REFLEKSI MENYAMBUT TAHUN BARU 2023 (BAGIAN 2)


KEKUATAN CINTA KETIKA MEMBERI

(Sebuah Refleksi Menyambut Tahun Baru 2023)

 

“Bukan soal berapa jumlah yang Anda berikan, tetapi seberapa besar cinta yang Anda muat ke dalam pemberian itu”

(Ibu Teresa, 1910 – 1997)

 

Ungkapan indah dari seorang Ibu Teresa, pemenang Nobel Perdamaian yang dikenang dunia sepanjang masa. Beliau bekerja dengan cinta, menyampaikan cinta, menyebarkan cinta bahkan kepada tempat-tempat yang tidak pernah Beliau temui, kita dimasa kini misalnya.

Saya tidak pernah berjumpa dengan Ibu Teresa, tetapi kekuatan cintanya sampai kepada saya, mungkin juga kepada Anda. 

 

Begitulah hebatnya cinta itu, daya yang paling dasyat di jagat raya ini, yang mampu melipat gandakan kekuatan kepada mereka-mereka yang mempercayainya.

 

Pada dasarnya mahluk hidup lebih mengenang rasa daripada kuantitas.

Maka ketika kita memberi sesuatu kepada orang lain, kemungkinan besar jumlah dan angkanya tidak melekat dalam memori, tetapi perasaan saat menerimanya, seberapa besar rasa cinta kita saat memberi, itu yang akan melekat ke dalam ingatan.

 

Maka terkadang kita mendengar seseorang berkata,

Saya akan mengingat kebaikanmu sampai kapanpun.

 

Pernahkah Anda mendoakan seseorang yang baru saja ditemui, tetapi Anda sudah merasakan kebaikannya kepada Anda?

Seseorang yang tidak Anda kenal, tetapi sudah membantu Anda menyeberang jalan misalnya, menunjukkan arah tempat tujuan Anda, atau seorang pelayan toko yang membantu mencarikan barang yang Anda butuhkan.

 

Dengan rasa syukur kemudian Anda memohon kebaikan, kesehatan, keselamatan, kelimpahan, atau apa saja hal-hal baik yang Anda mohon kepada Tuhan untuk orang tersebut.

 

Tanpa disadari ketika kita mendoakan kebaikan untuk orang lain, maka kita sedang mendoakan diri sendiri. Karena pada saat mengharapkan kebaikan untuk orang lain, maka kita sedang menarik kebaikan lain untuk datang menghampiri kita.

 

Maka jangan khawatir, sekecil apapun kebaikan yang kita berikan, ketika kita melakukannya tanpa pamrih, maka ia akan menciptakan riak-riak kebaikan berikutnya. 

Akan ada kejutan-kejutan menyenangkan yang susul menyusul hadir dalam kehidupan (sebuah teori yang hanya akan dirasakan jika sudah mempraktekkannya)

 

Apa yang Anda berikan akan setara dengan apa yang kembali Anda terima. 

Sebuah hukum semesta yang bagi kaum Hindu menjadi dasar kehidupan. Hukum Karmapala juga dikenal sebagai hukum sebab akibat. Alam semesta akan terus mencari posisi seimbang. Dia akan mengembalikan kepada Anda apa saja yang sudah Anda berikan kepadanya, tanpa pengurangan.

 

Nyatanya masih saja ada yang mampu berpura-pura kemudian berlindung dibalik kata cinta itu sendiri. Dengan alasan cinta dan kasih sayang kemudian merasa benar dan berhak untuk menyakiti pihak lain, mencurigai orang lain, bahkan sampai menuduh orang lain sebagai penyebab kemalangan hidupnya. Dengan percaya diri kemudian memaksa orang lain agar bertanggung jawab untuk apa yang dia terima dalam hidup.

 

Tanpa disadari, mereka sedang menggandakan kekuatan buruk yang akan berbalik kepada mereka sendiri. 

 

Sebaik-baiknya kita memakai topeng dan berlindung dibalik kata cinta, akan tiba waktunya cinta itu menjelaskan siapa dirinya.

 

Bagi saya, proses belajar tidak akan pernah usai sebelum perjalanan itu selesai.

Niat baik akan diucapkan dan dilakukan dengan baik pula.

Karena niat baik yang diucapkan akan menjadi komitmen.

Komitmen yang konsisten dilakukan akan menjadi kenyataan.

