Catatan di Gunung Agung

EKSPEDISI JALUR TUA


    Aku tumbuh dari keluarga yang gemar traveling. Ayah dan ibu menurunkan darah itu kepada kami. Sejak kecil kami sudah terbiasa menjelajah pulau Bali dengan sepeda motor, mulai dari hanya dengan satu sepeda motor, hingga harus dengan dua sepeda motor karena sudah tidak cukup untuk empat orang dalam satu motor.

    Setelah menikah dan memiliki tiga anak, aku tetap mengisi waktu libur keluarga dengan memuaskan kegemaran itu. Anak ketiga kami pernah ikut menyeberang pulau Nusa Penida dengan boat kecil ketika berumur enam bulan. Keputusan untuk menginap semalam dan tidur di balik bangunan wantilan Pura Dalem Ped bukan tanpa pertimbangan. Hanya beralaskan tikar pandan, aku menyusui batitaku hingga terlelap di keesokan pagi. 

        Pada tanggal 18 Mei 2016 telepon genggamku berdering. Dari layar telpon aku membaca nama Odah Legian (nenek Legian), panggilan anak-anakku kepada nenek mereka.

"Sri, ibu dan bapak mau mendaki Gunung Agung tanggal 22 besok, kamu ikut ya!" ajak ibu. "Hah...! mendaki Gunung Agung?" aku balik bertanya. Ibu tahu betul aku suka bertualang. Sebelumnya kami sudah terbiasa mendaki bukit-bukit di beberapa tempat di Bali sambil memuaskan hasrat untuk bersyukur kepada Tuhan dengan mencapai pura-pura di ujung langit. Kali ini terasa agak berbeda. Tujuannya adalah gunung tertinggi di Bali. 

“Manfaatkan setiap kesempatan baik yang datang ke dalam hidupmu, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Kita tidak punya kuasa untuk masa depan.” kata ibu berusaha membuatku menjatuhkan pilihan kepada rencana itu. Malam itu aku katakan siap berangkat, tetapi akan minta ijin dulu kepada suami dan ketiga anakku. Mengajak mereka bertiga sudah tidak memungkinkan.

       Mendiskusikan rencana ini kepada anak-anak membutuhkan usaha lebih. Restu dari ketiga anakku jatuh menjelang hari keberangkatan. Aku yakin Tuhan punya rencana indah melalui ijin yang diberikan suami dan anak-anak. 


Dalam penanggalan kalender Bali, Sabtu, tanggal 21 Mei 2016 adalah bulan purnama. Hari baik untuk melakukan perjalanan spiritual. Sepulang dari kantor, aku bergegas mandi, memakai kain dan kebaya Bali. Setelah berpamitan, motorku melaju ke arah Legian Kuta. Tas ransel hitam milik Damar anak keduaku sudah tersangkut di punggung. Isinya hanya air putih, obat-obatan, kain pengganti dan sedikit perbekalan makanan. Jaket merah Bayu, anak pertamaku ikut menemani. Di rumah ibu, sudah siap empat orang temannya yang berusia sebaya beliau. Wah... ini ekspedisi kakek-kakek dan nenek-nenek. Aku adalah peserta termuda saat itu.




Sekitar pukul 16.30 Wita kami berangkat dengan tujuan kabupaten Karangasem, Bali, lokasi Gunung Agung berada. Perjalanan menjadi begitu menyenangkan karena teman-teman ibuku pandai bercerita, mulai dari kisah anak-anak, cucu, bahkan cerita dimasa muda mereka. Gelak tawa di dalam mobil membuat suasana menjadi hidup. Hampir tiga jam perjalanan dari kawasan Kuta, akhirnya kami sampai di Pura Pasar Agung, Desa Besakih, Karangasem, Bali. Kami tiba disaat gelap sudah mulai turun dan kabut menyelimuti seluruh areal kawasan hutan dan pura. Karena hari itu adalah bulan purnama, ada beberapa orang juga datang silih berganti untuk sembahyang di pura. Aroma dupa yang harum menerobos liang hidungku dengan bebasnya. Suasana yang hening dan kusyuk membuat hati tentram dan pasrah kepada Tuhan. Ibu mengajak kami segera menaiki tangga-tangga menuju areal utama pura. Napas yang terengah-engah membuat bibir mengepulkan asap. Yang pertama kami tuju adalah pemangku pura. Beliau menyambut kami dengan hangat. Istri dari pemangku pura menyuguhkan teh manis dan jajan pia Bali. Beliau sangat bersahaja. Ransel kami dikumpulkan di balai panjang.

