SUAMI ISTRI (JANGAN) JADI PELUPA

SUAMI ISTRI (JANGAN) JADI PELUPA

 

Apa yang terbayang di kepala sepasang manusia yang memutuskan untuk mengakhiri masa pacarana mereka ? 

 

Betul 1000% !!!

 

Hidup bersama yang dalam bayangan adalah tertawa, memadu cinta, saling melengkapi, saling mengisi, kemana-mana ada yang menemani, mau ngapain aja ada yang barengin, butuh bantuan tinggal ngomong, tidak kesepian lagi, dst.

 

Apakah bayangan itu salah? 

Tentu tidak. Justru bayangan itulah yang harus dipupuk terus. Bayangan kebahagiaan berumah tangga. Semua mahluk menginginkannya. Semua berharap bahagia dan berusaha untuk mencapainya. 

Hanya saja di dunia ini tidak ada yang gratis. Tidak ada yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Tidak ada manusia yang setiap hari akan bersikap konstan dengan emosi mereka. Setiap detik manusia dipengaruhi oleh suasana hati dari dalam, kondisi fisik yang sangat mungkin berubah-ubah, pengaruh lingkungan luar, dll. 

Manusia tetaplah hanya salah satu mahluk penghuni jagat raya dengan segala keterbatasan mereka. Manusia bukan robot yang bisa diprogram oleh manusia lainnya. Manusia adalah mahluk sosial yang butuh berinteraksi dengan lingkungan mereka. Jika disaat sendiri kita yang menjadi penentu segalanya, maka ketika hidup bersama dengan pasangan, hidup menjadi tanggung jawab berdua. Semua pasangan harus melewati proses yang panjang, terus menerus, dan berkesinambungan.

 

Yang menjadi pemenang dalam hidup adalah orang-orang yang mampu melewati proses itu dengan baik. Jika melihat sepasang suami istri masih bertahan hingga tutup usia dimasa tua mereka, yakinlah ada banyak cerita dalam hidup mereka. Cerita yang tidak selalu mereka ungkapkan keluar rumah. Cerita yang tidak selalu nampak sehingga tidak pernah tercium dari luar. Cerita yang berhasil mereka atur sedemikian rupa agar menyisakan bagian-bagian yang menyenangkan dan berusaha melupakan bagian-bagian yang sedih.

 

Mengapa mereka berhasil tetap bersama?

Teorinya adalah karena mereka memutuskan menjadi pasangan yang berani untuk menerima setiap tantangan yang datang, melewati proses bersama-sama dengan lapang hati, ikhlas menerima semua kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mau berubah menyesuaikan dinamika perkembangan dalam hubungan. 

Mereka bersedia dan mau mengubah diri dari sikap bagai penumpang yang ketakutan, menjadi pengemudi yang berani untuk menentukan jalan takdir mereka sendiri.

Sepasang suami istri menjadi penumpang dalam rumah tangga mereka ketika masih mengijinkan interupsi-interupsi dari luar masuk ke dalam. Pendapat orang tua, ipar, saudara, ataupun keputusan-keputusan kecil dalam hidup yang masih diatur oleh ibu mertua, Paman, bibi, dst. Awalnya terlihat sepele, tetapi ketika itu terjadi bertahun-tahun secara terus menerus maka hubungan menjadi bom waktu yang menunggu waktu lemah untuk meledak. Mereka terjebak dalam pola-pola perilaku tidak sadar yang kemudian menjadi kebiasaan dan melekat sebagai karakter. 

 

Ketika “dunia hanya milik berdua” maka area akan menjadi lebih sempit tetapi luas. Sempit karena tidak ada banyak campur pendapat yang lain. Luas karena ada kebebasan untuk mencapai hal-hal besar dalam sebuah perkawinan. 

 

Hal yang harus disadari selanjutnya adalah kemampuan masing-masing pihak untuk tidak berusaha merubah pasangan menjadi sesuai keinginan sendiri. Ada hasrat untuk menguasai dan mengendalikan pasangan. Memaksakan pikiran/metode sesuai keinginan sendiri. Meletakkan ekspektasi tinggi kepada pasangan tanpa menyadari kemampuan masing-masing pihak. Sikap menggantung mood pribadi kepada sikap dan perilaku pasangan kemudian sering melontarkan ucapan, “Gara-gara pertanyaan kamu suasana jadi rusak!”