Karena itu mari kita menjaga niat baik tetap menjadi panduan dalam mengarungi Semesta yang Maha Luas ini.

 

Love you Universe




 

Read More

REFLEKSI MENYAMBUT TAHUN BARU 2023 (BAGIAN 1)

 


KETIKA SEMESTA MENCINTAIKU

(Sebuah Refleksi Menyambut Tahun Baru 2023)

 

Satu hal yang harus dilakukan untuk memiliki sesuatu yang kita cintai adalah mempercayainya. Satu hal yang harus dilakukan ketika mempercayai adalah meyakininya. Dengan keyakinan maka kita akan berusaha untuk mencapainya. Pada kondisi ini, kita sudah berada pada sebuah lingkaran yang baik.

 

Berhati-hatilah saat meyakini sesuatu. Pastikan jika hal yang sedang diyakini itu adalah positif. Bisa dibayangkan jika yang sedang diyakini adalah hal yang buruk, maka kita akan berputar-putar pada pusaran yang menyakitkan.

 

Menjalani tahun demi tahun dalam kehidupan kita sudah pasti tidak ada yang sama setiap detiknya. Menyenangkan terus atau menyedihkan terus. Bahagia dan gembira datang silih berganti. Ketika kita mampu memahaminya dengan baik dan bijaksana maka pada fase sedih kita masih tetap mampu melihat sisi baiknya.

 

Kaki seorang anak tersandung batu. Tangisan pun pecah menyayat kalbu. Siapa yang hatinya tidak terluka melihat buliran demi buliran air mata membasahi pipi mungilnya. Tetapi sang ibu segera datang memeluk, mengusap air mata, dan menanyakan apa yang terjadi.

Lutut yang tergores sangatlah perih. Sang ibu memeriksa kondisi luka kemudian memberikan pertolongan. Goresan pada kulit lembutnya dibersihkan dengan antiseptic kemudian diberi obat agar tidak infeksi. Kasih sayang sang ibu mengalir bak air sungai dengan arus yang tenang. Sesekali sang ibu meniup luka dan memberi penghiburan. 

“ Syukurlah, hanya luka goresan. Beruntung kulitmu tidak sampai robek apalagi sampai patah tulang. Terima kasih Tuhan, luka ini akan segera sembuh, dan kita bisa bermain lagi!” seru sang ibu sambil tersenyum.

 

Apa yang terbayang ketika ucapan itu selesai disampaikan?

Anak akan tersenyum diantara sakitnya. Dalam proses menerima sebuah kejadian sebagai suatu kenyataan yang harus diterima, sang ibu tetap mengajaknya bersyukur bahkan untuk sebuah luka yang baru saja terjadi. Mengucapkan terima kasih pada kejadian yang tidak menyenangkan tetapi masih diberi kekuatan untuk melaluinya.

 

Coba dibayangkan jika sang anak tetap bersikukuh untuk bertahan pada sikap menolak lukanya, membenci kejadian yang sudah terjadi, menyesali dirinya sendiri yang sudah salah melangkahkan kaki, dan seterusnya. 

Coba bayangkan jika sang ibu justru membakar suasana dengan kata-kata yang buruk. Menyalahan dan memaki yang dianggap sebagai sumber masalah.

Maka bukan kesembuhan yang akan didapat, melainkan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Jika sang anak marah kemudian menendang batu yang dianggapnya sebagai sumber masalah, kemungkinan besar akan terjadi luka baru yang lebih besar.

 

Maka ketika kita mendapatan kejadian buruk, perasaan buruk atau perasaan tidak senang, jangan memberi kekuatan kepada perasaan itu, apalagi sampai mencurahkan waktu dan tenaga untuk memberi energi besar kepadanya. Semakin kuat kita membenci sebuah kejadian atau perasaan buruk, maka semakin kuat pula ia akan menyakiti kita.

 

Jika ada orang-orang bersikap buruk dan menekan kita dengan tingkah mereka, jalan terbaik adalah segera membuat pilihan untuk menjauh, meninggalkan mereka, dan memutuskan pengaruh negatif tersebut.

Bagi mereka yang selalu berpikir negative, apapun yang kita lakukan akan salah dimata mereka. Tidak ada untungnya berjuang untuk membuat mereka paham akan maksud dan sikap baik kita. Selalu ada pilihan untuk menjaga diri dan perasaan kita tetap positif.

 

Karena hanya orang-orang “hebat” yang mampu menertawakan kegagalan, mengevaluasi kesalahan, lalu memperbaiki diri.

