Amplop Kutukan



AMPLOP KUTUKAN

 

    “Dua bulan bekerja disini, dan kamu sudah mengecewakan saya. Menurutmu ini hanya tentang bisnis, tetapi tidak buat saya. Sikapmu itu bisa menentukan bagaimana Lala akan memandang saya setelah hari ini!” seperti lebah, kata-kata Pak David terus mendengung ditelingaku.

    Aku Mirah, seorang kredit analis dari salah satu bank perkreditan rakyat di Denpasar.  Lulus dari bangku kuliah, adalah prestasi besar bagi keluarga kami. Ayahku hanya seorang housekeeping tua di salah satu hotel yang ada di daerah Kuta. Ibuku seorang pengajar tari dari satu sanggar ke sanggar lainnya. Maka ketika masa kuliahku berakhir, masuk ke dunia kerja menjadi tujuan pertama. Aku melayangkan lamaran ke beberapa perusahaan. Semakin banyak kail dilempar, semakin besar kemungkinan mendapat ikan, pikirku.

    Surel panggilan untuk seleksi karyawan datang dari  tiga perusahaan. Perusahaan properti, perusahaan food and beverage, dan sebuah bank perkreditan rakyat yang ada di Denpasar. Berlatar ilmu ekonomi dan bisnis akhirnya aku menjatuhkan pilihan kepada perusahaan terakhir.

    Sebulan berlalu dan aku berhasil lolos dari semua tahapan yang disyaratkan. Dengan rasa percaya diri, aku menandatangani kontrak kerja dengan jabatan kredit analis. Proses belajar dan praktek kulewati dalam satu bulan berikutnya. Dari prestasi itu aku berhak  mendapat akses ke dalam sistem perusahaan untuk selanjutnya mempunyai kewenangan menganalisa calon customer perusahaan.

     Hari itu aku mendapat tugas survey ke salah satu art shop yang menjual pakaian jadi di daerah Seminyak. Wilayah ini dekat sekali dengan rumah kontrakan kami yang berlokasi di daerah Kuta. 

Lewat telepon kami menyepakati waktu kunjungan. Tepat pada pukul 11.00 Wita akhirnya aku tiba di lokasi. Bapak Budi menyambutku hangat. Aku dibimbing untuk masuk ke dalam art shop yang cukup besar. Di dalam terdapat satu ruangan yang difungsikan layaknya sebuah kantor kecil. Obrolan meluncur dengan nyaman, beliau membagi informasi bisnisnya dengan lancar. 

Suasana mulai berubah ketika aku meminta penjelasan beberapa dokumen laporan rekening koran yang terlihat kurang aktif dengan transaksi agak mencurigakan. Nota-nota usaha yang dilampirkan juga nampak ganjil. Ada beberapa kejanggalan dalam kelengkapan data permohonan kredit yang diajukan.

Pak Budi menyeringai, sepertinya dia mencium firasatku. Tiba-tiba Bapak itu memanggil nama seseorang. Nama yang dipanggil datang dan masuk ke dalam ruangan bersama tiga lainnya. Mereka berdiri disekitar kami duduk. Nyaliku mulai mengkerut. 

     “Saya sangat membutuhkan dana itu, Mbak. Tolong dibantu!“ kata Pak Budi sambil menerima sebuah amplop dari tangan lelaki yang berdiri paling dekat dengan posisinya. Perlahan Pak Budi meletakkan amplop putih itu tepat di atas meja yang ada di depanku. Semua mata tertuju pada benda itu. 

“Tentu, Pak Budi. Tetapi saya sudah digaji oleh perusahaan tempat saya bekerja. Tanpa diminta, saya akan membantu mewujudkan harapan Bapak!“ jawabku.  Pak Budi bergerak meninggalkan ruangan pengap itu. Aku bangun dari kursi dan bersiap-siap meninggalkan ruangan yang makin menyesak. Seseorang dari mereka menepuk pundakku. “Duduk saja dulu, Mbak!” katanya. Sebuah permintaan halus yang disampaikan dengan wajah sangar.

Aku mulai terlibat baku tatap dengan empat laki-laki  berangasan, yang sedang mengelilingiku dengan posisi bersandar di tembok ruangan. Aku harus keluar dari ruangan ini dengan selamat, tekadku bulat.

Tak lama, Pak Budi datang sambil membawa dua botol minuman ringan dalam kaleng. “Minum dulu, Mbak....!“ katanya. Aku meraih satu diantaranya. Setelah menolak amplopnya, dia mungkin saja tersinggung jika aku juga menolak minuman yang ditawarkan. Ocehan Pak Budi tentang aktivitas usahanya semakin membual. Dengan segala cara dia berusaha meyakinkan aku jika usahanya berjalan lancar. Selain retail untuk pasar lokal, produk juga diekspor ke luar negeri. Rekanan usahanya banyak. Tentu semua tanpa dokumen pendukung yang memadai. 

Otakku sibuk mencari jalan untuk bisa keluar dengan aman. Lokasi kantor yang berada di dalam toko membuat orang yang berlalu-lalang di sepanjang trotoar daerah Seminyak itu tidak terlihat. Pak Budi mulai menyentuh amplop putih itu lagi dan meraih tangan saya. “Rejeki jangan ditolak. Kita sama-sama cari makan!“ katanya sambil berdiri. 

Aku merasa sangat tersinggung dengan ucapan itu. Tetapi pandangan tajam dari empat lelaki lain membuatku digelayuti gentar. Mereka saling sahut menyahut memintaku menerima amplop itu. Aku berdiri dan memasukkan amplop itu ke dalam tas ranselku. Ucapan terima kasih berhasil membuat mereka tersenyum.

    Motorku melaju ke arah Kuta, ibu adalah tujuanku selanjutnya. Setelah menyelesaikan makan siangnya, ibu segera menyambar helm yang tergantung di garase. Aku memacu motor sambil membonceng ibu dengan posisi menghadap ke depan. Aku kembali ke lokasi customer tadi. 

Tepat di seberang toko itu aku berhenti. Ibu menyeberang jalan, berlari kecil menuju toko yang sudah kuinformasikan sambil membawa amplop putih tadi. Dari kejauhan kulihat ibu bertemu dengan Pak Budi. Wajahnya tampak kebingungan. Ibu menunjuk ke arahku. “Terima kasih, Pak!” seruku. Pak Budi hanya terdiam. Waktu yang sangat singkat itu dimanfaatkan ibu untuk menyeberang jalan kembali kepadaku. Rasanya lega, beban dipundak sudah kulepaskan.

       Tiga puluh menit berlalu saat aku menyelesaikan laporan kunjungan survey hari ini. “Mirah, kamu dipanggil Pak David di ruangannya. Ayo kita ke dalam!” ajak Pak Agung, sales head kami. Aku menurut dan berjalan beriringan menuju ruangan kaca yg tampak lebih mirip akuarium di pojok ruangan.

       “Bagaimana hasil analisa saudara ipar saya, Mirah?“ tanya Pak David menyapa. “Hari ini saya ada dua kunjungan. Saudara Bapak yang mana ya?“ aku balik bertanya. 

Astaga, customer yang tadi kutolak amplopnya itu masih saudara ipar beliau. “Saya reject Pak!“ jawabku sambil menelan ludah. Pak David membelalakkan mata. “Baru dua bulan disini, kamu berani menolak pengajuan kredit adik ipar saya, Mirah?” suaranya meninggi menandakan beliau kesal. ”Maaf Pak, tapi semua alasan penolakan sudah diinformasikan di dalam hasil analisa,“  lanjutku membuat pembelaan. “Justru itu masalahnya. Laporan yang sudah diinput ke dalam sistem tidak bisa dirubah lagi. Seharusnya bicarakan dulu dengan saya!” Setengah berteriak beliau memintaku keluar ruangan. 