 

Apakah semua bisa dilalui?

Tentu saja bisa jika kedua pihak mau sadar untuk “keep in touch”

Tidak meninggalkan komunikasi dengan alasan sibuk dan tidak punya waktu. Karena sesungguhnya semua hanyalah tentang prioritas. Sesekali tidak sempat berkabar karena sedang diburu waktu tentu bukan sebuah hal besar yang kemudian menodai hubungan. Kebiasaan meninggalkan dan meremehkan komunikasilah yang akan merusak hubungan.

Jika tiba-tiba “sepi” sebaiknya dicari tahu penyebabnya dan bukan melontarkan kesalahan kepada sikap pasangan.

 

Sesekali menolak bercinta (padahal secara kasat mata sudah terlihat pasangan sedang kelelahan) bukanlah hal yang perlu dibesar-besarkan. Setiap ditawari selalu menolak itulah yang menjadi masalah dan harus segera dicari tahu alasannya. Komunikasi ternyata memang  menjadi alat paling penting.

 

Tidak lupa mensyukuri semua nikmat Tuhan menjadi syarat berikutnya. 

Terkadang ada seorang suami lupa bersyukur ketika bisa bekerja dengan tenang disaat rumah dan anak-anak sudah baik-baik saja, kemudian lupa peran seorang istri yang jatuh bangun merawat “kondisi” itu. Merasa jika sebagai pencari nafkah adalah pengorbanan terbesar dalam rumah tangga. Keakuan muncul menggoda untuk memberi reward kepada diri sendiri dengan cara yang tidak elok. Lupa jika perempuan juga bisa mencari nafkah jika ada kesempatan yang sama.

 

Atau seorang istri yang lupa bersyukur jika ada suami yang sudah menjaga kelangsungan hidup keluarga. Hidup yang nyaman membutuhkan materi yang cukup. Ada banyak yang harus dibiayai dalam sebuah keluarga. Bagaimana jadinya jika harus menanggung tanggung jawab itu sendiri. Merawat rumah dan keluarga sekaligus membiayai semua kebutuhannya.

 

Karma dalam berumah tangga tidak berhubungan dengan pahala yang terus menerus dihitung ataupun hukuman-hukuman dari perilaku yang salah sebelumnya. Karma sepasang suami istri adalah tindakan itu sendiri. Bagaimana mereka memutuskan untuk sadar akan diri sendiri, menerima diri sendiri, dan mau merubah diri menjadi lebih baik.

 

Menjadi pembicara hebat bisa dilakoni semua orang, tetapi menjadi pendengar yang baik membutuhkan kesabaran dan keluasan hati. Ilmu dan pengetahuan sangat penting tetapi tindakan menjadi kunci keberhasilan.

 

Mari terus belajar dan selamat berbahagia .

 


Read More

BUNGA TELANG



Bunga Telang

 

Siapa yang sudah menanam bunga Telang/Teleng di pekarangan rumah?

Kalau belum, ada baiknya untuk dicoba. Mengapa harus mencobanya? 

Karena selain cantik untuk dipandang, bunga Telang dikenal luas memiliki banyak manfaat baik bagi tubuh kita. 

 

Tanaman ini dapat ditemui tumbuh dilahan semak, hutan terbuka, dan vegetasi sungai. Beberapa orang menanamnya di pot, atau pagar rumah. Tanaman ini akan tumbuh merambat dengan pertumbuhan yang cepat. Tanaman ini tidak membutuhkan perawatan khusus. Walaupun termasuk berumur pendek, tetapi dia mampu tumbuh hinga mencapai panjang 2,5 meter.

 

Bunga Telang memiliki banyak nama seperti Butterfly Pea (Clitoria ternatea), Bluebellvine Blue Pea, Asian Pigeonwings, Cordofan Pea, dan Darwin Pea. Nama yang beragam menandakan jika tanaman ini sudah dikenal diberbagai negara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dll.

 

Bunga yang memiliki bentuk mirip klitoris kaum hawa ini, ukuran rata-rata panjangnya sekitar 4 cm dan lebar 3 cm. Paling sering dijumpai dengan warna biru. Selain itu bunga ini juga memiliki varian warna yang lain seperti putih, biru muda, dan ungu muda. Selain bentuk single, bunga Telang juga ada yang tumpuk.

