Setangkai Kamboja di Pemakaman

Setangkai Kamboja di Pemakaman



        “Pergilah dengan damai dan nikmati kebebasan yang sudah lama Kau nantikan,” bisikan penuh kasih sayang itu terbang menghampiri telinga yang telah lama mati. Perempuan dengan wajah pucat terbujur kaku di atas bale-bale rumah itu masih menyuguhkan senyum sejak hembusan napas terakhirnya.

Beberapa keluarga mulai berdatangan menyampaikan bela sungkawa. Raut muka sembab menyiratkan sisa tangisan yang baru saja disudahi. Sebagian besar dari mereka lebih memilih tidak bertanya tentang jasad pucat yang ditutupi kain batik bercorak burung cendrawasih. Para tetangga ataupun kerabat yang datang merasa jika diam jauh lebih baik daripada melempar tanya yang sangat mungkin mengundang luka sang empunya rumah.

        “Dimana anak dan suaminya?” Pak Hasan menepuk pundak Desti. Orang-orang menoleh kearah datangnya suara. Satu-satunya yang membuka mulut itu adalah Ketua RW setempat.

        “Belum kembali dari Singapura. Mereka akan segera tiba dengan penerbangan terakhir malam ini,” Hening menjawab pertanyaan itu dengan wajah datar. Semua kembali terdiam, sementara langit semakin gelap digelayut mendung.

Lantunan doa-doa dan ayat suci mulai terdengar. Cuaca redup masih menguasai. “Aku cemburu kepada awan gelap itu, sungguh bahagia mereka berarak bebas di langit luas. Mengikuti angin yang membawanya berkelana. Jatuh ke bumi ketika dia menginginkannya,” Hening bergumam sambil menggenggam setangkai bunga Kamboja putih.

“Apa katamu?” tanya Desti dengan wajah kesal.

“Aku cemburu kepada awan gelap itu!” suara Hening mengejutkan para pelayat. Membalas pertanyaan Desti dengan raut kecewa, tanpa menoleh kepadanya. Serentak mereka yang mendengarnya mengalihkan pandangan pada kedua perempuan yang sedang berduka dibalik kerudung hitam.

“Diam Kau! Setelah pemakaman adikmu kita bicara!” hardik Desti kesal. Terbaca jelas jika perempuan itu marah karena Hening mulai menunjukkan keberanian melawannya.

“Baiklah! Aku pun bosan mengikuti maumu!” Hening mengangkat kedua kakinya dan pergi menuju ruang keluarga. Tangisannya kembali pecah. Tak seorang pun menyadari jika itu adalah luapan rasa tertekan yang bertahun-tahun sudah membelenggu hidupnya. Beberapa kerabat mendekati dan mengusap-usap lengan Hening. Berusaha mengingatkan jika tidak ada kehidupan yang abadi di dunia ini. Jika sesungguhnya tidak ada sesuatu yang benar-benar kita miliki seutuhnya. Rasa Ikhlas akan mendekatkan sedangkan penguasaan justru menjauhkan. 

            Seminggu telah berlalu sejak pemakaman Indah usai dilakukan. Hening mengemasi barang-barang, menurunkannya dari lantai dua dan meletakkannya di teras depan.

“Mau kemana?” tanya ibunya dengan raut muka heran.

Rupanya Desti telah menunggu keberanian Hening disalah satu kursi teras yang terbuat dari kayu cempaka.

“Aku tidak mau bernasib sama dengan adik perempuanku.” Hening menghempaskan tubuh pada kursi di samping Desti.

“Mengapa Ibu melahirkan kami?” Hening setengah berbisik.

“Pertanyaan apa itu?” Desti balik mengangkat kedua alisnya hingga berkerut hampir menyambung antara yang kiri dan kanan.

“Kau tidak menginginkan kami, jadi kupikir lebih baik aku pergi dengan baik-baik. Ahhhh, Ayah dan Indah pun sebenarnya pergi dengan baik-baik juga. Tapi aku tidak mau mengikuti cara mereka. Aku punya caraku sendiri.” Hening menarik kedua sudut bibirnya dengan berlawanan arah yang membentuk senyum getir. Senyuman yang hanya mampu dipahami olehnya sendiri.

         “Ayahmu hanya seekor buaya darat!” wajah Desti datar

         “Mungkin Ibu yang membuat Ayah berganti rupa. Pernahkah terpikir seperti itu?”

            Desti merasa pipinya ditampar keras oleh seorang perempuan muda yang dia lahirkan di masa lalu. Darah mengalir deras ke ubun-ubun yang mulai tipis. Sebagian rambut yang dulu lebat dan hitam legam telah memilih untuk merontokkan helainya. Pilihan yang terpaksa mereka lakukan karena lahan tempatnya bergantung semakin kering dari cinta.

