Mata Kucing Hitam

Ketika Ayah dan Ibunya memutuskan untuk berpisah, Melati hanya mampu menangis sesenggukan. Sungguh, dia tidak ingin memilih salah satu diantara mereka. Baginya tidak ada yang menang dan kalah. Ini hanyalah tentang sebuah sikap untuk menghindar, lari, dan menyerah.  Dengan mata basah, pandangannya beralih kepada seekor kucing hitam bermata lebar yang tiba-tiba hadir di depan kamarnya.




"Meongggg...!" Suara kucing itu terdengar nyaring. Bulunya yang hitam menyatu dengan gelapnya malam. Mata kucing itu bercahaya terang menyorot wajah Melati.
"Ngapain kamu disana?" Melati menjulurkan kedua tangannya. Berharap kucing itu mau pindah kepangkuan. Sungguh, untuk saat ini dia sangat membutuhkan seorang teman.

Kucing itu tidak bergeming. Tubuhnya masih berdiri gagah di depan pintu masuk kamarnya yang terbuka lebar. Ketika Melati bangun dari tempat tidur dan bergerak mendekat, ia sudah kehilangan hewan dengan mata bercahaya itu. 

"Kamu boleh membawa Si Manis ikut ke rumah ibumu, sayang." Bisikan ayahnya mengejutkan Melati. Dengan mata sembab dipandangnya wajah sang ayah. Disana dia menemukan banyak guratan usia. Melebihi jumlah guratan yang seharusnya. Bukan karena Melati mempelajari teori wajah manusia, tetapi ayahnya memang nampak lebih tua dari lelaki seusianya. Wajah itu nampak sangat lelah.

"Ayah jahat!" teriak Melati dalam serak.
"Iya, Nak. Ayah jahat karena tidak mampu merubah sikap ibumu. Ayah minta maaf ya...." Suara ayahnya terdengar parau. Itulah percakapan terakhir Melati dengan sang ayah, sebelum ibunya membawa gadis berusia tujuh tahun itu pergi ke rumah neneknya di Karangasem.

Setahun berlalu setelah perceraian kedua orang tuanya diputuskan oleh pengadilan. Melati memilih tinggal dan diasuh sang nenek. Mungkin karena kesibukan ayahnya bekerja membuat Melati tidak cukup dekat dengannya. Si Manis pun ikut diboyong ke Desa Tumbu, Karangasem. Rumah asal ibu Melati. Kucing hitam dengan kuku mengkilat itu menjadi teman setianya. 

Hingga pada suatu malam Jalan Raya Seminyak Kuta dihebohkan dengan penemuan seorang mayat perempuan. Tubuhnya mati karena kehabisan darah. Lehernya meninggalkan luka gigitan taring yang tajam. Tubuh perempuan itu penuh dengan cakaran kuku binatang buas. Setelah melakukan olah tempat kejadian perkara, mayat itu dibawa ambulance menuju kamar mayat Rumah sakit Sanglah. Mungkin untuk keperluan penyelidikan polisi. Kata orang-orang yang sempat melihatnya, tidak ada yang mampu mengenali mayat perempuan itu. Wajahnya sudah rusak dan hancur.

"Ikutlah dengan ayahmu," kata neneknya mengusik permainan Melati bersama boneka kucing hitam bermata bulat itu. Wajah mungil dengan kulit sawo matang itu mendongak. Melihat senyum lelaki didepannya, Melati menghambur ke dalam pelukan. 
"Mengapa ayah semakin jahat? tidak pernah datang menengokku?" tanya Melati.
"Maafkan ayah, ibumu melarang ayah datang," jawab Gede.
Melati mendapati mata ayahnya yang basah. Menetes terus hingga Melati merasakan bagai hujan yang sedang mengguyur pertiwi. Ada rasa rindu menyeruak diantara kesedihan yang hadir.

Suara ambulance di desa yang sunyi itu mengalihkan perhatian Melati.
"Siapa yang sakit?" tanya Melati. Dipandangnya wajah sang ayah dengan penuh tanya. Gede memejamkan matanya dalam. Sangat dalam. Sebelum menjawab pertanyaan itu, dia berusaha menata nafasnya.
"Bapak Polisi menemukan ibumu di jalanan. Tempat dimana ayah mengambilnya dulu. Ibumu sudah meninggalkan kita." Gede memeluk putri semata wayangnya. Mereka hanyut dalam tangisan yang sama. 

Sekarang Melati mulai mengerti apa yang terjadi dengan kedua orang tua mereka. Ayahnya yang sibuk menafkahi keluarga tidak sekalipun mendapat balasan perhatian dari perempuan yang melahirkannya itu. Melati tidak pernah melihat ibunya merawat ayah, setia untuk tertawa bersama, dan memeluknya di waktu yang bersamaan. Pernikahan bukan hanya tentang uang dan hidup berkecukupan. Ada hati yang juga ingin dipuaskan.

Setelah upacara pengabenan ibunya selesai, Melati segera mengemas pakaiannya. Sudah bulat tekadnya untuk tinggal bersama ayah di Denpasar. Lagi pula kehilangan Si Manis membuatnya semakin kesepian, walau nenek sudah menggantinya dengan sebuah boneka. 

Sebelum Melati masuk ke dalam mobil, pandangannya direbut oleh kehadiran seorang perempuan tua. Perempuan sangat tua itu melangkah dengan tersuruk-suruk. Tubuhnya tampak kering dimakan usia. Wajah renta yang lekang hangus oleh matahari. Wajah dengan kulit yang melipat di sudut-sudut matanya.

"Berbaktilah kepada lelaki ini, jangan mengulangi kesalahan ibumu." suara neneknya membuat Melati mengangkat dagu.
"Dia bukan ayahmu. Ketika ayah dan ibumu menikah, engkau sudah berusia satu tahun." Neneknya mengusap rambut ikal gadis belia di depannya.
"Nenek tidak ingin membawa cerita hidupmu kedalam kubur." 







EmoticonEmoticon