 

Sebuah penelitian dari Journal of Ethnopharmacology menunjukkan bahwa bunga Telang memiliki kualitas antiasthmatic. Journal of food Science an Technology juga menemukan bahwa bunga ini penuh dengan antioksidan yang bermanfaat bagi tubuh dan dapat mengurangi stress oksidatif (antidepresan)

 

Kelopak bunga Telang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami seperti teh, pewarna pudding, nasi, dll. Sedangkan daun, biji, dan akarnya dimanfaatkan sebagai obat herbal/tradisional.

 

Bagaimana cara mengonsumsi bunga Telang ini? 

 

1.     Sebagai pewarna alami, buga Telang tinggal diseduh dengan air hangat. Maka warnanya akan keluar dan menyatu dengan air.

2.     Sebagai sayuran, kelopak bunga Telang bisa  dimakan langsung bersama  lauk yang lain. Jangan lupa untuk mencuci bersih terlebih dahulu.

3.  Sembelit, bisa dikurangi dengan memanfaatkan biji bunga Telang. Ambil beberapa biji bunga telang kemudian dipanggang, dihaluskan menjadi bubuk. Bubuk biji bunga Telang dapat diminum bersama air hangat suam-suam kuku selama 3 hari. Selain bijinya, 10 gram akar bunga dapat direndam dalam 2 gelas air hangat selama 5 jam. Minum 2 kali sehari selama 3 hari.

4.     Mengunyah 2 lembar daun bunga Telang dapat mengurangi keluhan migrain.

5. Asupan 5 gram bubuk akar bunga Telang dapat membantu masalah gangguan pencernaan.

6.  Untuk mengurangi bengkak. Fungsi daunnya mirip  seperti daun nangka yang kering. Ambil beberapa daun secukupnya ditumbuk hingga berbentuk pasta kemudian ditempelkan pada bagian tubuh yang bengkak.

 

Nah, beberapa manfaat bunga telang yang telah diteliti adalah :

1.     Meningkatkan kesehatan otak dan jantung.

2.     Melancarkan siklus menstruasi pada wanita.

3.  Meningkatkan sistem saraf                                                                  (melancarkan peredaran darah, mengurasi stress)

4.     Mengobati gejala asma/bronkitis.

5.     Obat alami untuk Diabetes.

6.     Membantu menjaga Kesehatan mata.

7.     Baik untuk pencernaan.

8.     Meningkatkan daya ingat.

9.     Mengurangi rasa sakit kepala.

10.  Mengatasi rambut rontok.

11.  Sebagai pengganti kafein pada masa kehamilan.

12.  Sebagai pewarna alami pada makanan.

 




Read More

SHALIMAR


 

SHALIMAR

    

    “Brakkk…!” Terdengar suara benda jatuh.

Tidak ada lagi keributan dari perempuan muda itu. Tubuhnya terjatuh di lantai keramik mewah keluarga Skyton. Tergeletak begitu saja, seperti daun kering yang dihempas angin.

    Mbok Sami datang tergopoh-gopoh dari dapur yang terletak di samping ruang rawat Shal, panggilan sayang untuk Shalimar. Tubuhnya yang besar makin terasa berat. Diseretnya langkah renta itu menuju ruangan Shalimar, perempuan yang beberapa bulan terakhir berkawan kekecewaan.

    “Bangun, Buuu…. Bangun!” teriak Mbok Sami dengan kencang. Kedua tangannya mengguncang-guncang bahu lemah dengan tubuh dalam posisi menelungkup.

    Tangan Mbok Sami meraba tubuh panas Shalimar. Beberapa hari terakhir Shal mengalami sepsis berat. Demamnya tak kunjung mereda, paramedis yang merawat mencurigai terjadi infeksi lanjutan. 

    “Mba Aurellll… Ibu jatuh, Mba!” suara Mbok Sami serak menahan guncangan emosi. Dari kamar kecil terdengar suara perempuan menyahut. Rupanya Aurel sedang ke kamar kecil saat kejadian mengenaskan itu berlangsung.

    Mbok Sami mencoba memeriksa tubuh Shalimar. Tangan dengan keriput yang menumpuk disetiap lekukan jari itu mulai menjelajahi tubuh malang  Shalimar. Mencari luka yang menebar bau amis.

