NYONYA PUAN

 

NYONYA PUAN

 

    “Apanya yang baik? Kalian akan terkejut kalau mendengar berita ini!” Suara Bu Rina tiba-tiba keceplosan diantara suara ibu-ibu yang sedang menawar daging dan sayuran.

    “Loh, emangnya Si Nyonya punya masalah dengan situ?” Seringai Bu Angga. Ibu-ibu lain yang sedang mengerubungi Mas Betok saling pandang.

    “Udahan, Bu Ibu… pagi-pagi jangan gosipin orang,” sergah Bu Sri dari balik sayur Kangkung yang tersusun rapi dalam gerobak kayu Mas Betok.

     “Coba aja, kalau Bu Sri yang ngalemin masalah saya. Mungkin Bu Sri udah nyerempet itu si Nyonya besar.” Bu Rina semakin kalap.

    “Halah… halah… ayo buruan ceritanya, Bu Rina! Kalau telat masak bisa gawat, keburu ditinggal suami kerja, nih!” Bu Angga setor pendapat pamungkas.

    Ibu-ibu kalau lagi ngumpul memang lebih sering gaduh daripada tenangnya. Sudah menjadi perangai para wanita di bumi ini. Mereka merasa nyaman di komunitas saat bisa ngobrol ngalor ngidul melepas penatnya otak dengan pekerjaan rumah yang monoton.

“Lama-lama Mas Betok juga bisa ketularan pelanggannya, banyak ngomong wae!” Bu Angga nambahin.

“Ya iyalah… kan dia pedagang keliling. Kalau diem aja mana ada yang noleh apalagi ngedeketin,” kelakar Bu Sri lagi sambil merapikan belanjaannya pagi ini. Ada daging ayam setengah kilo, sayur paku 2 ikat, bawang merah, bawang putih, terasi udang, dan tempe daun dua sisir.

Awal memulai berjualan keliling Mas Betok memanfaatkan sepeda motornya yang sudah tua. Setelah berjalan enam bulan ada beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan. Pelanggan yang agak malas bangun pagi seringkali terlewati atau malah motornya yang mengalami masalah di tengah jalan. Beban yang harus di tanggung menjadi semakin berat kalau harus mendorong motor sekaligus gerobak yang berisi barang dagangan. Tapi apapun sarana jualan sayurnya, Mas Betok tetap dihati ibu-ibu kompleks Griya Cinere Indah.

“Nyonya sombong itu sudah memecat suami saya dari perusahaan garment miliknya! Sekarang suami saya nganggur tidak ada pekerjaan!” Bu Rina membuka aib. Wajahnya memerah menahan amarah yang meluap. Tersirat kebencian yang sangat mendalam.

Tangan-tangan gesit yang sedang memilih barang belanjaan otomatis diam sesaat. Semua wajah berpaling kearah perempuan dengan tubuh tinggi besar berdaster biru muda. Sejenak Bu Rina menjadi pusat alam semesta.

Tidak ada yang berani memberi pertanyaan lanjutan. Masalah pekerjaan suami bukanlah masalah sepele. Hal sensitif menyangkut satu keluarga dalam sebuah rumah. Memberi komentar pun harus berhati-hati. 

Satu persatu ibu-ibu itu meninggalkan lokasi. Beberapa hanya memberikan semangat untuk Bu Rina. Semua tahu jika keluarga itu sangat bergantung kepada seorang sosok ayah yang dipanggil Budi dan Bu Rina hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya sibuk urusan dapur, bersih-bersih rumah, dengan dua balita dalam masa pertumbuhan.

Tiga bulan sudah berlalu sejak Budi mendapatkan pekerjaan yang baru. Saat memasuki bulan kedua mengganggur, tiba-tiba saja sudah ada panggilan kerja dari perusahaan produksi pakaian jadi Hosana. Perusahaan ternama dengan jumlah tukang jahit sampai ratusan orang. 

“Aku ngga pernah ngajuin lamaran kerja kesana loh!” Saat itu Budi terheran-heran. Ada perusahaan dengan jenis bisnis senada menawarkan pekerjaan dimasa sulitnya. 

“Ini bukan kebetulan. Siapa yang mempromosikan aku kesana ya?” lanjutnya lagi.

“Mungkin mantan bosmu, Mas! Ngerasa bersalah kali dia. Makanya jangan asal pecat-pecat karyawan gitu!” Rina menepuk Pundak Budi sambil tersenyum sinis. Cukuplah satu bulan suaminya di rumah saja.

