Mustahil bagiku memberi penghormatan kepada seorang wanita yang sudah melahirkan calon suamiku. Setelah apa yang dilakukannya, aku merasa kehadiranku hanyalah musim panas dihatinya.
Entah menantu seperti apa yang diinginkan mamanya Bayu. Yang jelas profesiku sebagai seorang penulis sudah dicoret dari daftar perempuan yang layak masuk ke dalam keluarganya. Saat ini aku sedang membutuhkan sedikit ruang untuk merenungi apakah hubunganku dengan Bayu layak untuk dipertahankan.
“Alohaaa… kau sudah bangun, Sitha?” tanya Ratih dengan suara merdu. Sejenak aku menguap di telepon genggam. “Ya, ampunnn, Mak! Aku baru saja membuka mata. Semalam tidurku lelap sekali.“ Aku meraih jam weker disamping tempat tidur. Astaga, sudah jam lima pagi. Sontak saja aku melepaskan diri dari selimut yang membungkusku semalaman.
“Apa kau sudah berkemas-kemas, sayang? Oooahemmm…!” Kali ini Ratih bicara sambil menguap. Ternyata lewat sinyal pun, menguap bisa menular.
Aku turun dari tempat tidur dan menyeret langkah mendekati koper besar yang masih menganga lebar. Rupanya semalam aku ketiduran saat menyiapkan perjalanan hari ini. Aku lupa menutup koper itu. “Hmmm…aku merasa sudah memasukkan semua milikku ke dalam koper itu, kecuali Bayu!“ jawabku.
“Ha..ha..ha… forget him! sudahlah, lupakan sejenak Bayumu itu. Kalau beruntung, kamu bisa memasukkannya ke dalam kopermu beberapa tahun lagi,“ candaan Ratih lebih mirip kicauan burung pipit di pagi hari. “Ambyarrrr…!“ jawabku terkekeh.
Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, aku turun ke lantai bawah. Langkahku mengarah ke dapur. Dari rak penyimpanan piring, kuraih mug kesayangan. Sambil menguap lagi, kutuang kopi sachet varian Torabika Cappuccino ke dalam mug warna hitam bergambar tokoh Kapten Marvel, dari seri film-film Marvel. Telunjukku menekan tombol merah pada dispenser. Air panas meluncur ke dalam mug dan melebur dengan kopi. Aromanya cukup kuat untuk menggairahkan pagi.
Perlahan aku melangkah ke samping jendela dapur, berdiri disana sambil menyesap kopi. Diluar masih tampak remang-remang. Ingatanku terbang pada kejadian sebulan lalu. Ketika pertama kali Bayu mengajakku mampir ke rumahnya di daerah Ubud, Bali.
Rumah Bayu cukup luas dengan gaya arsitektur Bali. Struktur bangunan banyak dipengaruhi tradisi Bali dan Jawa Kuno. Bangunan nampak didominasi bahan lokal seperti kayu kelapa, bambu, kayu jati, batu, dan batu bata. Selain dari materialnya, kesenian atau ukiran pada setiap elemen desain juga memiliki karakteristik budaya yang kental. Secara keseluruhan menampilkan keunikan rumah adat Bali, tanpa melupakan suasana yang asri dan nyaman. Sayang keindahan rumahnya tidak berbanding lurus dengan sikap mamanya kepadaku.
“Menurut mama, dia tidak sepadan dengan kehidupan kita. Kegemarannya mengetik di depan laptop juga tidak menjanjikan masa depan yang cerah,” ucap tante Dewi sore itu. Semua terjadi begitu saja. Tanpa disengaja aku mendengar pembicaraan mereka dari balik dinding ruang tamu. Aku berjingkat-jingkat menempelkan daun telingaku ke dinding ruangan yang terbuat dari bata merah itu.
“Perempuan, kalau dari kecil hanya dirawat seorang ayah, hasil pendidikannya akan beda, Bay…! Mama ngomong ini demi kebaikan.” Hening sesaat. “Kebaikan aku atau kebaikan mama?” Bayu balik bertanya. “Mengapa orang tua selalu merasa tahu apa yang dibutuhkan anaknya?” Suara langkah Bayu terdengar mendekat, membuatku buru-buru meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di rumah, aku segera masuk ke dalam kamar. Melihat ada yang tidak beres, ayah segera menyusul dari belakang. Ayah duduk dihadapanku, menatap wajah seraya memegang daguku. Gerakan tangan ayah membuat wajahku terangkat . Kami bersitatap dalam kebekuan.
“Apakah Bayu menyakitimu?” tanya ayah pelan. Aku menggelengkan kepala. “Kalau bukan dia, lalu siapa?” tanya ayah lagi. “Tanpa sengaja, aku mendengar pembicaraan tante Dewi dengan Bayu. Sepertinya beliau kurang setuju dengan hubungan kami.” Ayah terdiam lalu tersenyum. “Jangan membuktikan sesuatu untuk orang lain. Yang membenci hanya mampu melihat kekurangan,” kata ayah sambil melepaskan tangan kanannya dari dagu lancipku.