      “Terkadang jika situasi memburuk, kita terpaksa harus mundur selangkah. Menunggu dengan sabar sampai situasi kembali menguntungkan untuk memberi reaksi yang tepat. Tindakanmu itu sudah benar, Mirah,” kata ibu. Aku menundukkan wajah dalam-dalam. Ingin rasanya menenggelamkannya jauh ke dasar bumi. Ada rasa sakit yang mulai berdenyut, walau aku sendiri tidak tahu dimana letak bagian yang sakit itu. Makan malam yang tersaji di meja makan tidak mampu menarik perhatianku.

“Tapi, Pak David menuduhku menerima suap, Bu. Ada rekaman video saat aku mengambil amplop itu.” Kali ini tangisku benar-benar pecah. “Siapa yang mengirim rekaman itu kepada bosmu?” tanya ibu penuh selidik. “Ibu Lala, istri Pak David!” jawabku. 

Aku menangis sesenggukan. Aku merasa sangat sakit. Sebuah luka baru yang muncul karena sebuah pengkhianatan. Ya, aku sedang dikhianati. Perusahaan yang perlahan mulai kucintai telah menjadikan aku korban untuk hati seseorang yang tidak ada hubungannya dengan struktur organisasi. 

“Inilah hidup, Nak. Tidak ada seorangpun memiliki kewajiban untuk baik kepadamu. Jika pun ada yang berbaik hati, maka itu adalah keberuntungan.” Begitulah ibu, beliau sangat mengerti kondisi yang kuhadapi, bahkan disaat aku belum memahami diriku sendiri.

Dengan berat hati aku menuruti permintaan Pak David. Surat pengunduran diri akan membuatku terhindar dari tuduhan melanggar prinsip integritas dalam perusahaan. Sebelumnya, melalui telepon Ibu Lala menuduhku meminta sogokan lebih besar dengan cara menolak permohonan kredit. Sejatinya, sampai sekarang pun aku tidak pernah mengetahui nilai uang dalam amplop kutukan itu.

Setahun selanjutnya, ketika aku melewati jalan raya Basangkasa Seminyak, kusempatkan menoleh lokasi toko saudara ipar Pak David. Toko itu tutup dan berganti dengan yang lain. Aku mencoba mampir dan mencari info kepada penyewa yang baru. “Pak Budi tersandung kasus penipuan, Mba. Saya kurang jelas juga,” jawab ibu muda itu.

Benar kata ibu, jika kebenaran akan meninggikan kebaikan dan kehidupan yang suci. Kebenaran tidak dapat hidup di dalam hati yang lemah. 

Aku melanjutkan perjalanan menuju studio tari yang kurintis bersama ibu. Ahhh, tentu Mba Nia pegawai kami sudah tidak sabar menungguku. Ada banyak permintaan kostum tari dan jadwal pentas yang masuk ke surelku. 


(Penggalan Cerpen Dalam Buku Salma Dan Lelaki Kiriman Tuhan NW Sri Mulyani. Ada banyak cerita lain yang dapat dbaca dalam buku itu. Untuk pemesanan buku silahkan dm ke @nwsrimulyani)

 

Read More

Cinta Kepada Anak Perempuan

Walaupun ada orang yang mempunyai keahlian meramal jenis kelamin dari bentuk perut sang bunda, nyatanya jenis kelamin anak dalam kandungan tetap menjadi misteri. Berkembanglah sikap manusia yang terus mencoba untuk mengetahui jawaban lebih awal. Untuk itu mereka berusaha menghadirkan teknologi kedokteran yang semakin baik. Berupaya menjawab misteri, mendahului waktu yang sudah ditentukan Tuhan.  

Mengandung anak perempuan tidak ada bedanya dengan mengandung anak laki-laki. Setidaknya itu pengalaman yang kurasakan setelah melahirkan dua laki-laki dan satu perempuan. Proses melahirkan pun tidak ada bedanya, apakah lebih rumit ketika melahirkan bayi laki-laki atau yang perempuan. Sama mulesnya, sama kontraksinya, sama sakitnya, sama robeknya, dan sama bahagianya. Sulit tidaknya proses kelahiran tidak ditentukan oleh jenis kelamin sang bayi. Mahluk hidup lahir kedunia dengan membawa karma mereka masing-masing, dalam perjalanan akan bersanding dengan karma sang bunda. Karena itu tidak ada yang harus dibedakan dalam pengasuhan selanjutnya.

Bagiku mengasuh anak perempuan itu seperti mengasuh diri sendiri. Melihatnya tumbuh seperti meminjam mata ibuku. Seringkali aku berpikir apakah dahulu ibu memandangku sama dengan aku memandang perempuan kecilku sekarang. Secara fisik kita sama, walau isi kepala belum tentu sama. Seorang ibu dan putrinya yang bisa bersikap jujur kepada diri sendiri akan mengakui bahwa jumlah kepedihan dan kebahagiaan akan mereka rasakan secara timbal balik. Hal yang dirasakan sang ibu sejak kelahiran, tetapi sang puteri masih membutuhkan waktu panjang untuk memahami itu.

Masih teringat ibuku dulu, ketika aku masih remaja dan belum menikah. 
"Nanti kamu akan mengerti dengan sendirinya", kata Ibu saat itu.
Bersama sang waktu setiap perempuan akan terus belajar. Memahani diri sendiri, memahami tujuan mengapa diberi kepercayaan sebagai seorang perempuan, dan memahami orang lain yang hidup disekitarnya.

Selalu ada cinta yang unik antara seorang Ibu dan anaknya.


Perempuanku

Cinta ini tak lekang oleh waktu

Ikut memintal nafasmu

Sampai akhir masa

Jagalah muruahmu








Read More

Risau Hujan


 
Jangan khawatirkan hujan nak

Dia datang karena diundang mendung

Pergi pun karena dijemput mentari

Mengapa kau risaukan itu

Tetaplah bermain ibu menjagamu

Tiada guna kau berkeras dada

Arahnya sudah ada

Ikuti saja nak

Keras hati hanya membuatmu bertalu-talu menghirup cemburu

Syak wasangka hanya menghujani derita bagi sukamu

Kembangkan senyummu

Karena kebahagiaan itu dirasakan

Bukan dipikirkan

Read More

Desau Hati




DESAU HATI


Jika risau mengganggumu

Ingatlah doa ibu menyanggamu

Untuk apa berpatah hati

Semesta belum semua kau susuri

Untuk apa kecewa

Belum semua ilmu kau bawa

Bumi belum habis kau pijak

Jangan merasa kehilangan jejak



Read More

Mengapa Saya Menulis?

(photo by prokreatif media)

Selalu ada sebuah alasan dibalik suatu tindakan. 
Keterampilan dasar menulis bukan sebuah pilihan. Dia adalah kebutuhan dasar seorang manusia. Bagaimana seseorang dapat berkomunikasi dengan baik jika dia tidak bisa membaca dan menulis. Terlebih lagi di era ketika internet dan produk-produk digital telah merambah hampir seluruh isi dunia. Kemampuan menulis adalah kemampuan untuk berbahasa dan berkomunikasi.