    “Ya ampunnnn...! Bu!” Pekik Mbok Sami lagi. Aroma darah sudah menguasai ruangan, bercampur dengan aroma urin yang tumpah ke lantai. Tubuh yang terjerembab ke lantai membuat selang kateter terlepas dari vagina. Kantong Urin yang tersangkut kemudian tertimpa badan Shalimar. Tarik-menarik selang urin membuat urin yang tertampung di kantongnya meluap keluar.

    Aurel yang mendapat tugas jaga hari itu keluar dari kamar kecil yang ada dalam satu areal ruang rawat. Kedua tangannya sigap membalik tubuh Shalimar. Nampak darah mengucur dari lubang di leher tempat alat tracheos terpasang. Tangannya cekatan mengambil perban untuk menutup leher Shalimar yang berdarah.

    “Angkat badan Ibu ke ranjang, Mbok!” perintah Aurel cepat. Suara gaduh mendatangkan Pak Antok dari garase salah satu keluarga terkaya di Jakarta Selatan itu. Mereka berjuang bersama hingga tubuh lemah Shalimar kembali tergolek di ranjang perawatan. 

    Dokter Andre memasuki ruang rawat dengan tergesa. Tangannya cekatan memberi pertolongan. Aurel sungguh sigap mendatangkan dokter itu dalam waktu cepat. 

    Mereka sedang bergelut dalam kondisi darurat yang sama. Berjuang untuk menemukan sisa-sisa napas Shalimar yang baru saja berlalu.

    “Periksa saturasi oksigen. Ventilator SIMV RR 18, ya!” Seru Dokter Andre sambil menyiapkan obat-obatan yang diperlukan.

“Meropenem lanjut!”

“Mycamin lanjut!”

“Komponen darah sedang dikirim, kita siap untuk melakukan transfusi dua unit, dan ekstra plasbumin 25% selama dua hari kedepan.” Wajahnya pias.

Shalimar masih muda untuk jabatannya, belum lagi tiga puluh tahun dia sudah mengelola empat gedung pencakar langit di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan. Management yang professional membuat para pelaku bisnis berebut untuk menyewa satu dua lantai dari gedung yang dia kelola.

Dengan mata cokelat besar dan wajah tirus ia menyimpan kemampuan bernegosiasi yang mapan. Rambut cokelatnya dipotong sebahu, lebih demi kenyamanan dibanding gaya.

Dibalik tubuh jangkung, ramping, dengan kecenderungan kurus, Shalimar mampu bergerak cepat dan gesit.  Terdapat otot yang kuat di balik blazer yang membalut tubuhnya. Hidup produktif membuat rekening bank miliknya juga tebal. Sebuah kondisi yang menjadi magnet kuat bagi orang yang ingin memanfaatkannya. 

“Shal… Boleh?” tanya Steven sambil mengeluarkan kotak rokok berwarna merah. Satu kelopak matanya berkedip untuk meminta persetujuan Shalimar.

“Huhhhh…!” Shalimar menghela napas. Wajahnya berkerut-kerut menahan risau mendengar basa-basi pertanyaan yang tidak dibutuhkan saat berada di dekatnya. Seharusnya Steven sudah menyadari itu.

“Kau belum cukup mengenalku untuk bisa menilai apa yang kusukai atau tidak. Dan aku tidak pernah bilang kau boleh merokok disini!”

“Itu hal lain yang aku sukai tentangmu. Arogansi sangat khas dirimu,” Steven mengabaikan kerutan di dahi Shalimar. Ia mengeluarkan satu batang rokok dari kotak rokoknya.

Shalimar tidak yakin dirinya merasa lega dan baik-baik saja sampai ia melihat sebuah benda kecil bersinar terang disamping MacBook Air peraknya

“Punya siapa?” bisik Shalimar pelan. 

“Sejak kapan kamu memakai benda ini?” Shalimar menangkap tangan Steven yang hendak mengambil sebuah cincin bertahta kilatan berlian. 

Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir lelaki itu. Telinganya memanas. Air mukanya berubah merah. Ia segera memalingkan wajah dari perempuan yang sedang memegang kartu As. 