Budi seperti menikmati pekerjaan barunya.  Anteng dengan rutinitasnya di Hosana. Kalau bukan betah, pastinya masa kerja tidak sampai menyentuh tiga bulan.

“Nyahok itu si Nyonyah Puan! Biar dia tahu, kalau suamiku sudah dapat kerjaan baru! Dia pikir Cuma dia saja yang punya perusahaan gede. Orang kaya mah sukanya begitu, seenaknya wae sama orang kecil macam kita. Main pecat aja!” Diantara ibu-ibu yang mengerubungi Mas Betok, Rina makin sengit di pagi berikutnya. Rasa bangga akan pekerjaan baru suaminya seperti terbayar lunas untuk dendam di waktu yang lain.

“Udah Bu, syukurin ajah! Semoga lancar ya, kerjaan Mas Budi disono!” Bu Sri menyemangati disambut anggukan ibu-ibu lain. 

“Iya, Bu Rin, kita doain yah!” Bu Angga menimpali rekannya. Semua manggut-manggut setuju dengan ucapan Bu Angga.

“Maaaa…Mamaaa… ada tamu nungguin di rumah!” teriak Isha, putri kedua Rina. Semua menoleh kearah gadis kecil yang berlari tergopoh-gopoh mencari tubuh ibunya diantara para ibu yang sedang mengerubungi Mas Betok.

“Sini, Nak! Mamakmu lagi pilihin kamu lauk, nih!” Mas Betok berjongkok menyambut anak pelanggan loyalnya.

Isha tersenyum malu.

“Nyari Mama!” teriaknya lucu.

“Yo, wis! Totalin dulu belanjaanku!” pinta Bu Rina. Mas Betok bergerak cepat memasukkan belanjaan Rina sambil menghitung rupiahnya.

Dari kejauhan terlihat seorang wanita bersilang kaki sedang duduk di teras rumah dengan terusan warna kuning muda. Corak polkadot di bagian bawah dan hiasan renda menambah kesan bersahaja. Wajahnya cantik dengan kulit bersinar sawo matang. Dia menunggu dengan gelisah. Melihat bayangan Rina mendekatinya, perempuan itu langsung berdiri.

“Dengan Ibu Rina?” suaranya lembut.

“Iya, saya sendiri.” Wajah Rina bertanya-tanya. Dia berusaha mengingat mungkin sebelumnya pernah bertemu dengan perempuan ini di suatu tempat. File di kepala sudah dibolak-baliknya cepat, tapi tidak ada yang cocok dengan wajah perempuan ini. Dia tidak menemukan jawaban.

“Kalian bermain di dalam dulu, sayang!” pinta Rina kepada kedua putrinya. Anak-anak itu berlarian ke dalam rumah sambil berceloteh riang.

“Saya Susi, teman kerja Bapak Budi. Mohon maaf sudah mengganggu kesibukan Ibu.” Perempuan itu membuka perbincangan.

“Oohhh iya… iya…! Teman Mas Budi toh, ada apa ya, Mba?” Senyum Rina menyebar masih penuh dengan beribu tanya. 

“Kalau tidak mau saya laporkan, tolong peringatkan suami Ibu agar tidak terus menerus menggoda saya di tempat kerja!” Ucap perempuan manis yang sedang memberi kabar pahit itu. 

Deg!

Rina merasa kakinya bagai melayang di udara. Napasnya tersengal-sengal melepas kepergian perempuan muda itu. Rina berusaha mencapai kursi kayu di pojok teras untuk duduk sejenak. Menenangkan hati yang sedang bergemuruh hebat.

Lalu apa yang terjadi dengan Mas Budi di kantor sebelumnya? Apakah Nyonya Puan memecat Mas Budi demi menyelamatkan keluargaku? Mengapa aku tidak mencari kebenaran, malah mengumbar berita bohong. Bukannya memecah misteri Nyonya Puan, aku malah menyebar fitnah. Sungguh naifnya aku, menyemburkan lidah api ke jantungku sendiri. Bodohnya aku!

Rina tertunduk lesu memandang kedua putrinya yang sedang berantakin tempat tidur. Mereka melompat-lompat bermain dengan gembira. 

“ Maafkan saya, Nyonya Puan,” desisnya hampir tak terdengar. Hanya gemuruh tak menampakkan rupa.






EmoticonEmoticon