            “Mungkin saja,” desis Desti pelan. Dengan penuh perjuangan dia mengumpulkan tenaga untuk melembutkan nada suaranya.

            “Sepertinya ini hari yang baik untuk kita berdua. Aku tidak mau kehilangan kesempatan emas ini. Sekarang hanya ada engkau dan aku. Singkirkan status ibu dan anak. Kita adalah dua sejawat yang lama tidak berjumpa,” Hening semakin rileks.

Ini kali pertama ia  dapat berbincang dengan lebih landai. Waktu yang tepat untuk bicara dengan wanita yang selama ini terlihat asing dimatanya. Wanita yang kerap menguasai medan percakapan hingga suaranya lebih terdengar sebagai perintah.

            “Kemana tujuanmu setelah ini?” tanya Desti polos.

            “Aku pun tidak tahu. Yang ada dalam pikiranku hanya keluar dari rumah ini terlebih dahulu. Nanti akan kupikirkan di jalan. Lagi pula untuk apa Ibu mengetahuinya. Setahuku Ibu hanya mementingkan pikiran dan perasaan diri sendiri saja,” Hening memperbaiki rambutnya yang dipermainkan angin sore.

            “Semoga Engkau berhasil mencapai harapanmu. Tapi sebaiknya pastikan dulu tempat yang akan kau tuju. Sebuah rumah kos? Atau kontrakan? Terserah. Yang penting kau ada di tempat yang aman.” Desti getir.

            Hening memandang lekat wanita asing disampingnya. Dia bukan Desti yang dikenal selama ini. Wajahnya masih tidak percaya dengan perubahan sikap ibunya sendiri.

    “Sejak kapan Ibu berpikir tentang kebaikanku?” Hening mengungkapkan rasa penasarannya akan sikap Desti.

            “Sejak Ibu merasakan gerakan pertama kalian dalam rahim, yang bentuknya kini semakin menyusut.” Desti semakin lunak.

            “Pernahkah kau katakan hal ini kepada Indah?” Hening makin tidak percaya.

            “Belum sempat kulakukan. Dia keburu sakit lalu pergi. Tidak ada kesempatan lagi untuk bertutur dengannya. Ibu sangat menyesalinya, dan tidak ingin mengulang cerita yang sama kepadamu.”

            Hening merasa tubuhnya terangkat keatas. Perempuan dua puluh lima tahun itu merasakan dirinya melayang-layang menerima siraman cinta yang lama tidak dia dapatkan. Kehilangan Indah bagai momentum besar dalam perubahan pandangan Desti. Semua terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. 

       “Mengapa baru kudengar semuanya hari ini, Bu?” Hening memanfaatkan waktu yang masih tersisa, sebelum dia pergi dari rumah. 

            “Sebaiknya kita tidak membahas tentang masa lalu. Kita tidak dapat merubah yang sudah terjadi,” Desti melipat kedua tangannya di dada sambil menghembuskan napas berat.

            “Masa lalu tidak bisa di rubah, tapi masa depan bisa diperbaiki,” Hening bangun dan mengangkat kursi yang sedang dia duduki. Perlahan memindahkannya kedepan kursi yang dipakai Desti. Tubuhnya makin merendah, kembali meletakkan pantatnya di kursi yang sama. Kedua tubuh ibu dan anak itu kini berhadap-hadapan.

            “Masa depanku sudah lenyap bersama kepergian Indah. Masa depanmu yang masih panjang. Temuilah adik iparmu. Peluk cucuku yang sudah dia rawat selama ini. Aku bersalah kepada mereka semua. Egoku membuat Indah pergi dalam kesepian yang dalam. Sekarang baru kusadari jika akulah yang memisahkan keluarga kecil itu.” Desti menutup kedua matanya dalam-dalam.

            “Kesepian sudah menjadi derita yang paling mengerikan. Bukannya menolong Indah yang tidak berdaya, aku justru membawanya kedalam kubangan yang sama. Aku merasa sangat bersalah kepada Eva. Dia akan mengenangku sebagai seorang nenek yang jahat.” Desti menitikkan air mata.

            Sore kembali sepi.

            Hening mulai bimbang antara meneruskan rencananya untuk pergi atau meneruskan perbincangan menarik itu. Dia belum mendapatkan jawaban atas perubahan sikap perempuan keras kepala yang ada dihadapannya. 

            “Ibu juga memisahkan aku dari Teguh!” Hening menatap lekat.

