SHALIMAR


 

SHALIMAR

    

    “Brakkk…!” Terdengar suara benda jatuh.

Tidak ada lagi keributan dari perempuan muda itu. Tubuhnya terjatuh di lantai keramik mewah keluarga Skyton. Tergeletak begitu saja, seperti daun kering yang dihempas angin.

    Mbok Sami datang tergopoh-gopoh dari dapur yang terletak di samping ruang rawat Shal, panggilan sayang untuk Shalimar. Tubuhnya yang besar makin terasa berat. Diseretnya langkah renta itu menuju ruangan Shalimar, perempuan yang beberapa bulan terakhir berkawan kekecewaan.

    “Bangun, Buuu…. Bangun!” teriak Mbok Sami dengan kencang. Kedua tangannya mengguncang-guncang bahu lemah dengan tubuh dalam posisi menelungkup.

    Tangan Mbok Sami meraba tubuh panas Shalimar. Beberapa hari terakhir Shal mengalami sepsis berat. Demamnya tak kunjung mereda, paramedis yang merawat mencurigai terjadi infeksi lanjutan. 

    “Mba Aurellll… Ibu jatuh, Mba!” suara Mbok Sami serak menahan guncangan emosi. Dari kamar kecil terdengar suara perempuan menyahut. Rupanya Aurel sedang ke kamar kecil saat kejadian mengenaskan itu berlangsung.

    Mbok Sami mencoba memeriksa tubuh Shalimar. Tangan dengan keriput yang menumpuk disetiap lekukan jari itu mulai menjelajahi tubuh malang  Shalimar. Mencari luka yang menebar bau amis.

    “Ya ampunnnn...! Bu!” Pekik Mbok Sami lagi. Aroma darah sudah menguasai ruangan, bercampur dengan aroma urin yang tumpah ke lantai. Tubuh yang terjerembab ke lantai membuat selang kateter terlepas dari vagina. Kantong Urin yang tersangkut kemudian tertimpa badan Shalimar. Tarik-menarik selang urin membuat urin yang tertampung di kantongnya meluap keluar.

    Aurel yang mendapat tugas jaga hari itu keluar dari kamar kecil yang ada dalam satu areal ruang rawat. Kedua tangannya sigap membalik tubuh Shalimar. Nampak darah mengucur dari lubang di leher tempat alat tracheos terpasang. Tangannya cekatan mengambil perban untuk menutup leher Shalimar yang berdarah.

    “Angkat badan Ibu ke ranjang, Mbok!” perintah Aurel cepat. Suara gaduh mendatangkan Pak Antok dari garase salah satu keluarga terkaya di Jakarta Selatan itu. Mereka berjuang bersama hingga tubuh lemah Shalimar kembali tergolek di ranjang perawatan. 

    Dokter Andre memasuki ruang rawat dengan tergesa. Tangannya cekatan memberi pertolongan. Aurel sungguh sigap mendatangkan dokter itu dalam waktu cepat. 

    Mereka sedang bergelut dalam kondisi darurat yang sama. Berjuang untuk menemukan sisa-sisa napas Shalimar yang baru saja berlalu.

    “Periksa saturasi oksigen. Ventilator SIMV RR 18, ya!” Seru Dokter Andre sambil menyiapkan obat-obatan yang diperlukan.

“Meropenem lanjut!”

“Mycamin lanjut!”

“Komponen darah sedang dikirim, kita siap untuk melakukan transfusi dua unit, dan ekstra plasbumin 25% selama dua hari kedepan.” Wajahnya pias.

Shalimar masih muda untuk jabatannya, belum lagi tiga puluh tahun dia sudah mengelola empat gedung pencakar langit di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan. Management yang professional membuat para pelaku bisnis berebut untuk menyewa satu dua lantai dari gedung yang dia kelola.

Dengan mata cokelat besar dan wajah tirus ia menyimpan kemampuan bernegosiasi yang mapan. Rambut cokelatnya dipotong sebahu, lebih demi kenyamanan dibanding gaya.

Dibalik tubuh jangkung, ramping, dengan kecenderungan kurus, Shalimar mampu bergerak cepat dan gesit.  Terdapat otot yang kuat di balik blazer yang membalut tubuhnya. Hidup produktif membuat rekening bank miliknya juga tebal. Sebuah kondisi yang menjadi magnet kuat bagi orang yang ingin memanfaatkannya. 

“Shal… Boleh?” tanya Steven sambil mengeluarkan kotak rokok berwarna merah. Satu kelopak matanya berkedip untuk meminta persetujuan Shalimar.

“Huhhhh…!” Shalimar menghela napas. Wajahnya berkerut-kerut menahan risau mendengar basa-basi pertanyaan yang tidak dibutuhkan saat berada di dekatnya. Seharusnya Steven sudah menyadari itu.

