AMPLOP KUTUKAN
“Dua bulan bekerja disini, dan kamu sudah mengecewakan saya. Menurutmu ini hanya tentang bisnis, tetapi tidak buat saya. Sikapmu itu bisa menentukan bagaimana Lala akan memandang saya setelah hari ini!” seperti lebah, kata-kata Pak David terus mendengung ditelingaku.
Aku Mirah, seorang kredit analis dari salah satu bank perkreditan rakyat di Denpasar. Lulus dari bangku kuliah, adalah prestasi besar bagi keluarga kami. Ayahku hanya seorang housekeeping tua di salah satu hotel yang ada di daerah Kuta. Ibuku seorang pengajar tari dari satu sanggar ke sanggar lainnya. Maka ketika masa kuliahku berakhir, masuk ke dunia kerja menjadi tujuan pertama. Aku melayangkan lamaran ke beberapa perusahaan. Semakin banyak kail dilempar, semakin besar kemungkinan mendapat ikan, pikirku.
Surel panggilan untuk seleksi karyawan datang dari tiga perusahaan. Perusahaan properti, perusahaan food and beverage, dan sebuah bank perkreditan rakyat yang ada di Denpasar. Berlatar ilmu ekonomi dan bisnis akhirnya aku menjatuhkan pilihan kepada perusahaan terakhir.
Sebulan berlalu dan aku berhasil lolos dari semua tahapan yang disyaratkan. Dengan rasa percaya diri, aku menandatangani kontrak kerja dengan jabatan kredit analis. Proses belajar dan praktek kulewati dalam satu bulan berikutnya. Dari prestasi itu aku berhak mendapat akses ke dalam sistem perusahaan untuk selanjutnya mempunyai kewenangan menganalisa calon customer perusahaan.
Hari itu aku mendapat tugas survey ke salah satu art shop yang menjual pakaian jadi di daerah Seminyak. Wilayah ini dekat sekali dengan rumah kontrakan kami yang berlokasi di daerah Kuta.
Lewat telepon kami menyepakati waktu kunjungan. Tepat pada pukul 11.00 Wita akhirnya aku tiba di lokasi. Bapak Budi menyambutku hangat. Aku dibimbing untuk masuk ke dalam art shop yang cukup besar. Di dalam terdapat satu ruangan yang difungsikan layaknya sebuah kantor kecil. Obrolan meluncur dengan nyaman, beliau membagi informasi bisnisnya dengan lancar.
Suasana mulai berubah ketika aku meminta penjelasan beberapa dokumen laporan rekening koran yang terlihat kurang aktif dengan transaksi agak mencurigakan. Nota-nota usaha yang dilampirkan juga nampak ganjil. Ada beberapa kejanggalan dalam kelengkapan data permohonan kredit yang diajukan.
Pak Budi menyeringai, sepertinya dia mencium firasatku. Tiba-tiba Bapak itu memanggil nama seseorang. Nama yang dipanggil datang dan masuk ke dalam ruangan bersama tiga lainnya. Mereka berdiri disekitar kami duduk. Nyaliku mulai mengkerut.
“Saya sangat membutuhkan dana itu, Mbak. Tolong dibantu!“ kata Pak Budi sambil menerima sebuah amplop dari tangan lelaki yang berdiri paling dekat dengan posisinya. Perlahan Pak Budi meletakkan amplop putih itu tepat di atas meja yang ada di depanku. Semua mata tertuju pada benda itu.
“Tentu, Pak Budi. Tetapi saya sudah digaji oleh perusahaan tempat saya bekerja. Tanpa diminta, saya akan membantu mewujudkan harapan Bapak!“ jawabku. Pak Budi bergerak meninggalkan ruangan pengap itu. Aku bangun dari kursi dan bersiap-siap meninggalkan ruangan yang makin menyesak. Seseorang dari mereka menepuk pundakku. “Duduk saja dulu, Mbak!” katanya. Sebuah permintaan halus yang disampaikan dengan wajah sangar.
Aku mulai terlibat baku tatap dengan empat laki-laki berangasan, yang sedang mengelilingiku dengan posisi bersandar di tembok ruangan. Aku harus keluar dari ruangan ini dengan selamat, tekadku bulat.
Tak lama, Pak Budi datang sambil membawa dua botol minuman ringan dalam kaleng. “Minum dulu, Mbak....!“ katanya. Aku meraih satu diantaranya. Setelah menolak amplopnya, dia mungkin saja tersinggung jika aku juga menolak minuman yang ditawarkan. Ocehan Pak Budi tentang aktivitas usahanya semakin membual. Dengan segala cara dia berusaha meyakinkan aku jika usahanya berjalan lancar. Selain retail untuk pasar lokal, produk juga diekspor ke luar negeri. Rekanan usahanya banyak. Tentu semua tanpa dokumen pendukung yang memadai.
Otakku sibuk mencari jalan untuk bisa keluar dengan aman. Lokasi kantor yang berada di dalam toko membuat orang yang berlalu-lalang di sepanjang trotoar daerah Seminyak itu tidak terlihat. Pak Budi mulai menyentuh amplop putih itu lagi dan meraih tangan saya. “Rejeki jangan ditolak. Kita sama-sama cari makan!“ katanya sambil berdiri.
Aku merasa sangat tersinggung dengan ucapan itu. Tetapi pandangan tajam dari empat lelaki lain membuatku digelayuti gentar. Mereka saling sahut menyahut memintaku menerima amplop itu. Aku berdiri dan memasukkan amplop itu ke dalam tas ranselku. Ucapan terima kasih berhasil membuat mereka tersenyum.