      “Kami masih saling mencintai. Dibelakangmu, kami melakukan pertemuan. Ibu tidak bisa mengurungku selamanya. Imajinasiku berkeliaran dijalanan. Mimpi kami tetap membara. Bukankah semua nasib ciptaan kita sendiri? Lalu mengapa keyakinan Teguh mengganggumu?” Hening kembali bersuara.

            Desti diam membisu. Ingatan melayang jauh kebelakang.

          “Indah mencintai suami dan anaknya. Singapura bukan negeri yang jauh. Hati Ibu yang jauh. Indah berhak menentukan nasibnya sendiri. Dekat dengan keluarga kecil yang dia cintai. Indah juga…,” belum selesai Hening melanjutkan.

           “Sudahlah! Dia sudah dimakamkan. Biarkan aku yang menanggung semuanya.” Desti menepuk dadanya sendiri.

         “Bukan Bu, yang menanggung sikap Ibu adalah Eva. Bersama waktu dan kesibukannya, Ayah Eva mungkin akan melupakan Indah. Tapi Eva… Dia akan mengenang Indah disepanjang napasnya. Merindukan wajahnya, suaranya, aroma tubuhnya, rindu semua dekapan Indah.” Hening bangun dan merapikan tas-tas bawaannya.

            “Aku yang paling tahu bagaimana cara menjaga Indah. Hanya Aku yang mampu merawatnya dari penyakit itu!” Desti mulai terisak.

            “Indah sudah berhasil melahirkan seorang Eva. Tidakkah itu cukup bagimu? Kalau memang Ibu yang paling hebat, lalu mengapa Indah mati juga?” Nada meninggi membulatkan tekad Hening untuk pergi. 

Rupanya kesadaran Desti belum cukup untuk menahan satu anaknya yang lain. Hening pergi membawa tas-tas yang berisi beberapa helai pakaian dan keperluan pribadinya ke ujung gang. Menjumpai seseorang yang sudah menunggunya dengan sabar. Baginya nasib adalah pilihan. 

Bunga-bunga kamboja bermekaran di halaman rumah yang didominasi warna putih. Semenjak kepergian Hening, lima tahun terasa melaju dengan lambat. 

"Tendang yang kuat, Nek!" teriakan Eva membuat Desti makin semangat. Dengan terhuyung Desti mengejar bola yang dilempar Eva, kemudian menendangnya hingga terjungkal. Eva tidak mampu menahan tawa. Terpingkal-pingkal melihat neneknya jatuh bermandi debu. Mereka bermain dengan bahagia. Tawa canda membuat rumah berkilauan cahaya. Panji yang sedang sibuk di dapur samping tersenyum simpul melihat tingkah nenek dan cucu itu.

"Heningggg! masuklah!" suara Panji memecah lamunan Hening yang berdiri mematung dibalik pagar rumah yang rendah. Hening tidak tahu harus berkata apa. Panji segera mematikan kompor yang sedang menunaikan tugasnya. Sambil berlari kecil Panji mendekati Hening yang masih diam seribu bahasa.

"Heiii... darimana saja Kau? kita ngobrol di dalam yuk!" Panji merayu adik iparnya. Hening masih diam. Tidak satu kata pun meluncur dari bibirnya yang ranum.

"Semua merindukanmu. Aku lagi masak nasi goreng dengan sosis ayam. Kamu pasti suka. Ayolah!" Panji masih berusaha. Dia menggaet lengan Hening lalu menariknya ke arah pintu masuk sambil mengecup kening Hening dengan lembut.

Hening menghembuskan napas lalu tersenyum.

"Kita harus menahan diri. Setelah ini akan ada banyak waktu. Aku tidak percaya dengan semua yang terlihat hari ini. Aku terlampau bahagia." Hening berbisik pelan dan lembut, membuat Panji tersenyum lebar.

"Masuklah dulu, Tuan Puteri. Ijinkan hamba melayanimu!" Panji menundukkan kepalanya. Hening terkekeh kegirangan.

"Rupanya setelah seminggu kalian disini menemani Ibu, ada banyak perubahan yang sudah terjadi. Lalu bagaimana caranya menyampaikan tentang rencana kita?" Hening mulai menggelayut di lengan Panji yang kekar. 

"Sabar, Sayang! Kita akan menemukan cara yang tepat." Panji merangkul Hening dengan hangat.

Di halaman rumah, Eva dan Desti menyudahi permainan. Mereka memandang kearah Panji dan Hening yang tampak mendekat.

"Mamaaaaa!" teriak Eva sambil berlari kegirangan. Sudah setahun terakhir dia mendekap Hening seperti layaknya memeluk Indah.





 


EmoticonEmoticon