Entahlah, apa masalah yang dihadapi istri politikus itu. Maya selalu bersikap tertutup dengan para tetangganya. Awalnya aku kagum dengan sikap Maya yang tidak mau ikut kumpul-kumpul dengan para ibu untuk ngobrol di samping rumah di sore hari. Pikirku, dia menghindari kebiasaan bergosip yang kadang dilakukan para ibu dengan tidak sengaja.
Maya adalah seorang wanita karir yang bekerja sebagai customer service di salah satu bank swasta di Bali. Sebenarnya biaya kebutuhan perawatan tubuhnya jauh lebih tinggi dari gaji yang masuk setiap bulan. Tetapi itulah kenyataannya. Ada segelintir ibu-ibu modern di bumi ini yang tidak memperhatikan transferan bulanan dari kantor yang menggajinya.
Maya lebih memilih untuk menjaga perasaan hatinya sendiri daripada menjaga hati anaknya. Entah karena alasan produktif di luar rumah, atau sekedar gaya hidup. Baginya, pernikahan dengan seorang politikus sudah menjadi perangkap yang membatasi gerak.
Suami Maya memang seorang politikus dari salah satu partai politik di negeri ini. Karena kesibukannya, Pak Indra jarang tampak di rumah itu. Jika ada tetangga yang kebetulan melihat laki-laki itu masuk ke dalam rumah, maka dia adalah orang yang cukup beruntung.
Jangankan menggoda istri di dapur, duduk berdua saja mereka sangat jarang. Sekalinya tampak ngobrol serius, biasanya diakhiri dengan pertengkaran hebat. Dulu, aku pernah cemburu melihat dapur Maya yang dilengkapi alat-alat modern. Betapa nyamannya jika aku yang memasak disana. Tapi melihat kehidupan keluarga dengan hati saling berjauhan itu, aku jadi mensyukuri semua berkah yang kuterima. Rejeki bukan hanya uang. Suami yang berangkat kerja sambil menenteng rantang berisi masakanmu, atau makan dengan anak-anak di teras rumah adalah kelimpahan yang tiada tara. Bukan kemewahan dapurnya, tetapi cinta yang terus-menerus mengepul dari tungku kompor yang terus dinyalakan, yang membuatnya dirindukan. Bahagia itu tersimpan dalam kata cukup.
Mungkin aku satu-satunya tetangga yang pernah masuk ke dalam rumah besar Maya. Seminggu yang lalu, Pak Sukri, sopir Maya datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Niken pingsan setelah jatuh dari tangga, dan Mba Ina, pengasuhnya sedang mengambil libur. Dua asisten lain kebetulan sudah berangkat ke pasar.
Aku datang dengan minyak kayu putih di tangan. Dengan lembut aku mencoba mengurut tengkuk Niken yang dingin, ada kesepian mendalam disana. Kusentuh bahunya lalu memijat lembut hingga pergelangan tangan. Aku mendapati kekecewaan yang bersarang menahun. Setelah lima belas menit berlalu akhirnya Niken siuman. Aku meminta Pak Sukri membawanya ke dokter, sekedar memastikan jika Niken baik-baik saja.
Tangisan Maya terdengar lagi. Ada yang berbeda dari tangisannya malam ini. Suara yang serak dengan teriakan melengking dan memekakkan telinga. Raungannya bagai lolongan serigala.
Aku yang tinggal tepat disamping kanan tembok rumahnya merasa tidak kuat dengan situasi yang semakin tidak jelas. Kuberanikan diri menekan bel yang dipasang tepat di depan pintu gerbang rumah bercat putih itu.
Pak Sukri, sopir di rumah itu tampak membukakan pintu. Beliau menemaniku masuk ke dalam rumah itu lagi. Maya sedang memukul wajahnya sendiri. Mengibaskan tubuhnya, lalu menjambak rambut ikal yang disemirnya dengan warna keemasan. Napasnya berkejaran dengan mata yang merah menyala.
Ada kemarahan yang tumpah ruah bagai air bah yang bebas setelah dibendung bertahun-tahun. Maya memaksa tubuhnya tetap berdiri dengan kekuatan yang tersisa dari kedua kakinya.