Tujuan menulis dalam konsep yang lebih luas adalah panggilan hidup seseorang. Artinya, alasan seseorang menulis karena baginya menulis adalah cara untuk berbagi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
(Pramoedya Ananta Toer) 

Beberapa alasan mengapa seseorang (saya) menulis, diantaranya adalah :

1. Berbagi Gagasan/pemikiran.
Pernahkah kalian mendapat respon positif dari seseorang setelah selesai membagi sebuah konten di media sosial? Saya sangat sering mengalaminya. Ketika unggahan tentang masakan saya direspon seseorang dan minta resep cara membuatnya. Atau ketika saya membagi unggahan tentang kebun kecil saya, ada banyak pesan masuk yang mengatakan ingin mengikuti langkah saya. Saat itu saya merasakan sebuah kebahagian menyelinap hadir diantara kesibukan saya membalas respon mereka. Saya merasa bermanfaat bagi orang lain. Berguru kepada matahari yang tidak lelah menyinari alam semesta. Terus menerus berbagi cahaya, walau sesekali ada saja yang merasa tidak membutuhkannya. 

2. Mengisi Waktu Luang.
Setiap orang punya pilihan dalam mengisi waktu luang. Sebagian besar dari mereka akan menekuni hobi/kegemaran masing-masing, tapi sebagian lagi masih menyia-nyiakan waktu luangnya. Daripada bergosip, membicarakan orang lain, atau hanya duduk bengong, bagi saya menulis adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan. 

3. Relaksasi dan Menghilangkan Stres.
Menulis dapat menjadi sebuah pelampiasan perasaan senang dan sedih. Ketika terkadang kita tidak dapat berbicara dengan lantang dan kuat, menulis akan membantu melepaskan perasaan hati yang terpendam. 

4. Menyalurkan Kegemaran/hobi. 
Ada beberapa hal di dunia ini yang tidak dapat dinilai dengan uang. Kebahagiaan dan kepuasan batin adalah salah satunya. Itulah mengapa ada seseorang yang tidak menghiraukan berapa uang yang dia keluarkan agar dapat menekuni hobinya. Seperti memancing, touring, traveling, dan lain-lain. Tentu menulis bukan sebuah hobi yang mahal. Menulis bisa dilakukan dengan banyak cara. Menulis di kertas atau handphone juga bisa. Seperti halnya seseorang yang sedang jatuh cinta, dia akan melakukan segala cara untuk sampai kepada kekasih hatinya.

5. Menghasilkan Uang.
Apakah menulis juga dapat menghasilkan uang? Tentu saja jawabannya" iya". Ada banyak keterampilan menulis yang saat ini dapat menghasilkan uang. Selain menulis buku atau menulis di media online, seseorang sangat mungkin untuk menjadi freelancer konten online, sebagai kontributor website, penulis captcha, jasa pengetikan, data entry, dan masih banyak lagi.

"Kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali"
(Aristoteles)

Jangan ragu untuk memulai. Apalagi jika itu adalah sesuatu yang membuat kita bahagia. 



Read More

Manfaat Bertani/berkebun ( Selamat Hari Tani, 24 September 2020 )








Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September. Pada tahun ini acara peringatan digelar di Kantor Pusat Kementan Jakarta.

Pesan penting dari peringatan itu adalah bahwa Indonesia memerlukan adanya regenerasi petani guna pembangunan pertanian nasional, terutama mengubah manajemen usaha pertanian. 
Menteri pertanian juga berharap agar para Kepala Daerah mulai dari tingkatan desa/kelurahan hingga kabupaten/kota dapat mengembangkan inovasi pertanian dan mendorong lahirnya petani millenial.
 
"Petani butuh regenerasi dan transfer teknologi. Transformasi mau tidak mau akan mengubah cara kita menjalani manajemen usaha pertanian, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas," ujar Mentan.

Siapa itu petani?
Petani adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam pada tanah pertanian.
Menurut Anwas (1992 : 34) mengemukakan bahwa petani adalah orang yang melakukan cocok tanam dari lahan pertaniannya atau memelihara ternak dengan tujuan untuk memperoleh kehidupan dari kegiatan itu.

Saat ini bertani dan berkebun bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan saja. Lebih dari itu bertani dalam konsep yang lebih luas sudah menjadi sebuah cara/gaya hidup. Sebuah kegiatan yang saat ini populer dilakukan masyarakat. Tujuan utamanya adalah ketahanan pangan keluarga.

Dengan menanam sayur-sayuran sendiri misalnya, kita akan mengetahui asal muasal makanan yang nantinya masuk ke dalam tubuh kita. Seseorang menjadi terlibat langsung mulai dari pembibitan, proses pemeliharaan, sampai panen dilakukan. Hal ini menjamin kualitas sebuah hasil panen.

Apakah kegiatan bertani/berkebun bermanfaat bagi sebuah keluarga?
Tentu saja. Aktivitas bertani ataupun berkebun dapat menjadi sebuah kegiatan positif. Beberapa manfaat yang diperoleh adalah :

1. Manfaat untuk lingkungan.
Saat tanaman kita tumbuh subur, kita telah menciptakan habitat baru bagi mahluk hidup sekitarnya. Tanaman kita juga dapat membantu mengurangi emisi karbon dioksida. Kita menjadi lebih sering menghirup oksigen yang dihasilkan tanaman hijau. Saat bertani/berkebun kita juga dapat mengontrol bahan-bahan yang digunakan dalam pemeliharaan. Hal ini memungkinkan kita untuk mendapatkan bahan makanan yang lebih sehat. 


2. Manfaat bagi kesehatan.
Pada saat berkebun tentu kita akan melakukan banyak gerakan. Mulai dari menggali tanah, menanam pohon, memangkas tanaman, memberi pupuk, menyiram, dan lain-lain. Dari kegiatan tersebut tanpa disadari tubuh terus melakukan pembakaran kalori. Menurut Center for Disease Control and Prevention, saat berkebun seseorang dapat membakar kalori hingga 330 kalori dalam satu jam. Jumlah tersebut lebih dari mengangkat beban untuk waktu yang sama.

3. Manfaat bagi perkembangan anak-anak.
Selain mengembangkan kemampuan sensorik seorang anak, berkebun juga membuat anak-anak mengenal dan menyukai beraneka sayur-sayuran dan buah. Sejak dini anak-anak sudah mulai mencintai pohon/tanaman dan hewan. Anak-anak akan menyadari jika makanan yang mereka santap di meja makan mempunyai proses yang panjang.  Bertani akan mengajarkan mereka menghargai kehidupan. Berlatih kesabaran dan mengajarkan tanggung jawab dalam menjalankan sebuah proses. Selain keterampilan bercocok tanam itu sendiri, anak-anak juga mulai mengenal sebuah usaha untuk menghasilkan pendapatan/uang. 


4. Manfaat bagi kesehatan mental dan psikologis.
Menurut Anna Ranieri, PhD, seorang psikolog yang menangani konsultasi karir, berkebun bukan hanya merupakan aktivitas fisik. Interaksi dengan alam juga merupakan interaksi jiwa. Pada saat berkebun, tanaman akan menghasilkan oksigen yang kemudian dihirup dan masuk ke dalam tubuh. Oksigen baik itu sangat bermanfaat untuk mengurangi stres. Aktivitas ini juga mampu mendorong pengeluaran hormon endorfin, yakni senyawa kimia yang membuat seseorang merasa senang, tenang, dan rileks. Apalagi jika sudah tiba saatnya panen. Rasa bahagia akan meningkatkan semangat dan mood seseorang. Berkebun juga melatih kita untuk lebih fokus.

5. Manfaat bagi keuangan keluarga.
Tak perduli apakah anda kaya atau miskin, memiliki lahan yang luas atau sejengkal, memiliki pengalaman bertani atau tidak. Menurut situs Organic Soul, tidak ada alasan yang menghalangi anda untuk bertani/berkebun. Menanam tanaman sendiri akan menghemat biaya dapur. Bahan-bahan seperti cabai, tomat, bayam, terong, sawi dan lain-lain dapat diperoleh dari lahan kita sendiri. Jika memiliki lahan yang lebih luas dan dikelola dengan baik, kebun kita bahkan dapat menghasilkan rupiah. Karena panen yang berlimpah tentu bisa dijual kembali.

