SUAMI ISTRI (JANGAN) JADI PELUPA

SUAMI ISTRI (JANGAN) JADI PELUPA

 

Apa yang terbayang di kepala sepasang manusia yang memutuskan untuk mengakhiri masa pacarana mereka ? 

 

Betul 1000% !!!

 

Hidup bersama yang dalam bayangan adalah tertawa, memadu cinta, saling melengkapi, saling mengisi, kemana-mana ada yang menemani, mau ngapain aja ada yang barengin, butuh bantuan tinggal ngomong, tidak kesepian lagi, dst.

 

Apakah bayangan itu salah? 

Tentu tidak. Justru bayangan itulah yang harus dipupuk terus. Bayangan kebahagiaan berumah tangga. Semua mahluk menginginkannya. Semua berharap bahagia dan berusaha untuk mencapainya. 

Hanya saja di dunia ini tidak ada yang gratis. Tidak ada yang sempurna tanpa cela sedikit pun. Tidak ada manusia yang setiap hari akan bersikap konstan dengan emosi mereka. Setiap detik manusia dipengaruhi oleh suasana hati dari dalam, kondisi fisik yang sangat mungkin berubah-ubah, pengaruh lingkungan luar, dll. 

Manusia tetaplah hanya salah satu mahluk penghuni jagat raya dengan segala keterbatasan mereka. Manusia bukan robot yang bisa diprogram oleh manusia lainnya. Manusia adalah mahluk sosial yang butuh berinteraksi dengan lingkungan mereka. Jika disaat sendiri kita yang menjadi penentu segalanya, maka ketika hidup bersama dengan pasangan, hidup menjadi tanggung jawab berdua. Semua pasangan harus melewati proses yang panjang, terus menerus, dan berkesinambungan.

 

Yang menjadi pemenang dalam hidup adalah orang-orang yang mampu melewati proses itu dengan baik. Jika melihat sepasang suami istri masih bertahan hingga tutup usia dimasa tua mereka, yakinlah ada banyak cerita dalam hidup mereka. Cerita yang tidak selalu mereka ungkapkan keluar rumah. Cerita yang tidak selalu nampak sehingga tidak pernah tercium dari luar. Cerita yang berhasil mereka atur sedemikian rupa agar menyisakan bagian-bagian yang menyenangkan dan berusaha melupakan bagian-bagian yang sedih.

 

Mengapa mereka berhasil tetap bersama?

Teorinya adalah karena mereka memutuskan menjadi pasangan yang berani untuk menerima setiap tantangan yang datang, melewati proses bersama-sama dengan lapang hati, ikhlas menerima semua kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mau berubah menyesuaikan dinamika perkembangan dalam hubungan. 

Mereka bersedia dan mau mengubah diri dari sikap bagai penumpang yang ketakutan, menjadi pengemudi yang berani untuk menentukan jalan takdir mereka sendiri.

Sepasang suami istri menjadi penumpang dalam rumah tangga mereka ketika masih mengijinkan interupsi-interupsi dari luar masuk ke dalam. Pendapat orang tua, ipar, saudara, ataupun keputusan-keputusan kecil dalam hidup yang masih diatur oleh ibu mertua, Paman, bibi, dst. Awalnya terlihat sepele, tetapi ketika itu terjadi bertahun-tahun secara terus menerus maka hubungan menjadi bom waktu yang menunggu waktu lemah untuk meledak. Mereka terjebak dalam pola-pola perilaku tidak sadar yang kemudian menjadi kebiasaan dan melekat sebagai karakter. 

 

Ketika “dunia hanya milik berdua” maka area akan menjadi lebih sempit tetapi luas. Sempit karena tidak ada banyak campur pendapat yang lain. Luas karena ada kebebasan untuk mencapai hal-hal besar dalam sebuah perkawinan. 

 

Hal yang harus disadari selanjutnya adalah kemampuan masing-masing pihak untuk tidak berusaha merubah pasangan menjadi sesuai keinginan sendiri. Ada hasrat untuk menguasai dan mengendalikan pasangan. Memaksakan pikiran/metode sesuai keinginan sendiri. Meletakkan ekspektasi tinggi kepada pasangan tanpa menyadari kemampuan masing-masing pihak. Sikap menggantung mood pribadi kepada sikap dan perilaku pasangan kemudian sering melontarkan ucapan, “Gara-gara pertanyaan kamu suasana jadi rusak!”

 

Apakah semua bisa dilalui?

Tentu saja bisa jika kedua pihak mau sadar untuk “keep in touch”

Tidak meninggalkan komunikasi dengan alasan sibuk dan tidak punya waktu. Karena sesungguhnya semua hanyalah tentang prioritas. Sesekali tidak sempat berkabar karena sedang diburu waktu tentu bukan sebuah hal besar yang kemudian menodai hubungan. Kebiasaan meninggalkan dan meremehkan komunikasilah yang akan merusak hubungan.

Jika tiba-tiba “sepi” sebaiknya dicari tahu penyebabnya dan bukan melontarkan kesalahan kepada sikap pasangan.

 

Sesekali menolak bercinta (padahal secara kasat mata sudah terlihat pasangan sedang kelelahan) bukanlah hal yang perlu dibesar-besarkan. Setiap ditawari selalu menolak itulah yang menjadi masalah dan harus segera dicari tahu alasannya. Komunikasi ternyata memang  menjadi alat paling penting.

 

Tidak lupa mensyukuri semua nikmat Tuhan menjadi syarat berikutnya. 

Terkadang ada seorang suami lupa bersyukur ketika bisa bekerja dengan tenang disaat rumah dan anak-anak sudah baik-baik saja, kemudian lupa peran seorang istri yang jatuh bangun merawat “kondisi” itu. Merasa jika sebagai pencari nafkah adalah pengorbanan terbesar dalam rumah tangga. Keakuan muncul menggoda untuk memberi reward kepada diri sendiri dengan cara yang tidak elok. Lupa jika perempuan juga bisa mencari nafkah jika ada kesempatan yang sama.

 

Atau seorang istri yang lupa bersyukur jika ada suami yang sudah menjaga kelangsungan hidup keluarga. Hidup yang nyaman membutuhkan materi yang cukup. Ada banyak yang harus dibiayai dalam sebuah keluarga. Bagaimana jadinya jika harus menanggung tanggung jawab itu sendiri. Merawat rumah dan keluarga sekaligus membiayai semua kebutuhannya.

 

Karma dalam berumah tangga tidak berhubungan dengan pahala yang terus menerus dihitung ataupun hukuman-hukuman dari perilaku yang salah sebelumnya. Karma sepasang suami istri adalah tindakan itu sendiri. Bagaimana mereka memutuskan untuk sadar akan diri sendiri, menerima diri sendiri, dan mau merubah diri menjadi lebih baik.

 

Menjadi pembicara hebat bisa dilakoni semua orang, tetapi menjadi pendengar yang baik membutuhkan kesabaran dan keluasan hati. Ilmu dan pengetahuan sangat penting tetapi tindakan menjadi kunci keberhasilan.

 

Mari terus belajar dan selamat berbahagia .

 



EmoticonEmoticon