Dengan cepat Steven menuruni tempat tidur dan meraih celana jeans yang teronggok di lantai. Jemari kanannya cepat menyambar kunci mobil disamping meja nakas.  Jemari yang lain menyabet cincin yang menjadi sumber pertengkaran.

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku!” teriak Shalimar garang. Dia paling tidak suka diacuhkan apalagi oleh laki-laki yang sudah menidurinya tiga bulan terakhir ini. 

“Brakkk!” Suara pintu kamar ditutup kencang. Dari balik jendela terlihat Steven meninggalkan halaman depan rumah mengemudikan  mobil sedan putih miliknya.

“Kamu akan segera kembali untuk ponsel berharga ini, huhhh!” Shalimar membuang wajahnya dari cermin.

“Laki-laki ceroboh!” Ia mengumpat lagi. Jemari lentiknya segera memainkan ponsel pintar  Steven. Beberapa informasi penting dapat dikumpulkan dari benda pintar itu. 

Dalam hitungan menit, semua akses perbankan Steven diblokir. Sampai saat ini uang masih memegang kendali yang cukup dasyat untuk menindas orang-orang macam Steven. Shalimar tidak membutuhkan waktu panjang untuk menjegal langkah laki-laki itu.

Tuan Charles, Ayah Shalimar seorang konglomerat baru. Jaringan bisnisnya berkembang pesat. Berawal dari produksi sandal jepit disebuah toko kontrakan yang kecil dan sumpek, sekarang gurita bisnisnya sudah melebar kemana-mana.

Dibalik kesuksesan sang ayah, ada seorang wanita yang bertahun-tahun hidup dalam tekanan. Nyonya Sarah seorang wanita pendiam yang tetap menjalani hidupnya dengan senyuman, bahkan ketika suaminya mengatur setiap gerak langkahnya.  Secara finansial perempuan yang paling dicintainya itu memang tergantung dengan suaminya. Shalimar tidak ingin itu terjadi padanya. Ia mengagumi ketenangan Sang Ibu dan keyakinannya yang mendalam, tetapi keyakinan itu bukanlah untuk Shalimar. Ibunya memang berhasil menjadi wanita dengan atribut-atribut yang paling dibanggakan Ayahnya-seorang ibu yang lembut, penurut, dan berbudaya. Shalimar tumbuh lebih liberal dan mandiri. Pengalaman dalam keluarga telah membentuknya menjadi  seperti sekarang. 

Beberapa minggu berlalu tanpa kehadiran Steven. Keuangan yang buruk akan membawanya kembali. Shalimar tidak memedulikannya. Laki-laki itu tidak pantas untuk dirindukan.

Shalimar mengisi waktunya dengan teman-teman sejawat. Meeting dari satu Gedung ke Gedung yang lain.  Makan siang bersama kolega bisnis, atau sekedar menikmati kopi di sebuah cafĂ© favoritnya.

“Ada tawaran manis dari bos besar pemilik perusahaan farmasi. Sudah kuatur waktu pertemuan,” laporan pagi Sharon, sekretarisnya, terdengar cukup menjanjikan. 

Shalimar mengangkat sebelah alis. “Tawaran sewa gedung? Jelaskan lebih detil!”

Sharon terdengar semakin nyaring saat menjelaskan detil isi penawaran yang baru saja dia beritakan. Shalimar mengangguk tanda setuju.

Ia menduduki kursi bar dari kayu dan memperhatikan keadaan disekelilingnya. Jauh terasa lebih tenang dan nyaman dari bar yang biasa dia kunjungi. Tempat itu kurang lebih setengah penuh dan digaungi suara musik yang lembut. Pengunjung disini juga kelihatan sedikit lebih serius. Obrolan tentang bisnis, target perusahaan, ataupun masa depan. Shalimar merasa baru saja kabur dari pesta anak-anak muda yang hingar bingar dengan gaung suara lebih menyengat telinga. 

Sharon datang membawa minuman mereka. Dia duduk dan menyerahkan gelas kepada Shalimar, lalu mengangkat gelasnya sendiri kearah Shalimar.

“Semoga semua dilancarkan.”

Shalimar mengadukan gelasnya dengan gelas Sharon. Mereka bersulang untuk kelancaran bisnis hari itu.

‘Dorrr!” Suara tembakan menghentak. 

Tubuh Shalimar terjungkal ke belakang. Ambruk bersama rencana negosiasi bisnisnya hari itu. 