 

Orang-orang itu adalah kita!




Read More

Setangkai Kamboja di Pemakaman

Setangkai Kamboja di Pemakaman



        “Pergilah dengan damai dan nikmati kebebasan yang sudah lama Kau nantikan,” bisikan penuh kasih sayang itu terbang menghampiri telinga yang telah lama mati. Perempuan dengan wajah pucat terbujur kaku di atas bale-bale rumah itu masih menyuguhkan senyum sejak hembusan napas terakhirnya.

Beberapa keluarga mulai berdatangan menyampaikan bela sungkawa. Raut muka sembab menyiratkan sisa tangisan yang baru saja disudahi. Sebagian besar dari mereka lebih memilih tidak bertanya tentang jasad pucat yang ditutupi kain batik bercorak burung cendrawasih. Para tetangga ataupun kerabat yang datang merasa jika diam jauh lebih baik daripada melempar tanya yang sangat mungkin mengundang luka sang empunya rumah.

        “Dimana anak dan suaminya?” Pak Hasan menepuk pundak Desti. Orang-orang menoleh kearah datangnya suara. Satu-satunya yang membuka mulut itu adalah Ketua RW setempat.

        “Belum kembali dari Singapura. Mereka akan segera tiba dengan penerbangan terakhir malam ini,” Hening menjawab pertanyaan itu dengan wajah datar. Semua kembali terdiam, sementara langit semakin gelap digelayut mendung.

Lantunan doa-doa dan ayat suci mulai terdengar. Cuaca redup masih menguasai. “Aku cemburu kepada awan gelap itu, sungguh bahagia mereka berarak bebas di langit luas. Mengikuti angin yang membawanya berkelana. Jatuh ke bumi ketika dia menginginkannya,” Hening bergumam sambil menggenggam setangkai bunga Kamboja putih.

“Apa katamu?” tanya Desti dengan wajah kesal.

“Aku cemburu kepada awan gelap itu!” suara Hening mengejutkan para pelayat. Membalas pertanyaan Desti dengan raut kecewa, tanpa menoleh kepadanya. Serentak mereka yang mendengarnya mengalihkan pandangan pada kedua perempuan yang sedang berduka dibalik kerudung hitam.

“Diam Kau! Setelah pemakaman adikmu kita bicara!” hardik Desti kesal. Terbaca jelas jika perempuan itu marah karena Hening mulai menunjukkan keberanian melawannya.

“Baiklah! Aku pun bosan mengikuti maumu!” Hening mengangkat kedua kakinya dan pergi menuju ruang keluarga. Tangisannya kembali pecah. Tak seorang pun menyadari jika itu adalah luapan rasa tertekan yang bertahun-tahun sudah membelenggu hidupnya. Beberapa kerabat mendekati dan mengusap-usap lengan Hening. Berusaha mengingatkan jika tidak ada kehidupan yang abadi di dunia ini. Jika sesungguhnya tidak ada sesuatu yang benar-benar kita miliki seutuhnya. Rasa Ikhlas akan mendekatkan sedangkan penguasaan justru menjauhkan. 

            Seminggu telah berlalu sejak pemakaman Indah usai dilakukan. Hening mengemasi barang-barang, menurunkannya dari lantai dua dan meletakkannya di teras depan.

“Mau kemana?” tanya ibunya dengan raut muka heran.

Rupanya Desti telah menunggu keberanian Hening disalah satu kursi teras yang terbuat dari kayu cempaka.

“Aku tidak mau bernasib sama dengan adik perempuanku.” Hening menghempaskan tubuh pada kursi di samping Desti.

“Mengapa Ibu melahirkan kami?” Hening setengah berbisik.

“Pertanyaan apa itu?” Desti balik mengangkat kedua alisnya hingga berkerut hampir menyambung antara yang kiri dan kanan.

“Kau tidak menginginkan kami, jadi kupikir lebih baik aku pergi dengan baik-baik. Ahhhh, Ayah dan Indah pun sebenarnya pergi dengan baik-baik juga. Tapi aku tidak mau mengikuti cara mereka. Aku punya caraku sendiri.” Hening menarik kedua sudut bibirnya dengan berlawanan arah yang membentuk senyum getir. Senyuman yang hanya mampu dipahami olehnya sendiri.

         “Ayahmu hanya seekor buaya darat!” wajah Desti datar

         “Mungkin Ibu yang membuat Ayah berganti rupa. Pernahkah terpikir seperti itu?”