"Kami senang menyambut kedatangan kalian." sapa beliau dengan santun. "Setelah selesai minum teh, persiapkan sarana sembahyang, mari saya temani untuk berterima kasih kepada Tuhan, karena semua sampai dengan selamat." lanjut beliau. Kami pun menurut dan larut dalam persembahyangan bersama.     

      Dingin mulai masuk ke celah-celah kain kebaya yang aku kenakan. "Saya mohon maaf karena tidak bisa menemani kalian munggah ke atas gunung. Ada pesamuhan desa yang harus saya hadiri besok pagi. Jadi kalian akan ditemani adik saya yang juga seorang pemangku, istrinya yang akan menjadi porter kalian, dan seorang pemandu yang akan menjadi leader kalian. Tongkat sudah saya siapkan ada di dapur pura. Sekarang istirahat dulu, pendakian dimulai jam 02.00 Wita," jelas beliau.

         Kami berkumpul untuk makan malam, dilanjutkan mulai mencari lokasi untuk tidur sejenak. Cuaca yang sangat dingin membuat kami tidak bisa terlelap. Kaos kaki segera membungkus kedua telapak kaki yang mulai kisut. Aku merasa was-was. Ternyata belum mulai mendaki sudah dingin sekali. Kami merasa tidak siap dengan peralatan yang seadanya. Kedua jemari tanganku kesemutan karena menahan dingin. Untuk menghangatkannya, Ibu segera mengoleskan minyak ramuan beliau. Ada ketakutan yang terbersit dalam pikiranku, jangan-jangan tubuhku beku di tengah pendakian. 

Jarum jam di balai panjang menunjukkan pukul 24.00 Wita. "Mari kita sembahyang dulu sebelum mulai mendaki!” Ibu kembali mengajak kami sembahyang di tengah malam purnama.








            Sekitar pukul 01.45 Wita pemandu kami datang. Sungguh waktu yang sangat singkat untuk dapat mendengar penjelasan dan arahan untuk pengalaman pertama ini. Kami benar-benar bermodalkan nekat. Kami berkenalan satu sama lain. Ada Jero Mangku pura bersama istrinya, dan Bapak Kadek yang merupakan leader kami. 

Sebagai persiapan terakhir, kami memeriksa kendi yang akan dipakai sebagai tempat penampungan tirta ( air suci ), yang akan kami ambil di atas gunung. Memastikan dua sesajen yang akan dijinjing Jero Mangku dan istrinya agar tidak tertinggal. Semua anggota ekspedisi juga sudah menggenggam tongkatnya masing-masing.

Tiba-tiba ibu Ketut Jati, sahabat ibuku berteriak. "Ya ampun, sandal saya putus!" teriaknya. Wah gawat, kami kebingungan. Tidak mungkin naik gunung tanpa alas kaki. Pemandu kami mengambil inisiatif untuk meminjam sandal dari penjual kopi yang ada di samping pura. Selalu ada pertolongan mengejutkan untuk orang yang tekun berusaha.

Tepat pukul 02.00 Wita dini hari kami berangkat. Menerobos hutan lebat dengan mengenakan kain panjang dan berkebaya. Beruntung ibu mengingatkanku mengenakan celana panjang di dalamnya. Suasana sangat sepi hanya terdengar desahan napas kami saat memijakkan kaki menaiki jalur tua itu. 