Sejak kejadian itu, aku meminta Bayu tidak menemuiku. Ini tidak adil untuk Bayu, tetapi apa yang sudah dilakukan tante Dewi juga menyakiti hatiku. Menyinggung almarhum ibu, selalu membuatku sensitif. Rasa sakit yang tidak dilihat seseorang karena berada jauh dibalik permukaan dan tidak ada luka yang tampak oleh mata.
Ya, ibuku memang meninggal dengan tragis, saat usiaku sepuluh tahun. Malam itu aku mendengar suara ribut dari arah dapur. Nenekku sedang menumpahkan seluruh amarahnya kepada ibu, tanpa sisa. Entah apa yang mereka ributkan, nenek memang punya kebiasaan mengomentari setiap hal yang dilakukan ibuku. Ayah seringkali meminta ibu agar sabar menghadapi mertuanya. Aku melihat tidak seorang pun ada yang menolong ibu. Yang ada hanya tuntutan demi tuntutan. Setiap ibu ingin menumpahkan kegelisahannya, ayah selalu menempelkan telunjuk kanannya di bibir ibu. Menyuruhnya diam. Mungkin ayah juga tidak punya solusi menghadapi situasi seperti itu. Antara membela ibuku atau ibunya sendiri.
Sebelum aku terlelap, ibu datang mencariku. Ada sesuatu yang amat menghantui di dalam mimiknya, seolah ibu ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak menemukan kata-kata. Keesokan harinya kami menemukan ibu sudah tidak bernyawa, tergolek di kamar mandi dengan urat nadi tangan kirinya menganga lebar.
Sekarang, aku dapat memahaminya dengan lebih baik. Ibuku sangat menderita. Tertekan oleh sikap mertuanya, ditambah sikap ayah yang membungkam jeritan hatinya. Setelah upacara pemakaman ibu berlalu, aku melihat jika cinta ayah kepada ibu adalah suatu padanan cinta sejati. Perasaan kehilangan dan duka citanya membuat ayah tidak pernah menikah lagi, sampai sekarang. Dengan merawatku sepenuh hati, ayah telah meninggalkan cintanya hanya kepada ibuku seorang.
Ada sebuah pekerjaan besar yang menuntut perhatian dan konsentrasi penuh. Itu kabar yang kusampaikan lewat WhatsApp. Bayu menerima alasan itu. Dalih yang cukup masuk akal dan masih mengandung kebenaran. Ini adalah awal dari sebuah mimpi besarku di masa depan. Aku sedang menyiapkan sebuah skenario film, yang diadaptasi dari salah satu novel terlarisku.
Seminggu yang lalu aku menyempatkan diri datang menemui tante Dewi. Ayah telah membuatku lebih kuat dari sebelumnya. Aku ingin menyelesaikan semuanya dengan cantik dan anggun.
Seperti biasa rumah itu selalu tenang dan sepi. Tante Dewi nampak terkejut dengan kehadiranku. Kami duduk berdua di halaman samping rumah. Tempatnya asri dan sejuk. Tante Dewi menyuguhkan teh melati yang hangat. Ini sangat membantu meningkatkan mood bicaraku.
“Kemarin Bayu memohon agar saya menerima lamarannya. Tekadnya bulat untuk meninggalkan Tante, memilih tinggal dengan saya dan memulai hidup baru di Jakarta,” aku menyisipkan senyum diantara ceritaku.
Wajah oval tante Dewi memucat. “Kalau saat ini saya menolak lamaran Bayu, bukan karena saya takut. Saya hanya ingin agar Tante tidak kehilangan dia,” lanjutku. “Jika suatu hari nanti, Bayu menikah dengan seorang wanita pilihan tante, saya pastikan Bayu akan membenci Tante selamanya. Sedangkan Tante, akan mengingat saya seumur hidup Tante. Hanya karena kebaikan saya maka semua yang Tante inginkan tercapai.” Aku tidak memberi kesempatan tante Dewi bicara. Beliau nampak tertegun tidak mengucapkan satu patah katapun. Setelah menyelesaikan tegukan terakhir, aku meninggalkan tempat itu.
Aku tersadar dari lamunan setelah melihat sebuah mobil city car berwarna putih mengambil posisi parkir di depan pintu gerbang rumahku. Ratih sudah datang menjemput. Aku bergegas mandi dan tidak mau terlambat sampai di bandara Ngurah Rai. Aku tidak akan memberi ruang untuk penundaan. Aku memiliki semua waktu yang dibutuhkan untuk menunjukkan prestasi terbaikku kepada dunia.
Bayu bukanlah tempat untuk menghentikan langkah. Jika dia sungguh-sungguh menginginkan aku, akan dicarinya sebuah jalan untuk menemukanku. Tidak ada yang harus aku khawatirkan. Kepergian mendiang ibu mengajarkan aku akan banyak hal. Jangan masuk ke sarang singa sebagai seekor domba. Terkadang Tuhan memberi luka, hanya untuk menyelamatkan kita dari duka yang lebih dalam.
(Penggalan Cerpen NW Sri Mulyani dalam Buku Salma Dan Lelaki Kiriman Tuhan)
2 Post a Comment
👍
Lanjutkan terus 💪 Ditunggu cerita lainnya 🤗
EmoticonEmoticon