“Kau belum cukup mengenalku untuk bisa menilai apa yang kusukai atau tidak. Dan aku tidak pernah bilang kau boleh merokok disini!”

“Itu hal lain yang aku sukai tentangmu. Arogansi sangat khas dirimu,” Steven mengabaikan kerutan di dahi Shalimar. Ia mengeluarkan satu batang rokok dari kotak rokoknya.

Shalimar tidak yakin dirinya merasa lega dan baik-baik saja sampai ia melihat sebuah benda kecil bersinar terang disamping MacBook Air peraknya

“Punya siapa?” bisik Shalimar pelan. 

“Sejak kapan kamu memakai benda ini?” Shalimar menangkap tangan Steven yang hendak mengambil sebuah cincin bertahta kilatan berlian. 

Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir lelaki itu. Telinganya memanas. Air mukanya berubah merah. Ia segera memalingkan wajah dari perempuan yang sedang memegang kartu As. 

Dengan cepat Steven menuruni tempat tidur dan meraih celana jeans yang teronggok di lantai. Jemari kanannya cepat menyambar kunci mobil disamping meja nakas.  Jemari yang lain menyabet cincin yang menjadi sumber pertengkaran.

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku!” teriak Shalimar garang. Dia paling tidak suka diacuhkan apalagi oleh laki-laki yang sudah menidurinya tiga bulan terakhir ini. 

“Brakkk!” Suara pintu kamar ditutup kencang. Dari balik jendela terlihat Steven meninggalkan halaman depan rumah mengemudikan  mobil sedan putih miliknya.

“Kamu akan segera kembali untuk ponsel berharga ini, huhhh!” Shalimar membuang wajahnya dari cermin.

“Laki-laki ceroboh!” Ia mengumpat lagi. Jemari lentiknya segera memainkan ponsel pintar  Steven. Beberapa informasi penting dapat dikumpulkan dari benda pintar itu. 

Dalam hitungan menit, semua akses perbankan Steven diblokir. Sampai saat ini uang masih memegang kendali yang cukup dasyat untuk menindas orang-orang macam Steven. Shalimar tidak membutuhkan waktu panjang untuk menjegal langkah laki-laki itu.

Tuan Charles, Ayah Shalimar seorang konglomerat baru. Jaringan bisnisnya berkembang pesat. Berawal dari produksi sandal jepit disebuah toko kontrakan yang kecil dan sumpek, sekarang gurita bisnisnya sudah melebar kemana-mana.

Dibalik kesuksesan sang ayah, ada seorang wanita yang bertahun-tahun hidup dalam tekanan. Nyonya Sarah seorang wanita pendiam yang tetap menjalani hidupnya dengan senyuman, bahkan ketika suaminya mengatur setiap gerak langkahnya.  Secara finansial perempuan yang paling dicintainya itu memang tergantung dengan suaminya. Shalimar tidak ingin itu terjadi padanya. Ia mengagumi ketenangan Sang Ibu dan keyakinannya yang mendalam, tetapi keyakinan itu bukanlah untuk Shalimar. Ibunya memang berhasil menjadi wanita dengan atribut-atribut yang paling dibanggakan Ayahnya-seorang ibu yang lembut, penurut, dan berbudaya. Shalimar tumbuh lebih liberal dan mandiri. Pengalaman dalam keluarga telah membentuknya menjadi  seperti sekarang. 

Beberapa minggu berlalu tanpa kehadiran Steven. Keuangan yang buruk akan membawanya kembali. Shalimar tidak memedulikannya. Laki-laki itu tidak pantas untuk dirindukan.

Shalimar mengisi waktunya dengan teman-teman sejawat. Meeting dari satu Gedung ke Gedung yang lain.  Makan siang bersama kolega bisnis, atau sekedar menikmati kopi di sebuah café favoritnya.

“Ada tawaran manis dari bos besar pemilik perusahaan farmasi. Sudah kuatur waktu pertemuan,” laporan pagi Sharon, sekretarisnya, terdengar cukup menjanjikan. 

Shalimar mengangkat sebelah alis. “Tawaran sewa gedung? Jelaskan lebih detil!”

Sharon terdengar semakin nyaring saat menjelaskan detil isi penawaran yang baru saja dia beritakan. Shalimar mengangguk tanda setuju.

Ia menduduki kursi bar dari kayu dan memperhatikan keadaan disekelilingnya. Jauh terasa lebih tenang dan nyaman dari bar yang biasa dia kunjungi. Tempat itu kurang lebih setengah penuh dan digaungi suara musik yang lembut. Pengunjung disini juga kelihatan sedikit lebih serius. Obrolan tentang bisnis, target perusahaan, ataupun masa depan. Shalimar merasa baru saja kabur dari pesta anak-anak muda yang hingar bingar dengan gaung suara lebih menyengat telinga. 