Ada lubang menganga di dada Shalimar. Darah membasahi lantai yang mengilap, menggenang, dan terus menetes. Percikan darah di dinding bar tampil bak lukisan misteri yang menceritakan sebuah kematian. 

“Bertahanlah, kumohon,” bisik Sharon frustasi. Matanya liar menoleh ke sekeliling ruangan mencari pelaku penembakan. Sayang, tidak satupun yang memberi petunjuk berarti. Penembak itu sungguh mahir melepaskan peluru dari arah yang tidak terduga.

Damn it!” teriak Sharon kesal.

Beberapa pegawai bar segera mengangkat tubuh Shalimar dan membawanya ke parkiran mobil. 

“Cepat ke rumah sakit!” perintah Sharon kepada Pak Antok yang terhentak melihat majikannya bersimbah darah. Tanpa bertanya lagi, mobil melesat bak terbang di angkasa.

Rumah sakit yang dituju sudah menunggu kedatangan mereka. Shalimar dibawa team medis ke ruang Instalasi Gawat Darurat untuk mendapatkan pertolongan maksimal, berharap kematian masih enggan menjemputnya. 

“Lakukan apa saja untuk menolongnya!” Dari ponsel terdengar jelas suara Tuan Charles memberi perintah kepada Sharon yang sedang duduk di depan ruang operasi. Tatapan matanya kosong. Dua penyidik dengan alat perekam suara dan gambar telah menunggunya untuk siap dimintai keterangan. 

Team kepolisian menyapu TKP dengan sigap. Mewawancarai beberapa orang dan memeriksa kamera pengawas di seluruh sudut bar. Terlihat menyeberangi ruangan, masing-masing mengeluarkan wadah ramping, menyemprot tangan mereka, depan belakang untuk menyegel minyak dan sidik jari. Mereka sedang berusaha keras untuk mengungkap siapa pelaku percobaan pembunuhan itu.

Dua bulan Shalimar tergolek di ruang Internal Care Unit. Setelah kondisi stabil  keluarga memutuskan untuk merawat Shalimar dengan home care. Tuan Charles menyiapkan sebuah ruangan khusus yang memungkinkan Shalimar dirawat professional setara dengan standar Internal Care Unit di rumah sakit.

“Aku masih belum paham dengan apa yang baru saja terjadi. Mengapa tidak ada yang mengawasinya? Bukankah dia tidak boleh dibiarkan sendiri?” Suara Tuan Charles meninggi. 

Mbok Sami dan Pak Antok hanya tertunduk lesu. Tidak ada yang harus mereka jelaskan untuk membuat pembelaan lagi. Rumah itu hanya dihuni oleh mereka dan team medis yang merawat.  Rekaman kamera pengawas memperlihatkan Shalimar mencabut sendiri kabel alat ventilator yang menempel dengan alat tracheos di leher. Semua penghuni rumah memiliki alibi yang kuat.

Shalimar terbangun dari kegelapan. Kelopak matanya menyipit. Dari sela-sela bilah tirai jendela nampak sinar fajar menyelinap malu-malu. Memancarkan garis-garis suram di ranjang. 

Badannya berguncang, gemetar, terpasung rasa sakit di sekujur tubuh. Dia memandang perih yang merayapi ranjang.  Selang ventilator sudah tersambung lagi dengan lehernya. Shalimar belum yakin apakah kali ini dia masih diberi waktu untuk bertahan. 

“Shal, bertahun-tahun yang lalu, Mama mengambilmu dari seorang wanita yang hendak membuang bayinya.” Pesan itu kembali terngiang di telinga Shalimar. Nyonya Sarah sedang membuka sebuah kotak misteri.

Semua belum usai, ada banyak pertanyaan yang harus di cari jawabannya. Siapa dibalik semua ini? Jika Shalimar adalah pewaris kerajaan bisnis Tuan Charles, lalu siapa yang menginginkan ketiadaannya.

Tuhan belum mengijinkan aku mati! 

Desis Shal dalam hati.

 

Read More

NYONYA PUAN

 

NYONYA PUAN

 

    “Apanya yang baik? Kalian akan terkejut kalau mendengar berita ini!” Suara Bu Rina tiba-tiba keceplosan diantara suara ibu-ibu yang sedang menawar daging dan sayuran.