Sudah tidak ragu lagi untuk mulai bercocok tanam dari pekarangan sendiri, bukan?




















 

Read More

Perjalanan


 

Laksmi sudah mengajarkan sebuah pelajaran penting, jika kejujuran masih merupakan nilai luhur yang dapat mengantarkan kita kepada kehidupan yang baik. Mengambil jalan pintas bukanlah sebuah pilihan, hanya karena keadaan tidak berjalan sesuai kehendak. Saat ini  Nanta benar-benar merindukan seseorang yang selalu bertanya dimana dia berada, saat dia belum pulang ke rumah di malam hari. 

Celotehan Anjani menyadarkan Nanta dari lamunan. Tubuh yang menanggung beban hati membuat angin dengan mudah menerbangkan pikiran. Meliuk-liuk dimainkan rasa sakit yang enggan berlalu. Matanya menyorot bayi cantik dihadapannya. Anjani lebih mirip dengan Laksmi daripada dirinya. Kulitnya sawo matang, wajahnya menggemaskan dengan bola mata besar dan bening. Sore ini tubuhnya dibalut baju merah muda bertabur bulatan-bulatan kecil berwarna putih. Kedua telapak kakinya dibungkus kaos kaki bergambar Hello Kitty. Dengan rambut yang sudah disisir rapi, jidatnya dihiasi bando lucu dengan warna senada. Laksmi mempersembahkan Anjani dengan sempurna, kecuali takdirnya sendiri. 

Saat itu kira-kira pukul 21.15 Wita. Laksmi tak kunjung bisa memejamlan mata. Punggungnya terasa nyeri, gerakan bayi dalam rahimnya menimbulkan kontraksi berulang melalui pinggang lalu ke panggul. Durasinya semakin cepat dari waktu ke waktu. Dia merasakan perutnya semakin lama semakin mengeras. Hari itu masih kurang tiga minggu dari tanggal perkiraan lahir. Laksmi memilih bangun dari tempat tidur lalu mondar mandir menuju dapur, kamar mandi, ruang keluarga, dan ke kamar tidurnya lagi. Dia nampak sangat gelisah. 

Setetes bercak darah yang meluncur dari mulut rahim Laksmi berhasil menghentak malam. “Masss… antarkan aku ke rumah sakit. Ada darah keluar, sepertinya aku segera melahirkan.” seru Laksmi sambil menyambar tas bayi yang mematung hampir dua bulan di samping tempat tidur mereka. Sontak Nanta mengambil kunci mobil, dompet, dan telepon genggamnya. Dengan sigap dia mendorong pintu garase agar city car berwarna hitam yang terparkir disana segera dapat dipacu. Ini kehamilan pertama istrinya, setelah penantian sepuluh tahun dalam pernikahan. Dari arah Nusa Dua, Nanta memacu mobilnya dengan tergesa. Menurut perkiraan, dia membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan untuk sampai di rumah sakit ibu dan anak Bunda, yang berlokasi di jalan Gatot Subroto, Denpasar.

“Masss… perutku sakit sekali!” jerit Laksmi berkali-kali. 

“Sabar ya, sayang! Sebentar lagi sampai” ucap Nanta berpura-pura tenang. Laki-laki mana yang bisa bernapas dengan teratur disaat seperti ini. “Masss…kabarin ibu dan ayah di Jakarta ya, bilang cucu pertama mereka mau lahir!“ pinta Laksmi sambil mengelus perut buncitnya. “Nanti aku telpon. Atur napasmu, jangan buang-buang energi!” seru Nanta mengingatkan. “Perasaanku kok tidak enak ya... Doakan aku ya, Mas!” pinta Laksmi lagi. “Sudahlah, jangan berpikir aneh-aneh. Itu pengaruh hormon kehamilan. Aku sudah sering baca di Google.” Nanta kembali menenangkan istrinya. 

“Apakah kau sudah memutuskan nama anak kita nanti?” tanya Laksmi sambil meringis. 

“Iya, sayang…sudah. Kamu atur napas lagi ya, jangan banyak bicara…!” ucap Nanta. 

“Aku tetap pada pilihanku ya Mas, jika benar bayi kita lahir perempuan, beri dia nama Anjani.”     Kali ini Nanta menjawab tanpa menoleh istri di sampingnya, “Iyaaa, sayang!”  

Berkali-kali mesin mobil itu terdengar meraung karena pedal gas yang ditekan terlalu keras dan pedal kopling kurang diangkat. Situasi itu membuat Nanta melupakan cara mengemudi yang baik. “Bagaimana kalau aku dan dia tidak selamat?” wajah Laksmi mulai menegang. “Semua akan baik-baik saja. Aku sudah menelpon dokter Mira tadi. Dia akan segera ke rumah sakit tanpa menunggu info dari perawat jaga IGD.” Nanta berusaha fokus pada jalan di depan. Lututnya mulai gemetar. “Kalau aku mati, apakah kau akan menikah lagi?” tanya Laksmi dengan suara lirih. Dia mulai tersengal kesulitan mengambil napas. Melihat kondisi istrinya, Dwipa kembali menambah kecepatan mobil. 

Keringat membasahi bajunya. Laksmi merasa seluruh tubuhnya kesemutan menahan rasa sakit yang tiada tara. Wajahnya memucat. “Aku tidak mau kehilangan bayi ini, bahkan jika aku harus mati sekalipun,” gumam Laksmi . 

“Sabar ya, Dokter akan menolongmu!” seru Nanta. 

“Dokter itu harus menyelamatkan bayi kita lebih dulu.” suara Laksmi terdengar melemah. Kontraksi beruntun yang terjadi di rahimnya membuat Laksmi tidak nyaman. “Ya, tentu. Mereka akan menyelamatkan kalian berdua. Jangan habiskan tenagamu, sayang.” 

Nanta sudah kehilangan cara untuk menenangkan istrinya. Dia menangkap kegelisahan itu. Sebuah kekhawatiran akan proses persalinan yang sudah lama mereka tunggu. Mempertahankan akal sehat menjadi sebuah usaha yang susah payah dilakukan Nanta, disaat dia sendiri dalam keadaan panik. 

Sesampainya di depan ruang IGD, Laksmi segera dibaringkan pada bed yang sudah disiapkan perawat jaga. Dokter Mira telah menunggu disana. Dokter yang membantu program kehamilan Laksmi segera melakukan pemeriksaan. Mata Nanta tidak mampu menangkap semua kejadian yang berlangsung cepat. Kepalanya mau pecah melihat hiruk pikuk paramedis yang memberi pertolongan sigap kepada para pasien. Beberapa wanita lain menjerit kesakitan menanti kelahiran bayi. Hampir semua ditemani suami mereka. Nanta menguatkan hati untuk menemani istrinya sejenak, sebelum masuk ke ruang operasi. Seorang perawat  datang menyentuh bahu kanannya. 

“Mohon Bapak menunggu diluar, karena prosedur operasi  akan segera dimulai.” pinta perawat itu dengan suara lembut. Duduk di sofa ruang tunggu dirasakannya bagai pesakitan. Tak lama seorang perawat lain memanggil namanya. 

