandal dari penjual kopi yang ada di samping pura. Selalu ada pertolongan mengejutkan untuk orang yang tekun berusaha.

Tepat pukul 02.00 Wita dini hari kami berangkat. Menerobos hutan lebat dengan mengenakan kain panjang dan berkebaya. Beruntung ibu mengingatkanku mengenakan celana panjang di dalamnya. Suasana sangat sepi hanya terdengar desahan napas kami saat memijakkan kaki menaiki jalur tua itu. 

Beberapa kali wisatawan asing mendahului kami. Sebelumnya kami tidak bertemu dengan rombongan wisatawan asing itu di awal pendakian. Rupanya mereka mengawali pendakian dari arah Pura Besakih. Mereka bergantian melewati jalur kami dengan langkah kaki panjang. Beberapa penduduk lokal di kawasan Besakih berprofesi sebagai pemandu pendakian Gunung Agung. Lapangan kerja yang bagus dan sehat. 

Kami menyusuri hutan, bebatuan terjal dengan semangat. Beberapa kali sandal jepitku tersangkut di antara celah bebatuan muntahan gunung di tahun 1963, yang telah menewaskan ribuan orang itu. Sinar lampu senter seadanya membantu kami menempuh hingga seperempat perjalanan. 

Pendakian ini bertujuan memohon air suci di lokasi pura tertinggi, di gunung tertinggi dengan ketinggian 3.142 MDPL di pulau kami. Hal yang sama tidak akan dilewati para pendaki yang bertujuan wisata.

Tiba-tiba aku merasa ada mahluk berbulu lebat melewati kaki kanan bagian samping. Sejenak kuhentikan langkah. “Jangan kawatir, itu sahabat para pendaki disini.” kata Jero Mangku. Dengan bantuan cahaya rembulan dapat kulihat dua ekor anjing Bali sedang menemani pendakian kami. Warnanya hitam dan putih. Sungguh sebuah anugerah yang indah, walau akhirnya tidak kusadari kapan mereka berdua menghilang dari pandangan.

"Ini titik pertama. Semuanya agar terdiam, hening dan membaca tanda alam. Jika nanti terdengar gemuruh kilat dan petir tetapi tidak turun hujan, kita harus segera kembali turun. Itu pertanda dari alam bahwa di depan ada bahaya. Pendakian ini harus dihentikan sampai disini!" kata Jero Mangku. Mataku tertuju kepada sebuah gapura besar di depan sana. Aku heran, diatas gunung ada gapura?

Kami mengikuti saran dari Jero Mangku, larut dalam suasana meditasi di pura pertama. Suara angin menderu, gunung keramat ini ditangkup kabut. Bulan purnama memberkati kami dengan cahaya terang. Jika bukan karenanya, mungkin tebing-tebing dan jurang dalam itu akan diselimuti pekat. Pohon-pohon cemara dengan bahagia mempersembahkan kidung saling bersahutan. Ini pertama kali dalam hidupku tahu, jika pohon cemara dapat menyanyi dengan sangat indah dan merdu. Sunyi, hening, sepi. Hanya ada suara dari alam semesta. Jero Mangku memberi tanda bahwa keadaan aman. Pemilik tempat yang agung ini telah memberi restu-Nya. Bukan kilat dan gemuruh petir yang dihadirkan, melainkan keindahan. Kami sangat bersyukur bisa melanjutkan pendakian. 

Sesosok wanita tua tiba-tiba hadir diujung bebatuan di pinggir jurang. Tersenyum penuh kedamaian. Beliau berdiri di pinggir telaga kecil diantara tebing batu cadas. Ayahku menangis tersedu-sedu, menahan haru. Kami segera membuka sesajen yang terikat dalam besek dari bambu, menyalakan dupa, dan menyiapkan  bunga aneka warna. Semua bersimpuh memanjatkan doa dan rasa terima kasih, larut dalam syukur yang mendalam. Sungguh besar anugerah Tuhan kepada bumi ini. Dupa dan bunga-bunga yang harum semerbak menjadi sarana ungkapan keindahan dan rasa terima kasih kepada alam semesta. Melihat berkah Tuhan dapat dilakukan dalam keadaan suka maupun duka. Tetapi rasanya akan lebih agung ketika berkah itu kita syukuri dalam keadaan nyaman, hening, harum, dan indah. Itulah mengapa umat Hindu menjadikan bunga, api dupa, dan air sebagai bagian dari ungkapan bahagia mereka.