Sharon datang membawa minuman mereka. Dia duduk dan menyerahkan gelas kepada Shalimar, lalu mengangkat gelasnya sendiri kearah Shalimar.

“Semoga semua dilancarkan.”

Shalimar mengadukan gelasnya dengan gelas Sharon. Mereka bersulang untuk kelancaran bisnis hari itu.

‘Dorrr!” Suara tembakan menghentak. 

Tubuh Shalimar terjungkal ke belakang. Ambruk bersama rencana negosiasi bisnisnya hari itu. 

Ada lubang menganga di dada Shalimar. Darah membasahi lantai yang mengilap, menggenang, dan terus menetes. Percikan darah di dinding bar tampil bak lukisan misteri yang menceritakan sebuah kematian. 

“Bertahanlah, kumohon,” bisik Sharon frustasi. Matanya liar menoleh ke sekeliling ruangan mencari pelaku penembakan. Sayang, tidak satupun yang memberi petunjuk berarti. Penembak itu sungguh mahir melepaskan peluru dari arah yang tidak terduga.

Damn it!” teriak Sharon kesal.

Beberapa pegawai bar segera mengangkat tubuh Shalimar dan membawanya ke parkiran mobil. 

“Cepat ke rumah sakit!” perintah Sharon kepada Pak Antok yang terhentak melihat majikannya bersimbah darah. Tanpa bertanya lagi, mobil melesat bak terbang di angkasa.

Rumah sakit yang dituju sudah menunggu kedatangan mereka. Shalimar dibawa team medis ke ruang Instalasi Gawat Darurat untuk mendapatkan pertolongan maksimal, berharap kematian masih enggan menjemputnya. 

“Lakukan apa saja untuk menolongnya!” Dari ponsel terdengar jelas suara Tuan Charles memberi perintah kepada Sharon yang sedang duduk di depan ruang operasi. Tatapan matanya kosong. Dua penyidik dengan alat perekam suara dan gambar telah menunggunya untuk siap dimintai keterangan. 

Team kepolisian menyapu TKP dengan sigap. Mewawancarai beberapa orang dan memeriksa kamera pengawas di seluruh sudut bar. Terlihat menyeberangi ruangan, masing-masing mengeluarkan wadah ramping, menyemprot tangan mereka, depan belakang untuk menyegel minyak dan sidik jari. Mereka sedang berusaha keras untuk mengungkap siapa pelaku percobaan pembunuhan itu.

Dua bulan Shalimar tergolek di ruang Internal Care Unit. Setelah kondisi stabil  keluarga memutuskan untuk merawat Shalimar dengan home care. Tuan Charles menyiapkan sebuah ruangan khusus yang memungkinkan Shalimar dirawat professional setara dengan standar Internal Care Unit di rumah sakit.

“Aku masih belum paham dengan apa yang baru saja terjadi. Mengapa tidak ada yang mengawasinya? Bukankah dia tidak boleh dibiarkan sendiri?” Suara Tuan Charles meninggi. 

Mbok Sami dan Pak Antok hanya tertunduk lesu. Tidak ada yang harus mereka jelaskan untuk membuat pembelaan lagi. Rumah itu hanya dihuni oleh mereka dan team medis yang merawat.  Rekaman kamera pengawas memperlihatkan Shalimar mencabut sendiri kabel alat ventilator yang menempel dengan alat tracheos di leher. Semua penghuni rumah memiliki alibi yang kuat.

Shalimar terbangun dari kegelapan. Kelopak matanya menyipit. Dari sela-sela bilah tirai jendela nampak sinar fajar menyelinap malu-malu. Memancarkan garis-garis suram di ranjang. 

Badannya berguncang, gemetar, terpasung rasa sakit di sekujur tubuh. Dia memandang perih yang merayapi ranjang.  Selang ventilator sudah tersambung lagi dengan lehernya. Shalimar belum yakin apakah kali ini dia masih diberi waktu untuk bertahan. 

“Shal, bertahun-tahun yang lalu, Mama mengambilmu dari seorang wanita yang hendak membuang bayinya.” Pesan itu kembali terngiang di telinga Shalimar. Nyonya Sarah sedang membuka sebuah kotak misteri.

Semua belum usai, ada banyak pertanyaan yang harus di cari jawabannya. Siapa dibalik semua ini? Jika Shalimar adalah pewaris kerajaan bisnis Tuan Charles, lalu siapa yang menginginkan ketiadaannya.

Tuhan belum mengijinkan aku mati! 

Desis Shal dalam hati.

 


EmoticonEmoticon