    “Loh, emangnya Si Nyonya punya masalah dengan situ?” Seringai Bu Angga. Ibu-ibu lain yang sedang mengerubungi Mas Betok saling pandang.

    “Udahan, Bu Ibu… pagi-pagi jangan gosipin orang,” sergah Bu Sri dari balik sayur Kangkung yang tersusun rapi dalam gerobak kayu Mas Betok.

     “Coba aja, kalau Bu Sri yang ngalemin masalah saya. Mungkin Bu Sri udah nyerempet itu si Nyonya besar.” Bu Rina semakin kalap.

    “Halah… halah… ayo buruan ceritanya, Bu Rina! Kalau telat masak bisa gawat, keburu ditinggal suami kerja, nih!” Bu Angga setor pendapat pamungkas.

    Ibu-ibu kalau lagi ngumpul memang lebih sering gaduh daripada tenangnya. Sudah menjadi perangai para wanita di bumi ini. Mereka merasa nyaman di komunitas saat bisa ngobrol ngalor ngidul melepas penatnya otak dengan pekerjaan rumah yang monoton.

“Lama-lama Mas Betok juga bisa ketularan pelanggannya, banyak ngomong wae!” Bu Angga nambahin.

“Ya iyalah… kan dia pedagang keliling. Kalau diem aja mana ada yang noleh apalagi ngedeketin,” kelakar Bu Sri lagi sambil merapikan belanjaannya pagi ini. Ada daging ayam setengah kilo, sayur paku 2 ikat, bawang merah, bawang putih, terasi udang, dan tempe daun dua sisir.

Awal memulai berjualan keliling Mas Betok memanfaatkan sepeda motornya yang sudah tua. Setelah berjalan enam bulan ada beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan. Pelanggan yang agak malas bangun pagi seringkali terlewati atau malah motornya yang mengalami masalah di tengah jalan. Beban yang harus di tanggung menjadi semakin berat kalau harus mendorong motor sekaligus gerobak yang berisi barang dagangan. Tapi apapun sarana jualan sayurnya, Mas Betok tetap dihati ibu-ibu kompleks Griya Cinere Indah.

“Nyonya sombong itu sudah memecat suami saya dari perusahaan garment miliknya! Sekarang suami saya nganggur tidak ada pekerjaan!” Bu Rina membuka aib. Wajahnya memerah menahan amarah yang meluap. Tersirat kebencian yang sangat mendalam.

Tangan-tangan gesit yang sedang memilih barang belanjaan otomatis diam sesaat. Semua wajah berpaling kearah perempuan dengan tubuh tinggi besar berdaster biru muda. Sejenak Bu Rina menjadi pusat alam semesta.

Tidak ada yang berani memberi pertanyaan lanjutan. Masalah pekerjaan suami bukanlah masalah sepele. Hal sensitif menyangkut satu keluarga dalam sebuah rumah. Memberi komentar pun harus berhati-hati. 

Satu persatu ibu-ibu itu meninggalkan lokasi. Beberapa hanya memberikan semangat untuk Bu Rina. Semua tahu jika keluarga itu sangat bergantung kepada seorang sosok ayah yang dipanggil Budi dan Bu Rina hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya sibuk urusan dapur, bersih-bersih rumah, dengan dua balita dalam masa pertumbuhan.

Tiga bulan sudah berlalu sejak Budi mendapatkan pekerjaan yang baru. Saat memasuki bulan kedua mengganggur, tiba-tiba saja sudah ada panggilan kerja dari perusahaan produksi pakaian jadi Hosana. Perusahaan ternama dengan jumlah tukang jahit sampai ratusan orang. 

“Aku ngga pernah ngajuin lamaran kerja kesana loh!” Saat itu Budi terheran-heran. Ada perusahaan dengan jenis bisnis senada menawarkan pekerjaan dimasa sulitnya. 

“Ini bukan kebetulan. Siapa yang mempromosikan aku kesana ya?” lanjutnya lagi.

“Mungkin mantan bosmu, Mas! Ngerasa bersalah kali dia. Makanya jangan asal pecat-pecat karyawan gitu!” Rina menepuk Pundak Budi sambil tersenyum sinis. Cukuplah satu bulan suaminya di rumah saja.