(Ini Photo Ibu saya, bukan ilustrasi perempuan yang hadir di pinggir tebing)


“Tidak baik berlama-lama diam dalam cuaca dingin,” kata Jero Mangku penuh isyarat. Kami mulai bergerak lagi, mendaki bebatuan untuk menggapai gapura di jalur yang tampak semakin indah. Hahhh…ternyata itu hanya sepasang pohon yang mirip gapura. “Penduduk disini meyakininya sebagai gerbang gaib Gunung Agung. Tidak semua orang mampu menangkap tanda-tanda alam, hanya kemurnian hati yang mampu menerimanya,” lanjut beliau.

            Kami dihadapkan kepada susunan bebatuan hitam terjal dan tajam, dengan jurang yang dalam di sisi kiri dan kanan jalur pendakian. Sejenak aku menoleh ke belakang. Tampak pemandangan kota Karangasem begitu indahnya dengan lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang di daratan luas. Sesekali dalam hidupmu cobalah memandang dari sudut yang berbeda. Ketika kau melihat gunung itu indah, maka gunung pun sedang memuji keelokan yang terhampar dibawahnya.  

“Ketika kita lelah dalam perjalanan, cobalah tengok pencapaian yang sudah dilewati. Disana kita akan merasa semakin kuat.” Pesan Jero Mangku memberi kami waktu menikmati hadiah menakjubkan ini.  

            Di tengah pendakian, Pak Nyoman, satu orang team kami mulai demam. Suhu tubuhnya terus meningkat. Dengan persediaan obat-obatan di ranselku, Paracetamol segera menghuni lambungnya. Pemandu meminta untuk bertahan sebentar agar mendapat lokasi terbaik beristirahat. 

Tiba-tiba hujan gerimis turun, suara nyanyian daun cemara yang dilalui angin menderu semakin keras. Di bawah rintik hujan aku memeluk batu-batu besar yg kulewati, bagai sedang memeluk kuat-kuat gunung itu. Aku salut kepada keenam peserta lain. Ibuku yang berusia enam puluh tiga tahun, ayah enam puluh tujuh tahun, dan teman-teman beliau yang sebaya.

Belum pernah aku merasakan kepasrahan akan jiwa seperti saat itu. Suara radio pemandu yang ada di depan menjadi panduan jarak antara satu dengan lainnya. 

Pada ketinggian berikutnya, satu peserta  lagi tidak dapat melanjutkan pendakian. Jari jemari kaki ibu Kol, teman ibuku mendadak kaku dan sulit digerakkan. “Sepertinya asam urat saya kambuh!” kata ibu Kol sedih. Jero Mangku berusaha menghibur. “Jangan menyesali sebuah rintangan, mungkin dia hadir untuk menolong,” kata beliau dengan arif.

            Suara ayam hutan saling bersahutan menyambut kami. Langit di ufuk timur mulai memerah. Pertanda pagi akan tiba. Suara para penghuni gunung mulai terdengar sahut menyahut seperti di kebun binatang. Sungguh indah. Kami tiba di lokasi landai pertama tempat pendaki mendirikan kemah seadanya jika diperlukan menginap/beristirahat. Kami bertemu sepasang suami istri wisatawan dari Jerman. Mereka mengundang tubuh kami menikmati hangatnya api unggun. Kami juga disuguhkan teh hangat, dan coklat penambah kalori. Berkenalan dengan Fred dan Ferelly sangat menginspirasi kami untuk bersikap sabar akan pendapat seseorang.



(Dalam photo atas, tampak dua wisatawan Jerman dengan baju hitam) 


Dua orang teman kami, Ibu Kol dan Pak Nyoman terpaksa berhenti sampai di titik ini. Setelah memastikan mereka dalam keadaan aman dan nyaman, kami menitipkan mereka berdua kepada pelukan hangatnya api unggun.

            Jalur yang dilalui semakin sempit dan terjal, sampai kami tiba di pura yang menjadi tujuan utama. Tangis haru pun pecah. Kami bersyukur akan kebesaran Tuhan. Sebelum mencapai tempat ini, dia telah kujelajahi dalam mimpi sebelumnya. Luar biasa, terkadang semesta memberimu pesan lebih awal untuk sebuah kejadian.