“Selamat ya, Pak! Bayinya perempuan, sehat dan cantik. Bapak boleh melihat adik bayi, mari ikut saya.” Sujud syukur Nanta terdengar meluncur dari bibirnya. “Terima kasih,Tuhan!” ucapnya berkali-kali. Belum sempat dia menanyakan kondisi Laksmi, pandangan matanya direbut oleh mahluk mungil yang menangis di depannya.

Entah berapa lama waktu berlalu ketika dokter Mira menyampaikan berita itu. “Laksmi mengalami kondisi apneu pasca operasi. Tensinya tak terukur, nadinya lemah, napasnya gasping, kontraksi uterus buruk, dan terjadi perdarahan aktif!” Dokter Mira memberi penjelasan dengan wajah sayu. 

“Waktu kematian jam 23.15 Wita.” lanjut dokter Mira dengan hati-hati. Tangis Nanta pecah berantakan. Dia merasakan langit runtuh menimpa tubuhnya kemudian menghempasnya di batu karang tajam. Dalam kesendirian dia berusaha menyeka tetesan air di ujung matanya. Dengan langkah berat dia menyusuri lorong mencari tubuh Laksmi dibaringkan. 

Diantara duka yang mendalam, Nanta teringat pada apa yang sudah dilakukannya untuk mendapatkan Anjani. Awalnya Laksmi menolak program yang ditawarkan dokter Mira. “Kita belum siap dengan jumlah dana yang cukup besar. Bagaimana kalau kita menabung dulu?” ajak Laksmi saat itu. Dia ingin semua dilakukan dengan perencanaan matang, karena bukan hanya biaya per siklus saja yag harus dipersiapkan. Mereka wajib mempunyai dana ekstra untuk biaya tidak terduga lainnya.

Ketika hasrat yang besar untuk memiliki seorang anak begitu menguasainya, Nanta sedang dihadapkan dengan beban pekerjaan yang cukup berat. Niat itu muncul saat dia harus menghadiri rapat penting dengan beberapa investor yang berminat untuk mengerjakan proyek pembangunan rumah sakit berskala internasional di daerah Pecatu Ungasan, Bali. Ini proyek besar, mengingat lokasinya yang strategis dekat patung Garuda Wisnu Kencana dan prediksi bisnis daerah wisata itu dimasa mendatang. Dengan jabatan yang ada dibahunya, sangat memungkinkan bagi Nanta untuk menentukan siapa yang bisa mengambil proyek besar itu. Mr. Akira dari Jepang menghadiahkan biaya program bayi tabung yang sudah ditunggunya.

Ketika semua diatur dengan rapi, tidak seorang pun tahu cerita itu. Begitu juga dengan istrinya sendiri, Laksmi. Dengan berat hati Nanta menyebut ada bonus kerja dari kantornya. Memaksakan mimpi justru telah membuat Nanta menyia-nyiakan jati dirinya.  Perjalanan kisah untuk menghadirkan Anjani didua jam terakhir kehidupan Laksmi, menjadi cerita yang akan terus dikenang. Sedangkan waktu tidak memberikan kuasa untuk diputar ulang.

 

(penggalan cerpen dari kumpulan cerpen Perjalanan,  Ni Wayan Sri Mulyani)

Read More

Keluarga Politikus

 Entahlah, apa masalah yang dihadapi istri politikus itu. Maya selalu bersikap tertutup dengan para tetangganya. Awalnya aku kagum dengan sikap Maya yang tidak mau ikut kumpul-kumpul dengan para ibu untuk ngobrol di samping rumah di sore hari. Pikirku, dia menghindari kebiasaan bergosip yang kadang dilakukan para ibu dengan tidak sengaja.

Maya adalah seorang wanita karir yang bekerja sebagai customer service di salah satu bank swasta di Bali. Sebenarnya biaya kebutuhan perawatan tubuhnya jauh lebih tinggi dari gaji yang masuk setiap bulan. Tetapi itulah kenyataannya. Ada segelintir ibu-ibu modern di bumi ini yang tidak memperhatikan transferan bulanan dari kantor yang menggajinya. 

Maya lebih memilih untuk menjaga perasaan hatinya sendiri daripada menjaga hati anaknya. Entah karena alasan produktif di luar rumah, atau sekedar gaya hidup. Baginya, pernikahan dengan seorang politikus sudah menjadi perangkap yang membatasi gerak. 

 Suami Maya memang seorang politikus dari salah satu partai politik di negeri ini. Karena kesibukannya, Pak Indra jarang tampak di rumah itu. Jika ada tetangga yang kebetulan melihat laki-laki itu masuk ke dalam rumah, maka dia adalah orang yang cukup beruntung. 

Jangankan menggoda istri di dapur, duduk berdua saja mereka sangat jarang. Sekalinya tampak ngobrol serius, biasanya diakhiri dengan pertengkaran hebat. Dulu, aku pernah cemburu melihat dapur Maya yang dilengkapi alat-alat modern. Betapa nyamannya jika aku yang memasak disana. Tapi melihat kehidupan keluarga dengan hati saling berjauhan itu, aku jadi mensyukuri semua berkah yang kuterima. Rejeki bukan hanya uang. Suami yang  berangkat kerja sambil menenteng rantang berisi masakanmu, atau makan dengan anak-anak di teras rumah adalah kelimpahan yang tiada tara. Bukan kemewahan dapurnya, tetapi cinta yang terus-menerus mengepul dari tungku kompor yang terus dinyalakan, yang membuatnya dirindukan. Bahagia itu tersimpan dalam kata cukup.

Mungkin aku satu-satunya tetangga yang pernah masuk ke dalam rumah besar Maya. Seminggu yang lalu, Pak Sukri, sopir Maya datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Niken pingsan setelah jatuh dari tangga, dan Mba Ina, pengasuhnya sedang mengambil libur. Dua asisten lain kebetulan sudah berangkat ke pasar.

 Aku datang dengan minyak kayu putih di tangan. Dengan lembut aku mencoba mengurut tengkuk Niken yang dingin, ada kesepian mendalam disana. Kusentuh bahunya lalu memijat lembut hingga pergelangan tangan. Aku mendapati kekecewaan yang bersarang menahun. Setelah lima belas menit berlalu akhirnya Niken siuman. Aku meminta Pak Sukri membawanya ke dokter, sekedar memastikan jika Niken baik-baik saja.

 Tangisan Maya terdengar lagi. Ada yang berbeda dari tangisannya malam ini. Suara yang serak dengan teriakan melengking dan memekakkan telinga. Raungannya bagai lolongan serigala.

Aku yang tinggal tepat disamping kanan tembok rumahnya merasa tidak kuat dengan situasi yang semakin tidak jelas. Kuberanikan diri menekan bel yang dipasang tepat di depan pintu gerbang rumah bercat putih itu.

Pak Sukri, sopir di rumah itu tampak membukakan pintu. Beliau menemaniku masuk ke dalam rumah itu lagi. Maya sedang memukul wajahnya sendiri. Mengibaskan tubuhnya, lalu menjambak rambut ikal yang disemirnya dengan warna keemasan. Napasnya berkejaran dengan mata yang merah menyala.

Ada kemarahan yang tumpah ruah bagai air bah yang bebas setelah dibendung bertahun-tahun. Maya memaksa tubuhnya tetap berdiri dengan kekuatan yang tersisa dari kedua kakinya. 

“Kau boleh cerita kepadaku. Sedang ada masalah apa, May?” tanyaku perlahan. “Ini masalahku sendiri. Kau tidak punya kewajiban untuk menolongku. Yang menangis juga aku. Tidak ada air mata yang kuminta darimu. Lalu apa urusanmu datang kemari?” teriak Maya terbakar emosi.

