Diganggu Cemburu

"Jangan terlalu dekat dengan Bli Nyoman ya, Mbok Tu!" kata Dewi, iparku paling bontot. Deg! jantungku rasanya melesat dari tempatnya nangkring selama ini. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit, seperti ditimpa plafon dapur tempat kami berdiri. Dewi memandangku jengah. Matanya menyala terang seakan ingin membakarku utuh. Aku tidak menjawab apapun. Hanya memberi anggukan. Ini bukan pertama kalinya aku menerima sikap sinis Dewi. 

Itulah hari terakhir aku ada di rumah mertua kami. Karena setelah ucapan panas pagi itu, aku segera mengemas barang-barang dan pakaianku. 

"Kita mau kemana, Bu?" tanya Raka, anakku. Mata lelaki berusia tujuh tahun itu menyipit. 

"Ikuti saja, nanti ibu ceritakan," jawabku sekenanya. Raka bagai kerbau dicocok hidungnya. Dia hanya mengikuti kemana kakiku melangkah. Garase motor tentunya. Syukurlah itu hari Sabtu, Raka tidak harus mengikuti kegiatan sekolah. Beruntung juga aku punya satu unit sepeda motor yang dibekali Bapak waktu Bli Wayan meminangku dulu . 

Sejujurnya aku bingung harus kemana. Kalau pulang ke rumah bajang, aku malu kepada adik lelaki dan ipar di rumah. Walaupun aku tahu mereka sangat menyayangiku, mungkin saja kehadiranku memberi beban buat mereka. Aku juga memikirkan kondisi ayah dan ibuku sendiri. Mereka akan sangat mengkhawatirkan aku dan putra semata wayang kami. Dengan langkah yakin aku memutar haluan motor menuju kantor suamiku. Siapa lagi yang harus aku tuju kalau bukan dia. Apalagi dalam keadaan seperti ini.  


"Tunggu ya, di sebelah kantorku ada kos-kosan sederhana. Tenangkan dirimu dulu, biar aku tengok kesana." kata Bli Wayan dengan lembut. Wajahnya masih seperti biasa, selalu tersenyum walau dalam keadaan apapun. Mungkin karena memang emosi suamiku yang sudah mapan, atau bentuk mukanya yang tidak bisa berubah. Entahlah...


Sudah dua bulan kami tinggal di rumah kos ini. Setiap ada yang bertanya, kami selalu membuat alasan tentang jarak rumah dan kantor suamiku yang cukup jauh. Alasan paling masuk akal dan cukup sopan untuk mengubur pikiran buruk. Dengan tinggal di kos, kesibukanku juga agak berkurang. Masak hanya untuk tiga mulut. Kamar hanya dua ruangan. Halaman sempit. Berbeda sekali dengan saat aku tinggal di rumah mertua. 

Suamiku bersaudara tiga orang. Yang tengah adalah perempuan dan sudah menikah ke daerah Pengabetan, Kuta. Jadilah kami tinggal bersama dengan adik bungsu suamiku dan istrinya. Mertua kami sudah tidak ada, bahkan aku hanya mengenal Ibu mertua saja. Setahun setelah melahirkan Raka, Ibu mertuaku menyusul suami tercinta. 

"Luh, siap-siap ya, kita harus pulang sekarang juga. Aku akan segera menjemputmu dan Raka," kata Bli Wayan sore itu. Di telepon genggam suara suamiku terdengar gusar. Karena suamiku adalah pemimpin regu dalam keluarga kecil kami, aku hanya mengiyakan tanpa bertanya apapun. Dari suaranya sudah terbaca jelas ada sesuatu yang sangat penting.


Isak tangis sudah terdengar keras dari gerbang rumah tua kami. Itu suara Dewi, iparku. Semakin lama suaranya semakin serak dengan teriakan melengking dan memekakkan telinga. Raungannya lebih mirip lolongan serigala. Walaupun aku pernah dibuat kesal, tapi melihatnya seperti itu hatiku hancur berantakan.

Setelah kepergianku, tidak ada yang telaten merawat Nyoman Bagia, suami Dewi. Kondisinya yang masih sakit setelah kecelakaan di Jimbaran membuatnya belum bisa kembali bekerja. Pertolonganku disalah artikan. Bantuan perawatan yang kuberikan dihantam kecurigaan. Hati yang cemburu hanya mampu melihat kebaikan sebagai muslihat. Dewi tidak salah jika terpaksa mencurigaiku. Kesibukannya menciptakan jarak. Mungkin jika dia mau bicara baik-baik, tidak ada hati yang harus menanggung luka.


Kami beranjak untuk mempersiapkan pemakaman.








EmoticonEmoticon