“Kau boleh cerita kepadaku. Sedang ada masalah apa, May?” tanyaku perlahan. “Ini masalahku sendiri. Kau tidak punya kewajiban untuk menolongku. Yang menangis juga aku. Tidak ada air mata yang kuminta darimu. Lalu apa urusanmu datang kemari?” teriak Maya terbakar emosi.
“Bukan begitu, May. Teriakanmu sudah mengganggu tetangga yang mau tidur. Masalahmu bukan urusanku. Tapi aku juga punya kuping yang masih sehat,” aku menjawab dengan rasa kesal. “Kalau begitu tutup saja kupingmu, atau simpan dikantong dastermu. Siapa suruh kupingmu mendengar jeritanku!” sahutnya tak kalah sengit.
Brak… kubanting pintu kamarnya dengan kuat. Sebuah lukisan Maya yang sedang tergantung di dinding jatuh ke lantai. Pecahan kacanya berhamburan. Mendapat perlawanan darinya, membuatku naik pitam. Aku bergegas beranjak pergi dari rumah itu.
“Dasar ibu-ibu kampungan kamu, Saras! Tiap hari tubuhmu bau dapur!” teriakannya mengekor langkahku.
Aku marah sekali. Tanpa menyadari kedudukannya sebagai ibu dari seorang gadis remaja, dia telah menghina para wanita yang iklas mengabdikan diri untuk keluarga mereka. Langkah sempat kuhentikan sejenak, tapi bukan untuk membalikkan tubuh dan menyerangnya balik. Aku hanya menarik napas sebentar, memberi jantungku kesempatan menata iramanya lagi.
Keesokan paginya, Pipit berlarian mencariku kesana kemari sambil berteriak-teriak. “Mama…mama…!” Aku segera mematikan kompor. “Lihat itu!” katanya sambil menunjuk ke arah rumah Maya. Sebuah ambulance datang tanpa menyalakan sirene. Sunyi senyap dengan pergerakan lembut. Dengan tangan terikat, Maya dibawa bersamannya.
Aku berlarian menghampiri suami Maya yang tampak berdiri mematung. “Ada apa?” tanyaku dengan napas memburu. “Maafkan aku, Saras. Kakakmu mengalami depresi berat, aku tidak bisa menemaninya di ambulance, karena dia terus mau membunuhku,” wajah Indra dipenuhi penyesalan. “Apa yang terjadi, In?” aku mencoba mencari jawaban dari sorot matanya yang kosong.
“Dia menuduhku punya wanita lain. Menduga Niken memakai narkoba. Mengira para pegawai di rumah mencuranginya. Merasa bos dikantor memanfaatkannya, dan semua sangkaan-sangkaan lain yang tumbuh subur dikepalanya.” Indra menarik nafas berat. Aku terduduk lemas dihadapan kakak iparku. Sikap seorang politikus susah ditebak. Bolehkah aku mempercayainya? Entahlah.
Indra memandang kehidupannya tanpa melihat. Maya menjalani perannya tanpa kehadiran rasa. Halaman rumah mereka indah dan terawat, tetapi lupa menggarap ladang kasih disana. Persediaan beras mereka tidak pernah habis, tetapi lumbung-lumbung cintanya kosong.
Seringkali mereka mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Menampilkan hidup penuh kebohongan di media sosial hanya untuk mengelabui diri sendiri. Dia menyia-nyiakan energi tubuh untuk membentuk citra dirinya lebih tinggi. Menjaga penilaian orang kepadanya, lalu melewatkan kebahagiaan sendiri. Ketika sampai pada suatu titik, mereka kehilangan jati diri. Terlanjur menjadi orang lain. Sejatinya alam sudah mengajar tanpa kata-kata.
Separuh usia ibu kami dihabiskan untuk mengabdi kepada keluarga. Selain mewariskan pandangan agama yang diyakini, ibu lebih banyak mengajarkan kami nilai-nilai luhur tentang kasih yang mendalam. Sikap baik itu diwariskan perlahan-lahan melalui pengasuhan, bukan dihadiahkan secara tiba-tiba. Selama ini ternyata Ibu bukan hanya bermaksud mengajarkan aku memasak atau merawat anak-anak, tetapi juga cara mencintai dan menertawakan hidup pada saat bersamaan.
(penggalan cerpen Keluarga Politikus dalam antologi cerpen Salma Dan Lelaki Kiriman Tuhan, Ni Wayan Sri Mulyani)
EmoticonEmoticon