Beberapa kali wisatawan asing mendahului kami. Sebelumnya kami tidak bertemu dengan rombongan wisatawan asing itu di awal pendakian. Rupanya mereka mengawali pendakian dari arah Pura Besakih. Mereka bergantian melewati jalur kami dengan langkah kaki panjang. Beberapa penduduk lokal di kawasan Besakih berprofesi sebagai pemandu pendakian Gunung Agung. Lapangan kerja yang bagus dan sehat. 

Kami menyusuri hutan, bebatuan terjal dengan semangat. Beberapa kali sandal jepitku tersangkut di antara celah bebatuan muntahan gunung di tahun 1963, yang telah menewaskan ribuan orang itu. Sinar lampu senter seadanya membantu kami menempuh hingga seperempat perjalanan. 

Pendakian ini bertujuan memohon air suci di lokasi pura tertinggi, di gunung tertinggi dengan ketinggian 3.142 MDPL di pulau kami. Hal yang sama tidak akan dilewati para pendaki yang bertujuan wisata.

Tiba-tiba aku merasa ada mahluk berbulu lebat melewati kaki kanan bagian samping. Sejenak kuhentikan langkah. “Jangan kawatir, itu sahabat para pendaki disini.” kata Jero Mangku. Dengan bantuan cahaya rembulan dapat kulihat dua ekor anjing Bali sedang menemani pendakian kami. Warnanya hitam dan putih. Sungguh sebuah anugerah yang indah, walau akhirnya tidak kusadari kapan mereka berdua menghilang dari pandangan.

"Ini titik pertama. Semuanya agar terdiam, hening dan membaca tanda alam. Jika nanti terdengar gemuruh kilat dan petir tetapi tidak turun hujan, kita harus segera kembali turun. Itu pertanda dari alam bahwa di depan ada bahaya. Pendakian ini harus dihentikan sampai disini!" kata Jero Mangku. Mataku tertuju kepada sebuah gapura besar di depan sana. Aku heran, diatas gunung ada gapura?

Kami mengikuti saran dari Jero Mangku, larut dalam suasana meditasi di pura pertama. Suara angin menderu, gunung keramat ini ditangkup kabut. Bulan purnama memberkati kami dengan cahaya terang. Jika bukan karenanya, mungkin tebing-tebing dan jurang dalam itu akan diselimuti pekat. Pohon-pohon cemara dengan bahagia mempersembahkan kidung saling bersahutan. Ini pertama kali dalam hidupku tahu, jika pohon cemara dapat menyanyi dengan sangat indah dan merdu. Sunyi, hening, sepi. Hanya ada suara dari alam semesta. Jero Mangku memberi tanda bahwa keadaan aman. Pemilik tempat yang agung ini telah memberi restu-Nya. Bukan kilat dan gemuruh petir yang dihadirkan, melainkan keindahan. Kami sangat bersyukur bisa melanjutkan pendakian. 

Sesosok wanita tua tiba-tiba hadir diujung bebatuan di pinggir jurang. Tersenyum penuh kedamaian. Beliau berdiri di pinggir telaga kecil diantara tebing batu cadas. Ayahku menangis tersedu-sedu, menahan haru. Kami segera membuka sesajen yang terikat dalam besek dari bambu, menyalakan dupa, dan menyiapkan  bunga aneka warna. Semua bersimpuh memanjatkan doa dan rasa terima kasih, larut dalam syukur yang mendalam. Sungguh besar anugerah Tuhan kepada bumi ini. Dupa dan bunga-bunga yang harum semerbak menjadi sarana ungkapan keindahan dan rasa terima kasih kepada alam semesta. Melihat berkah Tuhan dapat dilakukan dalam keadaan suka maupun duka. Tetapi rasanya akan lebih agung ketika berkah itu kita syukuri dalam keadaan nyaman, hening, harum, dan indah. Itulah mengapa umat Hindu menjadikan bunga, api dupa, dan air sebagai bagian dari ungkapan bahagia mereka.