Budi seperti menikmati pekerjaan barunya.  Anteng dengan rutinitasnya di Hosana. Kalau bukan betah, pastinya masa kerja tidak sampai menyentuh tiga bulan.

“Nyahok itu si Nyonyah Puan! Biar dia tahu, kalau suamiku sudah dapat kerjaan baru! Dia pikir Cuma dia saja yang punya perusahaan gede. Orang kaya mah sukanya begitu, seenaknya wae sama orang kecil macam kita. Main pecat aja!” Diantara ibu-ibu yang mengerubungi Mas Betok, Rina makin sengit di pagi berikutnya. Rasa bangga akan pekerjaan baru suaminya seperti terbayar lunas untuk dendam di waktu yang lain.

“Udah Bu, syukurin ajah! Semoga lancar ya, kerjaan Mas Budi disono!” Bu Sri menyemangati disambut anggukan ibu-ibu lain. 

“Iya, Bu Rin, kita doain yah!” Bu Angga menimpali rekannya. Semua manggut-manggut setuju dengan ucapan Bu Angga.

“Maaaa…Mamaaa… ada tamu nungguin di rumah!” teriak Isha, putri kedua Rina. Semua menoleh kearah gadis kecil yang berlari tergopoh-gopoh mencari tubuh ibunya diantara para ibu yang sedang mengerubungi Mas Betok.

“Sini, Nak! Mamakmu lagi pilihin kamu lauk, nih!” Mas Betok berjongkok menyambut anak pelanggan loyalnya.

Isha tersenyum malu.

“Nyari Mama!” teriaknya lucu.

“Yo, wis! Totalin dulu belanjaanku!” pinta Bu Rina. Mas Betok bergerak cepat memasukkan belanjaan Rina sambil menghitung rupiahnya.

Dari kejauhan terlihat seorang wanita bersilang kaki sedang duduk di teras rumah dengan terusan warna kuning muda. Corak polkadot di bagian bawah dan hiasan renda menambah kesan bersahaja. Wajahnya cantik dengan kulit bersinar sawo matang. Dia menunggu dengan gelisah. Melihat bayangan Rina mendekatinya, perempuan itu langsung berdiri.

“Dengan Ibu Rina?” suaranya lembut.

“Iya, saya sendiri.” Wajah Rina bertanya-tanya. Dia berusaha mengingat mungkin sebelumnya pernah bertemu dengan perempuan ini di suatu tempat. File di kepala sudah dibolak-baliknya cepat, tapi tidak ada yang cocok dengan wajah perempuan ini. Dia tidak menemukan jawaban.

“Kalian bermain di dalam dulu, sayang!” pinta Rina kepada kedua putrinya. Anak-anak itu berlarian ke dalam rumah sambil berceloteh riang.

“Saya Susi, teman kerja Bapak Budi. Mohon maaf sudah mengganggu kesibukan Ibu.” Perempuan itu membuka perbincangan.

“Oohhh iya… iya…! Teman Mas Budi toh, ada apa ya, Mba?” Senyum Rina menyebar masih penuh dengan beribu tanya. 

“Kalau tidak mau saya laporkan, tolong peringatkan suami Ibu agar tidak terus menerus menggoda saya di tempat kerja!” Ucap perempuan manis yang sedang memberi kabar pahit itu. 

Deg!

Rina merasa kakinya bagai melayang di udara. Napasnya tersengal-sengal melepas kepergian perempuan muda itu. Rina berusaha mencapai kursi kayu di pojok teras untuk duduk sejenak. Menenangkan hati yang sedang bergemuruh hebat.

Lalu apa yang terjadi dengan Mas Budi di kantor sebelumnya? Apakah Nyonya Puan memecat Mas Budi demi menyelamatkan keluargaku? Mengapa aku tidak mencari kebenaran, malah mengumbar berita bohong. Bukannya memecah misteri Nyonya Puan, aku malah menyebar fitnah. Sungguh naifnya aku, menyemburkan lidah api ke jantungku sendiri. Bodohnya aku!

Rina tertunduk lesu memandang kedua putrinya yang sedang berantakin tempat tidur. Mereka melompat-lompat bermain dengan gembira. 

“ Maafkan saya, Nyonya Puan,” desisnya hampir tak terdengar. Hanya gemuruh tak menampakkan rupa.





Read More