Motorku melaju ke arah Kuta, ibu adalah tujuanku selanjutnya. Setelah menyelesaikan makan siangnya, ibu segera menyambar helm yang tergantung di garase. Aku memacu motor sambil membonceng ibu dengan posisi menghadap ke depan. Aku kembali ke lokasi customer tadi.
Tepat di seberang toko itu aku berhenti. Ibu menyeberang jalan, berlari kecil menuju toko yang sudah kuinformasikan sambil membawa amplop putih tadi. Dari kejauhan kulihat ibu bertemu dengan Pak Budi. Wajahnya tampak kebingungan. Ibu menunjuk ke arahku. “Terima kasih, Pak!” seruku. Pak Budi hanya terdiam. Waktu yang sangat singkat itu dimanfaatkan ibu untuk menyeberang jalan kembali kepadaku. Rasanya lega, beban dipundak sudah kulepaskan.
Tiga puluh menit berlalu saat aku menyelesaikan laporan kunjungan survey hari ini. “Mirah, kamu dipanggil Pak David di ruangannya. Ayo kita ke dalam!” ajak Pak Agung, sales head kami. Aku menurut dan berjalan beriringan menuju ruangan kaca yg tampak lebih mirip akuarium di pojok ruangan.
“Bagaimana hasil analisa saudara ipar saya, Mirah?“ tanya Pak David menyapa. “Hari ini saya ada dua kunjungan. Saudara Bapak yang mana ya?“ aku balik bertanya.
Astaga, customer yang tadi kutolak amplopnya itu masih saudara ipar beliau. “Saya reject Pak!“ jawabku sambil menelan ludah. Pak David membelalakkan mata. “Baru dua bulan disini, kamu berani menolak pengajuan kredit adik ipar saya, Mirah?” suaranya meninggi menandakan beliau kesal. ”Maaf Pak, tapi semua alasan penolakan sudah diinformasikan di dalam hasil analisa,“ lanjutku membuat pembelaan. “Justru itu masalahnya. Laporan yang sudah diinput ke dalam sistem tidak bisa dirubah lagi. Seharusnya bicarakan dulu dengan saya!” Setengah berteriak beliau memintaku keluar ruangan.
“Terkadang jika situasi memburuk, kita terpaksa harus mundur selangkah. Menunggu dengan sabar sampai situasi kembali menguntungkan untuk memberi reaksi yang tepat. Tindakanmu itu sudah benar, Mirah,” kata ibu. Aku menundukkan wajah dalam-dalam. Ingin rasanya menenggelamkannya jauh ke dasar bumi. Ada rasa sakit yang mulai berdenyut, walau aku sendiri tidak tahu dimana letak bagian yang sakit itu. Makan malam yang tersaji di meja makan tidak mampu menarik perhatianku.
“Tapi, Pak David menuduhku menerima suap, Bu. Ada rekaman video saat aku mengambil amplop itu.” Kali ini tangisku benar-benar pecah. “Siapa yang mengirim rekaman itu kepada bosmu?” tanya ibu penuh selidik. “Ibu Lala, istri Pak David!” jawabku.
Aku menangis sesenggukan. Aku merasa sangat sakit. Sebuah luka baru yang muncul karena sebuah pengkhianatan. Ya, aku sedang dikhianati. Perusahaan yang perlahan mulai kucintai telah menjadikan aku korban untuk hati seseorang yang tidak ada hubungannya dengan struktur organisasi.
“Inilah hidup, Nak. Tidak ada seorangpun memiliki kewajiban untuk baik kepadamu. Jika pun ada yang berbaik hati, maka itu adalah keberuntungan.” Begitulah ibu, beliau sangat mengerti kondisi yang kuhadapi, bahkan disaat aku belum memahami diriku sendiri.
Dengan berat hati aku menuruti permintaan Pak David. Surat pengunduran diri akan membuatku terhindar dari tuduhan melanggar prinsip integritas dalam perusahaan. Sebelumnya, melalui telepon Ibu Lala menuduhku meminta sogokan lebih besar dengan cara menolak permohonan kredit. Sejatinya, sampai sekarang pun aku tidak pernah mengetahui nilai uang dalam amplop kutukan itu.
Setahun selanjutnya, ketika aku melewati jalan raya Basangkasa Seminyak, kusempatkan menoleh lokasi toko saudara ipar Pak David. Toko itu tutup dan berganti dengan yang lain. Aku mencoba mampir dan mencari info kepada penyewa yang baru. “Pak Budi tersandung kasus penipuan, Mba. Saya kurang jelas juga,” jawab ibu muda itu.
Benar kata ibu, jika kebenaran akan meninggikan kebaikan dan kehidupan yang suci. Kebenaran tidak dapat hidup di dalam hati yang lemah.
Aku melanjutkan perjalanan menuju studio tari yang kurintis bersama ibu. Ahhh, tentu Mba Nia pegawai kami sudah tidak sabar menungguku. Ada banyak permintaan kostum tari dan jadwal pentas yang masuk ke surelku.
(Penggalan Cerpen Dalam Buku Salma Dan Lelaki Kiriman Tuhan NW Sri Mulyani. Ada banyak cerita lain yang dapat dbaca dalam buku itu. Untuk pemesanan buku silahkan dm ke @nwsrimulyani)