            Desti merasa pipinya ditampar keras oleh seorang perempuan muda yang dia lahirkan di masa lalu. Darah mengalir deras ke ubun-ubun yang mulai tipis. Sebagian rambut yang dulu lebat dan hitam legam telah memilih untuk merontokkan helainya. Pilihan yang terpaksa mereka lakukan karena lahan tempatnya bergantung semakin kering dari cinta.

            “Mungkin saja,” desis Desti pelan. Dengan penuh perjuangan dia mengumpulkan tenaga untuk melembutkan nada suaranya.

            “Sepertinya ini hari yang baik untuk kita berdua. Aku tidak mau kehilangan kesempatan emas ini. Sekarang hanya ada engkau dan aku. Singkirkan status ibu dan anak. Kita adalah dua sejawat yang lama tidak berjumpa,” Hening semakin rileks.

Ini kali pertama ia  dapat berbincang dengan lebih landai. Waktu yang tepat untuk bicara dengan wanita yang selama ini terlihat asing dimatanya. Wanita yang kerap menguasai medan percakapan hingga suaranya lebih terdengar sebagai perintah.

            “Kemana tujuanmu setelah ini?” tanya Desti polos.

            “Aku pun tidak tahu. Yang ada dalam pikiranku hanya keluar dari rumah ini terlebih dahulu. Nanti akan kupikirkan di jalan. Lagi pula untuk apa Ibu mengetahuinya. Setahuku Ibu hanya mementingkan pikiran dan perasaan diri sendiri saja,” Hening memperbaiki rambutnya yang dipermainkan angin sore.

            “Semoga Engkau berhasil mencapai harapanmu. Tapi sebaiknya pastikan dulu tempat yang akan kau tuju. Sebuah rumah kos? Atau kontrakan? Terserah. Yang penting kau ada di tempat yang aman.” Desti getir.

            Hening memandang lekat wanita asing disampingnya. Dia bukan Desti yang dikenal selama ini. Wajahnya masih tidak percaya dengan perubahan sikap ibunya sendiri.

    “Sejak kapan Ibu berpikir tentang kebaikanku?” Hening mengungkapkan rasa penasarannya akan sikap Desti.

            “Sejak Ibu merasakan gerakan pertama kalian dalam rahim, yang bentuknya kini semakin menyusut.” Desti semakin lunak.

            “Pernahkah kau katakan hal ini kepada Indah?” Hening makin tidak percaya.

            “Belum sempat kulakukan. Dia keburu sakit lalu pergi. Tidak ada kesempatan lagi untuk bertutur dengannya. Ibu sangat menyesalinya, dan tidak ingin mengulang cerita yang sama kepadamu.”

            Hening merasa tubuhnya terangkat keatas. Perempuan dua puluh lima tahun itu merasakan dirinya melayang-layang menerima siraman cinta yang lama tidak dia dapatkan. Kehilangan Indah bagai momentum besar dalam perubahan pandangan Desti. Semua terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. 

       “Mengapa baru kudengar semuanya hari ini, Bu?” Hening memanfaatkan waktu yang masih tersisa, sebelum dia pergi dari rumah. 

            “Sebaiknya kita tidak membahas tentang masa lalu. Kita tidak dapat merubah yang sudah terjadi,” Desti melipat kedua tangannya di dada sambil menghembuskan napas berat.

            “Masa lalu tidak bisa di rubah, tapi masa depan bisa diperbaiki,” Hening bangun dan mengangkat kursi yang sedang dia duduki. Perlahan memindahkannya kedepan kursi yang dipakai Desti. Tubuhnya makin merendah, kembali meletakkan pantatnya di kursi yang sama. Kedua tubuh ibu dan anak itu kini berhadap-hadapan.

            “Masa depanku sudah lenyap bersama kepergian Indah. Masa depanmu yang masih panjang. Temuilah adik iparmu. Peluk cucuku yang sudah dia rawat selama ini. Aku bersalah kepada mereka semua. Egoku membuat Indah pergi dalam kesepian yang dalam. Sekarang baru kusadari jika akulah yang memisahkan keluarga kecil itu.” Desti menutup kedua matanya dalam-dalam.

            “Kesepian sudah menjadi derita yang paling mengerikan. Bukannya menolong Indah yang tidak berdaya, aku justru membawanya kedalam kubangan yang sama. Aku merasa sangat bersalah kepada Eva. Dia akan mengenangku sebagai seorang nenek yang jahat.” Desti menitikkan air mata.

