REFLEKSI MENYAMBUT TAHUN BARU 2023 (BAGIAN 1)

 


KETIKA SEMESTA MENCINTAIKU

(Sebuah Refleksi Menyambut Tahun Baru 2023)

 

Satu hal yang harus dilakukan untuk memiliki sesuatu yang kita cintai adalah mempercayainya. Satu hal yang harus dilakukan ketika mempercayai adalah meyakininya. Dengan keyakinan maka kita akan berusaha untuk mencapainya. Pada kondisi ini, kita sudah berada pada sebuah lingkaran yang baik.

 

Berhati-hatilah saat meyakini sesuatu. Pastikan jika hal yang sedang diyakini itu adalah positif. Bisa dibayangkan jika yang sedang diyakini adalah hal yang buruk, maka kita akan berputar-putar pada pusaran yang menyakitkan.

 

Menjalani tahun demi tahun dalam kehidupan kita sudah pasti tidak ada yang sama setiap detiknya. Menyenangkan terus atau menyedihkan terus. Bahagia dan gembira datang silih berganti. Ketika kita mampu memahaminya dengan baik dan bijaksana maka pada fase sedih kita masih tetap mampu melihat sisi baiknya.

 

Kaki seorang anak tersandung batu. Tangisan pun pecah menyayat kalbu. Siapa yang hatinya tidak terluka melihat buliran demi buliran air mata membasahi pipi mungilnya. Tetapi sang ibu segera datang memeluk, mengusap air mata, dan menanyakan apa yang terjadi.

Lutut yang tergores sangatlah perih. Sang ibu memeriksa kondisi luka kemudian memberikan pertolongan. Goresan pada kulit lembutnya dibersihkan dengan antiseptic kemudian diberi obat agar tidak infeksi. Kasih sayang sang ibu mengalir bak air sungai dengan arus yang tenang. Sesekali sang ibu meniup luka dan memberi penghiburan. 

“ Syukurlah, hanya luka goresan. Beruntung kulitmu tidak sampai robek apalagi sampai patah tulang. Terima kasih Tuhan, luka ini akan segera sembuh, dan kita bisa bermain lagi!” seru sang ibu sambil tersenyum.

 

Apa yang terbayang ketika ucapan itu selesai disampaikan?

Anak akan tersenyum diantara sakitnya. Dalam proses menerima sebuah kejadian sebagai suatu kenyataan yang harus diterima, sang ibu tetap mengajaknya bersyukur bahkan untuk sebuah luka yang baru saja terjadi. Mengucapkan terima kasih pada kejadian yang tidak menyenangkan tetapi masih diberi kekuatan untuk melaluinya.

 

Coba dibayangkan jika sang anak tetap bersikukuh untuk bertahan pada sikap menolak lukanya, membenci kejadian yang sudah terjadi, menyesali dirinya sendiri yang sudah salah melangkahkan kaki, dan seterusnya. 

Coba bayangkan jika sang ibu justru membakar suasana dengan kata-kata yang buruk. Menyalahan dan memaki yang dianggap sebagai sumber masalah.

Maka bukan kesembuhan yang akan didapat, melainkan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Jika sang anak marah kemudian menendang batu yang dianggapnya sebagai sumber masalah, kemungkinan besar akan terjadi luka baru yang lebih besar.

 

Maka ketika kita mendapatan kejadian buruk, perasaan buruk atau perasaan tidak senang, jangan memberi kekuatan kepada perasaan itu, apalagi sampai mencurahkan waktu dan tenaga untuk memberi energi besar kepadanya. Semakin kuat kita membenci sebuah kejadian atau perasaan buruk, maka semakin kuat pula ia akan menyakiti kita.

 

Jika ada orang-orang bersikap buruk dan menekan kita dengan tingkah mereka, jalan terbaik adalah segera membuat pilihan untuk menjauh, meninggalkan mereka, dan memutuskan pengaruh negatif tersebut.

Bagi mereka yang selalu berpikir negative, apapun yang kita lakukan akan salah dimata mereka. Tidak ada untungnya berjuang untuk membuat mereka paham akan maksud dan sikap baik kita. Selalu ada pilihan untuk menjaga diri dan perasaan kita tetap positif.

 

Karena hanya orang-orang “hebat” yang mampu menertawakan kegagalan, mengevaluasi kesalahan, lalu memperbaiki diri.

 

Orang-orang itu adalah kita!





EmoticonEmoticon