“Bukan begitu, May. Teriakanmu sudah mengganggu tetangga yang mau tidur. Masalahmu bukan urusanku. Tapi aku juga punya kuping yang masih sehat,” aku menjawab dengan rasa kesal. “Kalau begitu tutup saja kupingmu, atau simpan dikantong dastermu. Siapa suruh kupingmu mendengar jeritanku!” sahutnya tak kalah sengit. 

Brak… kubanting pintu kamarnya dengan kuat. Sebuah lukisan Maya yang sedang tergantung di dinding jatuh ke lantai. Pecahan kacanya berhamburan. Mendapat perlawanan darinya, membuatku naik pitam. Aku bergegas beranjak pergi dari rumah itu.

“Dasar ibu-ibu kampungan kamu, Saras! Tiap hari tubuhmu bau dapur!” teriakannya mengekor langkahku.

Aku marah sekali. Tanpa menyadari kedudukannya sebagai ibu dari seorang gadis remaja, dia telah menghina para wanita yang iklas mengabdikan diri untuk keluarga mereka. Langkah sempat kuhentikan sejenak, tapi bukan untuk membalikkan tubuh dan menyerangnya balik. Aku hanya menarik napas sebentar, memberi jantungku kesempatan menata iramanya lagi. 

Keesokan paginya, Pipit berlarian mencariku kesana kemari sambil berteriak-teriak. “Mama…mama…!” Aku segera mematikan kompor. “Lihat itu!” katanya sambil menunjuk ke arah rumah Maya. Sebuah ambulance datang tanpa menyalakan sirene. Sunyi senyap dengan pergerakan lembut. Dengan tangan terikat, Maya dibawa bersamannya. 

Aku berlarian menghampiri suami Maya yang tampak berdiri mematung. “Ada apa?” tanyaku dengan napas memburu. “Maafkan aku, Saras. Kakakmu mengalami depresi berat, aku tidak bisa menemaninya di ambulance, karena dia terus mau membunuhku,” wajah Indra dipenuhi penyesalan. “Apa yang terjadi, In?” aku mencoba mencari jawaban dari sorot matanya yang kosong.

“Dia menuduhku punya wanita lain. Menduga Niken memakai narkoba. Mengira para pegawai di rumah mencuranginya. Merasa bos dikantor memanfaatkannya, dan semua sangkaan-sangkaan lain yang tumbuh subur dikepalanya.” Indra menarik nafas berat. Aku terduduk lemas dihadapan kakak iparku. Sikap seorang politikus susah ditebak. Bolehkah aku mempercayainya? Entahlah. 

Indra memandang kehidupannya tanpa melihat. Maya menjalani perannya tanpa kehadiran rasa. Halaman rumah mereka indah dan terawat, tetapi lupa menggarap ladang kasih disana. Persediaan beras mereka tidak pernah habis, tetapi lumbung-lumbung cintanya kosong.

 Seringkali mereka mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Menampilkan hidup penuh kebohongan di media sosial hanya untuk mengelabui diri sendiri. Dia menyia-nyiakan energi tubuh untuk membentuk citra dirinya lebih tinggi. Menjaga penilaian orang kepadanya, lalu melewatkan kebahagiaan sendiri.  Ketika sampai pada suatu titik, mereka kehilangan jati diri. Terlanjur menjadi orang lain. Sejatinya alam sudah mengajar tanpa kata-kata.   

Separuh usia ibu kami dihabiskan untuk mengabdi kepada keluarga. Selain mewariskan pandangan agama yang diyakini, ibu lebih banyak mengajarkan kami nilai-nilai luhur tentang kasih yang mendalam. Sikap baik itu diwariskan perlahan-lahan melalui pengasuhan, bukan dihadiahkan secara tiba-tiba. Selama ini ternyata Ibu bukan hanya bermaksud mengajarkan aku memasak atau merawat anak-anak, tetapi juga cara mencintai dan menertawakan hidup pada saat bersamaan.


(penggalan cerpen Keluarga Politikus dalam antologi cerpen Salma Dan Lelaki Kiriman Tuhan, Ni Wayan Sri Mulyani) 





 

Read More

Hari Raya Galungan di Bali





















Umat Hindu di Bali mengenal beragam hari raya keagamaan. Salah satu hari raya besar yang diperingati umat Hindu itu adalah Hari Raya Galungan.

Hari Raya Galungan merupakan sebuah rangkaian hari raya yang jatuh setiap 210 hari sekali. Dalam perhitungan kalender Bali, hari raya ini jatuh pada hari Budha Kliwon Wuku Dungulan (Hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan).

Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti “Menang”. Selain untuk memperingati hari terciptanya alam semesta dan jagat raya ini, Galungan juga dimaknai sebagai hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (kejahatan/keburukan).

 

Tahapan Galungan dimulai dari perayaan Tumpek Wariga, yang jatuh pada Saniscara/Sabtu Kliwon Wuku Wariga. Hari ini juga dikenal sebagai Tumpek Bubuh atau Tumpek Pengatag/Tumpek Pengarah. Tumpek ini jatuh 25 hari sebelum hari raya Galungan. Pada hari Tumpek Wariga/Tumpek Bubuh ini, umat Hindu memuja Sang Hyang Sangkara yang merupakan manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam tugas beliau sebagai pencipta dan pelindung alam semesta khususnya tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi ini. Mengucap syukur atas berkah beraneka pohon yang berguna bagi kehidupan alam semesta.


Hari raya selanjutnya adalah Sugihan Jawa yang jatuh pada penanggalan Wrespati/Kamis Wage Wuku Sungsang.

Sugihan Jawa berasal dari 2 kata yaitu Sugi yang berarti bersih/suci dan Jawa yang berarti luar. Sugihan Jawa dimaknai sebagai hari pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia, Makrokosmos (Bhuana Agung).

 

Keesokan harinya pada Sukra/Jumat Pon Wuku Sungsang adalah Hari Raya Sugihan Bali. Sugihan Bali berasal dari kata Sugi yang berarti bersih/suci dan Bali/Wali yang berarti dalam.

Sugihan Bali dimaknai sebagai hari pembersihan dan penyucian jiwa raga manusia, Mikrokosmos (Bhuana Alit). Mengingatkan umat Hindu untuk menyucikan diiri (Pikiran, Perkataan, dan Perbuatan) dalam menyongsong Hari Raya Galungan yag semakin dekat.

Memasuki minggu selanjutnya, maka pada hari Minggu Pahing Wuku Dungulan dikenal dengan hari raya Penyekeban atau hari Penapean (membuat tape). Pada hari ini umat Hindu mulai nyekeb indriya yang berarti mengekang diri atau menjaga diri untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk. Umat Hindu percaya jika hari ini Sang Butha Galungan/godaan/gangguan menjelang hari raya sudah mulai timbul. Untuk persiapan perayaan Galungan, pada hari ini umat Hindu mulai membuat tape, dan membungkus buah-buahan yang masih mentah agar matang pada hari Galungan, seperti pisang, dan lain-lain. Setiap orang diingatkan untuk semakin meningkatkan sikap mulat sarira, mengendalikan/meredam sad ripu atau elemen-elemen buruk dalam diri kita.

 

Keesokan harinya, pada Soma/Senin Pon Wuku Dungulan adalah hari Penyajaan Galungan. Penyajaan berasal dari kata Saja dalam bahasa Bali. Saja berarti benar atau serius. Hari ini umat Hindu mulai mesaja atau mesajaang, yang berarti bahwa umat sudah semakin serius mempersiapkan Galungan. Pada hari ini ibu-ibu di Bali mulai membuat jajan untuk persiapan upacara Galungan.