            Sore kembali sepi.

            Hening mulai bimbang antara meneruskan rencananya untuk pergi atau meneruskan perbincangan menarik itu. Dia belum mendapatkan jawaban atas perubahan sikap perempuan keras kepala yang ada dihadapannya. 

            “Ibu juga memisahkan aku dari Teguh!” Hening menatap lekat.

      “Kami masih saling mencintai. Dibelakangmu, kami melakukan pertemuan. Ibu tidak bisa mengurungku selamanya. Imajinasiku berkeliaran dijalanan. Mimpi kami tetap membara. Bukankah semua nasib ciptaan kita sendiri? Lalu mengapa keyakinan Teguh mengganggumu?” Hening kembali bersuara.

            Desti diam membisu. Ingatan melayang jauh kebelakang.

          “Indah mencintai suami dan anaknya. Singapura bukan negeri yang jauh. Hati Ibu yang jauh. Indah berhak menentukan nasibnya sendiri. Dekat dengan keluarga kecil yang dia cintai. Indah juga…,” belum selesai Hening melanjutkan.

           “Sudahlah! Dia sudah dimakamkan. Biarkan aku yang menanggung semuanya.” Desti menepuk dadanya sendiri.

         “Bukan Bu, yang menanggung sikap Ibu adalah Eva. Bersama waktu dan kesibukannya, Ayah Eva mungkin akan melupakan Indah. Tapi Eva… Dia akan mengenang Indah disepanjang napasnya. Merindukan wajahnya, suaranya, aroma tubuhnya, rindu semua dekapan Indah.” Hening bangun dan merapikan tas-tas bawaannya.

            “Aku yang paling tahu bagaimana cara menjaga Indah. Hanya Aku yang mampu merawatnya dari penyakit itu!” Desti mulai terisak.

            “Indah sudah berhasil melahirkan seorang Eva. Tidakkah itu cukup bagimu? Kalau memang Ibu yang paling hebat, lalu mengapa Indah mati juga?” Nada meninggi membulatkan tekad Hening untuk pergi. 

Rupanya kesadaran Desti belum cukup untuk menahan satu anaknya yang lain. Hening pergi membawa tas-tas yang berisi beberapa helai pakaian dan keperluan pribadinya ke ujung gang. Menjumpai seseorang yang sudah menunggunya dengan sabar. Baginya nasib adalah pilihan. 

Bunga-bunga kamboja bermekaran di halaman rumah yang didominasi warna putih. Semenjak kepergian Hening, lima tahun terasa melaju dengan lambat. 

"Tendang yang kuat, Nek!" teriakan Eva membuat Desti makin semangat. Dengan terhuyung Desti mengejar bola yang dilempar Eva, kemudian menendangnya hingga terjungkal. Eva tidak mampu menahan tawa. Terpingkal-pingkal melihat neneknya jatuh bermandi debu. Mereka bermain dengan bahagia. Tawa canda membuat rumah berkilauan cahaya. Panji yang sedang sibuk di dapur samping tersenyum simpul melihat tingkah nenek dan cucu itu.

"Heningggg! masuklah!" suara Panji memecah lamunan Hening yang berdiri mematung dibalik pagar rumah yang rendah. Hening tidak tahu harus berkata apa. Panji segera mematikan kompor yang sedang menunaikan tugasnya. Sambil berlari kecil Panji mendekati Hening yang masih diam seribu bahasa.

"Heiii... darimana saja Kau? kita ngobrol di dalam yuk!" Panji merayu adik iparnya. Hening masih diam. Tidak satu kata pun meluncur dari bibirnya yang ranum.

"Semua merindukanmu. Aku lagi masak nasi goreng dengan sosis ayam. Kamu pasti suka. Ayolah!" Panji masih berusaha. Dia menggaet lengan Hening lalu menariknya ke arah pintu masuk sambil mengecup kening Hening dengan lembut.

Hening menghembuskan napas lalu tersenyum.

"Kita harus menahan diri. Setelah ini akan ada banyak waktu. Aku tidak percaya dengan semua yang terlihat hari ini. Aku terlampau bahagia." Hening berbisik pelan dan lembut, membuat Panji tersenyum lebar.

"Masuklah dulu, Tuan Puteri. Ijinkan hamba melayanimu!" Panji menundukkan kepalanya. Hening terkekeh kegirangan.