(Ini Photo Ibu saya, bukan ilustrasi perempuan yang hadir di pinggir tebing)


“Tidak baik berlama-lama diam dalam cuaca dingin,” kata Jero Mangku penuh isyarat. Kami mulai bergerak lagi, mendaki bebatuan untuk menggapai gapura di jalur yang tampak semakin indah. Hahhh…ternyata itu hanya sepasang pohon yang mirip gapura. “Penduduk disini meyakininya sebagai gerbang gaib Gunung Agung. Tidak semua orang mampu menangkap tanda-tanda alam, hanya kemurnian hati yang mampu menerimanya,” lanjut beliau.

            Kami dihadapkan kepada susunan bebatuan hitam terjal dan tajam, dengan jurang yang dalam di sisi kiri dan kanan jalur pendakian. Sejenak aku menoleh ke belakang. Tampak pemandangan kota Karangasem begitu indahnya dengan lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang di daratan luas. Sesekali dalam hidupmu cobalah memandang dari sudut yang berbeda. Ketika kau melihat gunung itu indah, maka gunung pun sedang memuji keelokan yang terhampar dibawahnya.  

“Ketika kita lelah dalam perjalanan, cobalah tengok pencapaian yang sudah dilewati. Disana kita akan merasa semakin kuat.” Pesan Jero Mangku memberi kami waktu menikmati hadiah menakjubkan ini.  

            Di tengah pendakian, Pak Nyoman, satu orang team kami mulai demam. Suhu tubuhnya terus meningkat. Dengan persediaan obat-obatan di ranselku, Paracetamol segera menghuni lambungnya. Pemandu meminta untuk bertahan sebentar agar mendapat lokasi terbaik beristirahat. 

Tiba-tiba hujan gerimis turun, suara nyanyian daun cemara yang dilalui angin menderu semakin keras. Di bawah rintik hujan aku memeluk batu-batu besar yg kulewati, bagai sedang memeluk kuat-kuat gunung itu. Aku salut kepada keenam peserta lain. Ibuku yang berusia enam puluh tiga tahun, ayah enam puluh tujuh tahun, dan teman-teman beliau yang sebaya.

Belum pernah aku merasakan kepasrahan akan jiwa seperti saat itu. Suara radio pemandu yang ada di depan menjadi panduan jarak antara satu dengan lainnya. 

Pada ketinggian berikutnya, satu peserta  lagi tidak dapat melanjutkan pendakian. Jari jemari kaki ibu Kol, teman ibuku mendadak kaku dan sulit digerakkan. “Sepertinya asam urat saya kambuh!” kata ibu Kol sedih. Jero Mangku berusaha menghibur. “Jangan menyesali sebuah rintangan, mungkin dia hadir untuk menolong,” kata beliau dengan arif.

            Suara ayam hutan saling bersahutan menyambut kami. Langit di ufuk timur mulai memerah. Pertanda pagi akan tiba. Suara para penghuni gunung mulai terdengar sahut menyahut seperti di kebun binatang. Sungguh indah. Kami tiba di lokasi landai pertama tempat pendaki mendirikan kemah seadanya jika diperlukan menginap/beristirahat. Kami bertemu sepasang suami istri wisatawan dari Jerman. Mereka mengundang tubuh kami menikmati hangatnya api unggun. Kami juga disuguhkan teh hangat, dan coklat penambah kalori. Berkenalan dengan Fred dan Ferelly sangat menginspirasi kami untuk bersikap sabar akan pendapat seseorang.



(Dalam photo atas, tampak dua wisatawan Jerman dengan baju hitam) 


Dua orang teman kami, Ibu Kol dan Pak Nyoman terpaksa berhenti sampai di titik ini. Setelah memastikan mereka dalam keadaan aman dan nyaman, kami menitipkan mereka berdua kepada pelukan hangatnya api unggun.

            Jalur yang dilalui semakin sempit dan terjal, sampai kami tiba di pura yang menjadi tujuan utama. Tangis haru pun pecah. Kami bersyukur akan kebesaran Tuhan. Sebelum mencapai tempat ini, dia telah kujelajahi dalam mimpi sebelumnya. Luar biasa, terkadang semesta memberimu pesan lebih awal untuk sebuah kejadian.