 

Sehari sebelum hari raya Galungan, tepat pada Selasa Wage Wuku Dungulan dikenal sebagai hari raya Penampahan Galungan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti “Menyambut”. Hari ini umat akan disibukkan dengan segala persiapan menyambut Galungan. Mulai dari menyembelih babi atau ayam. Daging yang dimasak akan menjadi pelengkap upacara di hari raya Galungan dan persiapan hidangan untuk sanak saudara yang datang berkunjung. Menyembelih babi atau ayam dimaknai sebagai simbolis membunuh semua sifat atau nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Hari ini juga dipercaya jika para leluhur mulai datang mengunjungi sanak keturunannya. Umat Hindu akan membuat punjung/sodan/suguhan sesuai kemampuan masing-masing. Pada hari ini orang Bali juga akan membuat Penjor yang dihias dengan berbagai hasil-hasil bumi, seperti kelapa, padi, buah, daun-daunan, dll. Penjor akan ditancapkan di depan rumah masing-masing. Penjor ini dimaknai sebagai rasa syukur atas semua anugerah alam semesta kepada umat manusia. Penjor yang dibuat dari bambu melambangkan gunung yang memberi kehidupan. Bambu melengkung ke bawah dimaknai sebagai rasa hormat kepada Tuhan pencipta alam semesta, menundukkan kepala/menundukkan ego dan senantiasa  mulat sarira, eling atau ingat pada tujuan hidup.

 

Tepat pada hari Budha Kliwon Dungulan, semua umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan. Pagi hari akan diawali dengan upacara persembahan sesajen/banten Galungan yang merupakan wujud syukur atas segala limpahan anugerah Tuhan. Acara akan dilanjutkan dengan persembahyangan bersama mulai dari rumah masing-masing, rumah asal/leluhur, dan Pura yang ada di wilayah/lingkungan tempat tinggal. Bagi orang Bali, hari ini juga akan diisi dengan tradisi pulang kampung. Sembahyang ke rumah asal mereka. Bagi perempuan Bali yang sudah menikah, jika waktu dan kondisi memungkinkan, juga akan bersembahyang ke rumah orang tua mereka.

 

Sehari setelah Hari Raya Galungan dikenal dengan Hari Umanis Galungan. Pada hari ini umat akan mengisinya dengan saling mengunjungi sanak saudara, dharma shanti, dan rekreasi.

 

Rahajeng Galungan, dumogi rahayu lan shanti jagate.







Read More

Hari Literasi Internasional, 8 September 2020


Diperlukan sebuah keberanian untuk menyuarakan pikiran. 

Dibutuhkan sebuah kebijaksanaan untuk menghargai sebuah perbedaan pendapat.

Dituntut sebuah perjuangan untuk mewujudkan tujuan itu.

Dan kemampuan literasi adalah salah satu alat untuk mencapainya


Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari (id.m.wikipedia.org)


Hari Literasi Internasional atau Hari Aksara Sedunia bermula dari sebuah Konferensi Menteri Pendidikan Sedunia untuk membahas Pemberantasan Buta Aksara, yang diselenggarakan di Teheran, Iran, pada tanggal 8 – 19 September 1965. Pada saat itu pemerintah Republik Iran mengusulkan agar UNESCO memberikan hadiah literasi internasional kepada mereka yang berjasa dalam perjuangan melawan buta huruf.


Dalam perkembangan selanjutnya, dirasa wajib untuk mengingatkan semua penduduk dunia akan pentingnya sebuah gerakan literasi. Sejak tahun 1966 setiap tahun masyarakat dunia mulai memperingati Hari Literasi Internasional atau Hari Aksara Internasional. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kita bahwa membaca dan menulis adalah kebutuhan semua orang.


Gerakan literasi semakin digaungkan dari tahun ke tahun. UNESCO mengungkapkan bahwa saat ini setidaknya masih ada 773 juta orang dewasa di dunia yang masih belum bisa membaca dan menulis. 

Dari data Badan Pusat Statistik, untuk saat ini ada sekitar 1.93% atau sekitar 3,29 juta orang di Indonesia masih mengalami buta aksara. Angka ini sudah mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Indonesia belum terbebas dari masalah buta aksara, dan masih menyumbangkan angka itu untuk dunia internasional. Usaha untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari masalah buta huruf masih harus terus diperjuangkan.


Ketika internet dan produk-produk digital mulai merambah setiap negara, dunia literasi pun mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kemampuan literasi yang terdiri dari kemampuan membaca, menulis, berhitung, berbicara, dan memecahkan masalah menjadi dasar yang kuat bagi seseorang dalam berkomunikasi dan berbahasa.


Jadi, pentingkah Hari Literasi itu diperingati?

Tentu saja penting, karena saat ini kemampuan literasi adalah kebutuhan mendasar seseorang.

Dari data saat ini, lebih dari separuh angka buta huruf yang tinggi itu adalah perempuan. Sementara perempuan adalah pendidik awal seorang anak. Dalam kodratnya perempuan akan menjadi ibu. Bagaimana karakter seorang anak akan terbentuk, banyak ditentukan dari bagaimana seorang ibu mendidiknya.





Read More

Menantu Pilihan


 

Mustahil bagiku memberi penghormatan kepada seorang wanita yang sudah melahirkan calon suamiku. Setelah apa yang dilakukannya, aku merasa kehadiranku hanyalah musim panas dihatinya.

  Entah menantu seperti apa yang diinginkan mamanya Bayu. Yang jelas profesiku sebagai seorang penulis sudah dicoret dari daftar perempuan yang layak masuk ke dalam keluarganya. Saat ini aku sedang membutuhkan sedikit ruang untuk merenungi apakah hubunganku dengan Bayu layak untuk dipertahankan.

“Alohaaa… kau sudah bangun, Sitha?” tanya Ratih dengan suara merdu. Sejenak aku menguap di telepon genggam. “Ya, ampunnn, Mak! Aku baru saja membuka mata. Semalam tidurku lelap sekali.“ Aku meraih jam weker disamping tempat tidur. Astaga, sudah jam lima pagi. Sontak saja aku melepaskan diri dari selimut yang membungkusku semalaman.

“Apa kau sudah berkemas-kemas, sayang? Oooahemmm…!” Kali ini Ratih bicara sambil menguap. Ternyata lewat sinyal pun, menguap bisa menular.

Aku turun dari tempat tidur dan menyeret langkah mendekati koper besar yang masih menganga lebar. Rupanya semalam aku ketiduran saat menyiapkan perjalanan hari ini. Aku lupa menutup koper itu. “Hmmm…aku merasa sudah memasukkan semua milikku ke dalam koper itu, kecuali Bayu!“ jawabku.

“Ha..ha..ha… forget him! sudahlah, lupakan sejenak Bayumu itu. Kalau beruntung, kamu bisa memasukkannya ke dalam kopermu beberapa tahun lagi,“ candaan Ratih lebih mirip kicauan burung pipit di pagi hari. “Ambyarrrr…!“ jawabku terkekeh. 

            Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, aku turun ke lantai bawah. Langkahku mengarah ke dapur. Dari rak penyimpanan piring, kuraih mug kesayangan. Sambil menguap lagi, kutuang kopi sachet varian Torabika Cappuccino ke dalam mug warna hitam bergambar tokoh Kapten Marvel, dari seri film-film Marvel. Telunjukku menekan tombol merah pada dispenser. Air panas meluncur ke dalam mug dan melebur dengan kopi. Aromanya cukup kuat untuk menggairahkan pagi. 

Perlahan aku melangkah ke samping jendela dapur, berdiri disana sambil menyesap kopi. Diluar masih tampak remang-remang. Ingatanku terbang pada kejadian sebulan lalu. Ketika pertama kali Bayu mengajakku mampir ke rumahnya di daerah Ubud, Bali. 