"Rupanya setelah seminggu kalian disini menemani Ibu, ada banyak perubahan yang sudah terjadi. Lalu bagaimana caranya menyampaikan tentang rencana kita?" Hening mulai menggelayut di lengan Panji yang kekar. 

"Sabar, Sayang! Kita akan menemukan cara yang tepat." Panji merangkul Hening dengan hangat.

Di halaman rumah, Eva dan Desti menyudahi permainan. Mereka memandang kearah Panji dan Hening yang tampak mendekat.

"Mamaaaaa!" teriak Eva sambil berlari kegirangan. Sudah setahun terakhir dia mendekap Hening seperti layaknya memeluk Indah.





 

Read More

Media Sosial (antara penolong/penghancur)

 MEDIA SOSIAL

(ANTARA PENOLONG ATAU PENGHANCUR)

 

Seorang Kaisar Romawi mengatakan, 

 

Bila Anda merasa tertekan oleh sesuatu di luar, kesengsaraan itu bukanlah karena sesuatu itu sendiri, melainkan dari penilaian Anda terhadapnya.

 

Apa makna penting dari ungkapan itu?

 

Sang Kaisar ingin menyampaikan bahwa kita adalah sumber dari segala kejadian. Semua yang terjadi pada diri kita adalah hasil dari kreativitas kita sendiri. Pengalaman yang baik, menyenangkan, sedih, duka, menyengsarakan dan berbagai pengalaman hiidup lainnya adalah ciptaan kita sendiri.

 

Lalu apa hubungannya dengan media sosial?

 

Bagi sebagian besar orang, salah satu kebutuhan pokok manusia saat ini adalah bermedia sosial. Berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertemu muka. Membangun kelompok-kelompok baru tanpa mengenal mereka secara personal. Mengembangkan maksud dan tujuan tertentu baik dalam bidang bisnis, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Ada berbagai macam target yang ingin dicapai, yang terkadang tidak terbaca dengan baik oleh netizen. Karena selain ada yang muncul ke permukaan sebagaimana adanya, banyak pula individu yang berkeliaran dengan topeng-topeng di wajah mereka.  

 

Pada saat Anda mengungkapkan cinta, kebahagian, kegembiraan, rasa antusias, rasa syukur kepada orang lain, dan mampu memengaruhi seseorang dengan begitu kuat, kemudian orang itu memengaruhi lebih banyak manusia lain, maka semua hasil positifnya akan kembali kepada Anda.


Anda tidak hanya menerima balasan cinta dari satu orang, melainkan dari semua orang yang sudah terpengaruh oleh pikiran, ucapan, dan sikap positif Anda.

 

Benar, cinta itu akan kembali kepada Anda dalam jumlah yang berlipat ganda, bahkan dari orang-orang tidak Anda kenal. 

 

Hal-hal baik apa yang akan dijumpai jika cinta kembali kepada kita dalam jumlah berlipat-lipat. Itu rahasia Semesta Raya. Hanya Anda yang telah menerima mampu untuk merasakannya. Rasa bahagia, suka cita, kejadian demi kejadian ajaib yang menjadi penolong, rejeki yang tiba-tiba hadir tanpa bisa ditebak, dan sebagainya. Semua akan menjawab pertanyaan itu dengan sempurna. 

 

Lalu bagaimana halnya jika Anda memengaruhi orang secara negatif?

Membangun opini yang menyesatkan, memberitakan kabar bohong dan penuh rekayasa, memelintir cerita sehingga Anda terkesan adalah korban ( playing victim ).

Tentu reaksi yang muncul dalam hidup akan setara dengan apa yang sudah Anda berikan. Semakin banyak orang yang terpengaruh untuk menghakimi sesuatu/seseorang/sekelompok orang secara negatif, maka semakin banyak kesusahan dan penderitaan yang akan Anda jumpai.

 

Sekarang semua kembali kepada diri kita masing-masing. 

Apakah kita akan menebar kebaikan atau memilih sebaliknya. 

 

Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai netizen yang bijaksana?

Jangan langsung memercayai berita yang belum jelas sumbernya. Periksa kebenaran informasi dari pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan kabar tersebut. Hal penting lainnya, jangan melibatkan emosi dan perasaan Anda terlalu dalam pada sebuah kisah yang disajikan di media sosial (betapa bahayanya jika ternyata itu hanya gossip belaka maka kita sudah masuk dalam lingkaran negatif yang diciptakan penyaji kabar).




    Read More