            "Terima kasih Tuhan!" kata-kata itu meluncur tiada henti. Di belakang kami bebatuan tampak seperti kain putih dibentangkan turun dari atas gunung. Aliran lava letusan gunung keramat ini di waktu yang lampau. Sembahyang menjadi sungguh istimewa. 

“Tuhan memberkati pendakian suci ini, beliau melimpahkan air suci yang keluar dari sela-sela tebing terjal. Beberapa kali ada yang mendaki, mendapati tebing yang kering, bahkan setetes air pun tidak mengalir!” cerita Jero Mangku. 

Setelah selesai memohon air suci dan sembahyang kami memutuskan kembali turun. Walaupun ada rasa penasaran yang amat sangat, ingin memandang kawah gunung, tetapi kami tidak punya pilihan lain selain kembali. Ada dua kawan yg sedang sakit dengan sisa perbekalan yang mulai menipis membuat kami memutuskan segera turun.

    Mencapai tempat yang lebih rendah sama berbahayanya dengan mendaki. Semua punya tantangannya masing-masing. Ketika mendaki kita digoda oleh kesombongan akan pencapaian, maka ketika melewati  jalur turun kita diganggu oleh hasrat ingin segera sampai. Ini membuat kita menyalahkan kaki yang susah direm. Kondisi ini menjadikan kami agak terpisah jarak beberapa meter satu sama lain. 

Diantara pepohonan dan tebing terjal tiba-tiba aku mendengar suara bersamaan antara raungan tangis dan minta tolong. "Tolongggg...! Huuuu...huuuu... tolong!" Dari suaranya, itu adalah suara dan tangisan ibu Ketut Jati. Aku mendadak merasa ketakutan. Jangan-jangan Ibu Ketut Jati masuk jurang. 

“Siapkan tali panjang kita!” seru Jero Mangku kepada istri beliau. Ingatanku mulai memberi imajinasi berita-berita di koran, jika beberapa  pendaki sebelumnya ada yang jatuh ke jurang, tewas, dan hilang.

            Badanku bagai tertimpa batu besar ketika sampai di lokasi asal teriakan tadi. Ibu yang melahirkanku tergolek lemas dipapah bapak. Ibu mengalami hipotermia. Denyut nadinya tidak teraba, wajahnya pucat pasi, tidak bergerak dan setengah badannya membiru. Kami berteriak-teriak agar ibu bertahan. Kondisi panik melanda. Secara bergantian kami memijat ibu.

"Tuhan, jangan ambil ibuku sekarang!" hanya itu doa yang bergaung di dalam hatiku. Aku meminta pemandu kami memanggil team SAR. Mereka berusaha menenangkan.


"Kita berusaha dulu menyadarkan ibu!" kata Pak Kadek, pemandu kami. Lima belas menit berikutnya ibu mulai sadarkan diri. Pemandu segera memberikan ibu minum dan memaksa ibu makan pia agar ada energi. Karena tidak ada tandu, ibu menuruni terjalnya bebatuan dengan dipapah pemandu kami. 

Dalam perjalanan turun kami terus menerus berdoa agar ibu selamat. Di tengah pendakian turun, kami menjemput kembali dua rekan yang memutuskan menyudahi pendakian. Kondisi ibu semakin lama semakin membaik sampai di areal Pura Pasar Agung, tempat kami berkumpul diawal.       

          Perjalanan spiritual ini meninggalkan kesan yang tidak terlupakan. Pendakian yang mengajarkan kami untuk memberi persiapan lebih baik untuk pendakian berikutnya. 

“Bertahanlah, Pak. Semangat ya, Bapak harus sembuh. Ingat, kita akan mendaki Gunung Batur bersama-sama.” Aku berusaha menguatkan Bapak, ketika setahun kemudian Bapak terbaring di ranjang rumah sakit. 

Dalam keadaan lemah tak berdaya, Bapak memintaku mendekatkan kuping kanan ke bibir beliau. “Sri, bapak tidak akan pernah benar-benar meninggalkanmu!” pesan bapak sebelum menutup mata untuk selamanya. Aku sangat mencintaimu, Pak !

 


EmoticonEmoticon