Rumah Bayu cukup luas dengan gaya arsitektur Bali. Struktur bangunan banyak dipengaruhi tradisi Bali dan Jawa Kuno. Bangunan nampak didominasi bahan lokal seperti kayu kelapa, bambu, kayu jati, batu, dan batu bata. Selain dari materialnya, kesenian atau ukiran pada setiap elemen desain juga memiliki karakteristik budaya yang kental. Secara keseluruhan menampilkan keunikan rumah adat Bali, tanpa melupakan suasana yang asri dan nyaman. Sayang keindahan rumahnya tidak berbanding lurus dengan sikap mamanya kepadaku. 

“Menurut mama, dia tidak sepadan dengan kehidupan kita.  Kegemarannya mengetik di depan laptop juga tidak menjanjikan masa depan yang cerah,” ucap tante Dewi sore itu. Semua terjadi begitu saja. Tanpa disengaja aku mendengar pembicaraan mereka dari balik dinding ruang tamu. Aku berjingkat-jingkat menempelkan daun telingaku ke dinding ruangan yang terbuat dari bata merah itu. 

“Perempuan, kalau dari kecil hanya dirawat seorang ayah, hasil pendidikannya akan beda, Bay…! Mama ngomong ini demi kebaikan.” Hening sesaat. “Kebaikan aku atau kebaikan mama?” Bayu balik bertanya. “Mengapa orang tua selalu merasa tahu apa yang dibutuhkan anaknya?” Suara langkah Bayu terdengar mendekat, membuatku buru-buru meninggalkan tempat itu. 

Sesampainya di rumah, aku segera masuk ke dalam kamar. Melihat ada yang tidak beres, ayah segera menyusul dari belakang. Ayah duduk dihadapanku, menatap wajah seraya memegang daguku. Gerakan tangan ayah membuat wajahku terangkat . Kami bersitatap dalam kebekuan.

“Apakah Bayu menyakitimu?” tanya ayah pelan. Aku menggelengkan kepala. “Kalau bukan dia, lalu siapa?” tanya ayah lagi. “Tanpa sengaja, aku mendengar pembicaraan tante Dewi dengan Bayu. Sepertinya beliau kurang setuju dengan hubungan kami.” Ayah terdiam lalu tersenyum. “Jangan membuktikan sesuatu untuk orang lain. Yang membenci hanya mampu melihat kekurangan,” kata ayah sambil melepaskan tangan kanannya dari dagu lancipku. 

Sejak kejadian itu, aku meminta Bayu tidak menemuiku. Ini tidak adil untuk Bayu, tetapi apa yang sudah dilakukan tante Dewi juga menyakiti hatiku. Menyinggung almarhum ibu, selalu membuatku sensitif. Rasa sakit yang tidak dilihat seseorang karena berada jauh dibalik permukaan dan tidak ada luka yang tampak oleh mata.

Ya, ibuku memang meninggal dengan tragis, saat usiaku sepuluh tahun. Malam itu aku mendengar suara ribut dari arah dapur. Nenekku sedang menumpahkan seluruh amarahnya kepada ibu, tanpa sisa. Entah apa yang mereka ributkan, nenek memang punya kebiasaan mengomentari setiap hal yang dilakukan ibuku. Ayah seringkali meminta ibu agar sabar menghadapi mertuanya. Aku melihat tidak seorang pun ada yang menolong ibu. Yang ada hanya tuntutan demi tuntutan. Setiap ibu ingin menumpahkan kegelisahannya, ayah selalu menempelkan telunjuk kanannya di bibir ibu. Menyuruhnya diam. Mungkin ayah juga tidak punya solusi menghadapi situasi seperti itu. Antara membela ibuku atau ibunya sendiri.

Sebelum aku terlelap, ibu datang mencariku. Ada sesuatu yang amat menghantui di dalam mimiknya, seolah ibu ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak menemukan kata-kata. Keesokan harinya kami menemukan ibu sudah tidak bernyawa, tergolek di kamar mandi dengan urat nadi tangan kirinya menganga lebar. 

Sekarang, aku dapat memahaminya dengan lebih baik. Ibuku sangat menderita. Tertekan oleh sikap mertuanya, ditambah sikap ayah yang membungkam jeritan hatinya. Setelah upacara pemakaman ibu berlalu, aku melihat jika cinta ayah kepada ibu adalah suatu padanan cinta sejati. Perasaan kehilangan dan duka citanya membuat ayah tidak pernah menikah lagi, sampai sekarang. Dengan merawatku sepenuh hati, ayah telah meninggalkan cintanya hanya kepada ibuku seorang.

Ada sebuah pekerjaan besar yang menuntut perhatian dan konsentrasi penuh. Itu kabar yang kusampaikan lewat WhatsApp. Bayu menerima alasan itu.  Dalih yang cukup masuk akal dan masih mengandung kebenaran. Ini adalah awal dari sebuah mimpi besarku di masa depan. Aku sedang menyiapkan sebuah skenario film, yang diadaptasi dari salah satu novel terlarisku. 

Seminggu yang lalu aku menyempatkan diri datang menemui tante Dewi. Ayah telah membuatku lebih kuat dari sebelumnya. Aku ingin menyelesaikan semuanya dengan cantik dan anggun.

Seperti biasa rumah itu selalu tenang dan sepi. Tante Dewi nampak terkejut dengan kehadiranku. Kami duduk berdua di halaman samping rumah. Tempatnya asri dan sejuk. Tante Dewi menyuguhkan teh melati yang hangat. Ini sangat membantu meningkatkan mood bicaraku.

“Kemarin Bayu memohon agar saya menerima lamarannya. Tekadnya bulat untuk meninggalkan Tante, memilih tinggal dengan saya dan memulai hidup baru di Jakarta,” aku menyisipkan senyum diantara ceritaku. 

Wajah oval tante Dewi memucat. “Kalau saat ini saya menolak lamaran Bayu, bukan karena saya takut. Saya hanya ingin agar Tante tidak kehilangan dia,” lanjutku. “Jika suatu hari nanti, Bayu menikah dengan seorang wanita pilihan tante, saya pastikan Bayu akan membenci Tante selamanya. Sedangkan Tante, akan mengingat saya seumur hidup Tante. Hanya karena kebaikan saya maka semua yang Tante inginkan tercapai.” Aku tidak memberi kesempatan tante Dewi bicara. Beliau nampak tertegun tidak mengucapkan satu patah katapun. Setelah menyelesaikan tegukan terakhir, aku meninggalkan tempat itu.

Aku tersadar dari lamunan setelah melihat sebuah mobil city car berwarna putih mengambil posisi parkir di depan pintu gerbang rumahku. Ratih sudah datang menjemput. Aku bergegas mandi dan tidak mau terlambat sampai di bandara Ngurah Rai. Aku tidak akan memberi ruang untuk penundaan. Aku memiliki semua waktu yang dibutuhkan untuk menunjukkan prestasi terbaikku kepada dunia. 

Bayu bukanlah tempat untuk menghentikan langkah. Jika dia sungguh-sungguh menginginkan aku, akan dicarinya sebuah jalan untuk menemukanku. Tidak ada yang harus aku khawatirkan. Kepergian mendiang ibu mengajarkan aku akan banyak hal. Jangan masuk ke sarang singa sebagai seekor domba. Terkadang Tuhan memberi luka, hanya untuk menyelamatkan kita dari duka yang lebih dalam. 


(Penggalan Cerpen NW Sri Mulyani dalam Buku Salma Dan Lelaki Kiriman Tuhan)

 

Read More