            "Terima kasih Tuhan!" kata-kata itu meluncur tiada henti. Di belakang kami bebatuan tampak seperti kain putih dibentangkan turun dari atas gunung. Aliran lava letusan gunung keramat ini di waktu yang lampau. Sembahyang menjadi sungguh istimewa. 

“Tuhan memberkati pendakian suci ini, beliau melimpahkan air suci yang keluar dari sela-sela tebing terjal. Beberapa kali ada yang mendaki, mendapati tebing yang kering, bahkan setetes air pun tidak mengalir!” cerita Jero Mangku. 

Setelah selesai memohon air suci dan sembahyang kami memutuskan kembali turun. Walaupun ada rasa penasaran yang amat sangat, ingin memandang kawah gunung, tetapi kami tidak punya pilihan lain selain kembali. Ada dua kawan yg sedang sakit dengan sisa perbekalan yang mulai menipis membuat kami memutuskan segera turun.

    Mencapai tempat yang lebih rendah sama berbahayanya dengan mendaki. Semua punya tantangannya masing-masing. Ketika mendaki kita digoda oleh kesombongan akan pencapaian, maka ketika melewati  jalur turun kita diganggu oleh hasrat ingin segera sampai. Ini membuat kita menyalahkan kaki yang susah direm. Kondisi ini menjadikan kami agak terpisah jarak beberapa meter satu sama lain. 

Diantara pepohonan dan tebing terjal tiba-tiba aku mendengar suara bersamaan antara raungan tangis dan minta tolong. "Tolongggg...! Huuuu...huuuu... tolong!" Dari suaranya, itu adalah suara dan tangisan ibu Ketut Jati. Aku mendadak merasa ketakutan. Jangan-jangan Ibu Ketut Jati masuk jurang. 

“Siapkan tali panjang kita!” seru Jero Mangku kepada istri beliau. Ingatanku mulai memberi imajinasi berita-berita di koran, jika beberapa  pendaki sebelumnya ada yang jatuh ke jurang, tewas, dan hilang.

            Badanku bagai tertimpa batu besar ketika sampai di lokasi asal teriakan tadi. Ibu yang melahirkanku tergolek lemas dipapah bapak. Ibu mengalami hipotermia. Denyut nadinya tidak teraba, wajahnya pucat pasi, tidak bergerak dan setengah badannya membiru. Kami berteriak-teriak agar ibu bertahan. Kondisi panik melanda. Secara bergantian kami memijat ibu.

"Tuhan, jangan ambil ibuku sekarang!" hanya itu doa yang bergaung di dalam hatiku. Aku meminta pemandu kami memanggil team SAR. Mereka berusaha menenangkan.


"Kita berusaha dulu menyadarkan ibu!" kata Pak Kadek, pemandu kami. Lima belas menit berikutnya ibu mulai sadarkan diri. Pemandu segera memberikan ibu minum dan memaksa ibu makan pia agar ada energi. Karena tidak ada tandu, ibu menuruni terjalnya bebatuan dengan dipapah pemandu kami. 

Dalam perjalanan turun kami terus menerus berdoa agar ibu selamat. Di tengah pendakian turun, kami menjemput kembali dua rekan yang memutuskan menyudahi pendakian. Kondisi ibu semakin lama semakin membaik sampai di areal Pura Pasar Agung, tempat kami berkumpul diawal.       

          Perjalanan spiritual ini meninggalkan kesan yang tidak terlupakan. Pendakian yang mengajarkan kami untuk memberi persiapan lebih baik untuk pendakian berikutnya. 

“Bertahanlah, Pak. Semangat ya, Bapak harus sembuh. Ingat, kita akan mendaki Gunung Batur bersama-sama.” Aku berusaha menguatkan Bapak, ketika setahun kemudian Bapak terbaring di ranjang rumah sakit. 

Dalam keadaan lemah tak berdaya, Bapak memintaku mendekatkan kuping kanan ke bibir beliau. “Sri, bapak tidak akan pernah benar-benar meninggalkanmu!” pesan bapak sebelum menutup mata untuk selamanya. Aku sangat mencintaimu, Pak !

 

Read More