KETIKA MENIKAH MENJADI SEBUAH PILIHAN























PERNIKAHAN NGERI-NGERI SEDAP

 

Jika setiap pasangan yang telah menikah diberi pertanyaan, apa yang mereka tahu tentang kehidupan pernikahan mereka selama ini. Saya yakin semua yang sudah pernah menikah akan berpendapat jika hidup bersama dalam sebuah pernikahan tidak setiap saat seindah dalam cerita dongeng.

 

Lalu mengapa orang mau menikah? 

Mengapa seringkali kita mendengar pertanyaan, sudah menikah? Kapan menikah? Mengapa tidak menikah? dan seterusnya.

Sebagian besar orang bahkan menjadikan menikah sebagai salah satu rencana hidup yang diusahakan. 

 

Kita dihadirkan ke dunia dengan tujuan untuk terus berusaha mencari dan menemukan. 


Apa yang harus dicari? Apa yang harus ditemukan?

Tentunya pertanyaan seperti itu akan bermunculan ke permukaan. 

Kelahiran setiap jiwa ke bumi ini mempunyai misi mereka masing-masing. Sayangnya kita tidak mampu menyadarinya langsung ketika pertama kali menghirup udara bebas setelah sembilan bulan dalam kandungan ibu. Didalam perjalanan kita terus belajar, beradaptasi, mencari jawaban dari setiap pertanyaan yang hadir. Sampai pada akhirnya kita akan menyadari ternyata tujuan itu adalah untuk menemukan jati diri kita sendiri. 

 

Pernikahan bisa menjadi salah satu tempat untuk menemukannya. Catat ya, salah satu tempat!

Karena itu sebagian besar orang meyakini bahwa pernikahan adalah ibadah. Sebuah sekolah yang tidak pernah selesai.

Ketika perjalanan itu telah dimulai jangan sampai lupa diri dan semakin jauh dari tujuan untuk menemukan jati diri. 

 

Ada beberapa hal yang harusnya dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah. Semua bertujuan untuk mendapatkan pernikahan yang lebih baik dan sesuai harapan. 


Hal pertama yang harus disadari adalah ketika kita menikah dengan pasangan, maka kita juga secara otomatis “menikah” dengan keluarga pasangan. Menikah dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak selalu sesuai dengan keinginan kita, menikah dengan karakter yang aslinya baru terpampang nyata setelah hidup bersama.

Apa jadinya jika kita menyadari hal itu setelah menikah? Pastinya rasa tertekan akan menguasai kehidupan kita. Merasa dipaksa untuk menerima atau justru merasa harus menyelamatkan diri dengan cara menjauh dari "atribut" yang melekat pada diri pasangan. Keluarga besar pasangan, misalnya.

Tidak sedikit yang memilih pergi merantau, membatasi diri untuk berkomunikasi dengan keluarga pasangan, menjaga jarak aman, pura-pura sibuk, dan lain sebagainya.

 

Setelah memasuki area pernikahan akan muncul banyak pengalaman baru. Kita tidak lagi menjadi individu yang bebas memutuskan segalanya sendiri. Ada pihak lain yang harus kita pertimbangkan pendapatnya, ada kepentingan lain yang harus kita pahami dengan lebih bijaksana. Komunikasi menjadi kebutuhan yang sangat vital. Tanpa pemahaman yang sama, mustahil bisa berjalan dengan nyaman.

 

Bisa dibayangkan jika seseorang menganut paham egosentris maka usia pernikahan sudah dipastikan hanya seumur jagung. Tidak ada satu orang pun di dunia ini ingin hidup dalam tekanan, dipaksa untuk mengorbankan hati dan pikiran, tubuh dan jiwanya hanya untuk kepentingan dan kesenangan yang lain/pasangan.

 

Setiap pernikahan adalah unik. Kita tidak bisa membandingkan hidup pernikahan satu pasangan dengan pasangan lainnya walaupun tantangan yang mereka hadapi hampir mirip. Semua pasangan yang menikah selalu dihadapkan dengan peluang bersama anak-anak mereka, mertua, ipar, keluarga besar, dst.

 

Dunia ini seimbang. Begitupun pernikahan. Disaat kita kehilangan sesuatu maka kita pun akan mendapatkan hal yang lain. Karena hukum pertukaran tetap abadi sampai detik ini. Untuk mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan, maka kamu harus rela untuk melepaskan sesuatu yang lain. Yang harusnya dipelajari adalah bagaimana caranya kita untuk melepas tanpa merasa kehilangan. Menerima tanpa merasa menguasai.

 

Hanya karena sebuah pernikahan terlihat baik-baik saja bukan berarti tidak ada persoalan yang terjadi di dalamnya. Terkadang ada orang-orang yang menolak ingat akan keberadaan hukum ini. Mengira bahwa kita bisa mendapatkan semuanya tanpa usaha (apalagi gratis).

Kita akan menerima segala sesuatu setara dengan yang kita berikan. 


Setiap pernikahan membutuhkan keluasan hati. Pernikahan mampu membelokkan arah dan kebiasaan hidup seseorang. Bisa dibayangkan ada berapa banyak perempuan-perempuan yang mempunyai gelar sarjana harus melepas pekerjaannya demi keluarga mereka. Memilih untuk menjadi sopir pribadi anak-anak, menjadikan dapur  dan halaman rumah sebagai tempat berkarir tanpa gaji dan jatah cuti. Parahnya masih saja ada pasangan yang cepat merasa tidak seberuntung orang lain. 

 

Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Tetaplah waras, Bro!

 

Menjalani hidup jangan sampai membuat kita lupa diri. Tetaplah awas dan sadar. 


Jangan melepas banyak hal untuk mendapatkan sebuah tujuan yang tidak jelas. Rela menukar apa yang sudah ada dalam genggaman dengan hal-hal yang belum tentu baik untuk kita.

Menukar waktu bersama anak2, istri, keluarga, diri sendiri untuk hal-hal yang tidak sepenuhnya menguntungkan. Karena waktu yang sudah berlalu tidak bisa diputar ulang. Kita tidak bisa kembali ke titik semula.

 

Susah dan senang adalah dua hal yang selalu bergandengan tangan. Setiap kebahagiaan selalu  menyimpan sisi sulitnya sendiri. Dalam rumah tangga tanpa “kekerasan” sekalipun, pernikahan tidak melulu dipenuhi moment-moment bahagia. 

Kita tidak bisa menilai sebuah pernikahan adalah gagal atau tidak hanya karena pernah terjadi pertengkaran atau perbedaan pandangan.

Terkadang kesalahan terbesarpun masih mereka toleransi demi sebuah tujuan besar yang lainnya.

Selalu ada masa-masa romantis, tetapi juga ada saat kita merasa jengkel, kesal, marah, kecewa, dan terluka. Entah dengan pasangan, keluarga, dll. Sekaya apapun seseorang, ada saatnya dia sesekali merasa kurang. Sebahagia apapun seseorang pasti pernah diterpa luka dan rasa duka.


Begitulah hidup. 

 

Ketika seseorang mendapatkan sesuatu dibawah ekspektasi, maka yang hadir menyelinap itu adalah rasa kecewa. Menjadi kecewa itu biasa sepanjang kita mampu mengelolanya dengan baik. Istilah anak muda sekarang jangan mudah baper (terbawa perasaan). Keahlian ini memang membutuhkan latihan berkali-kali, tetapi bukan berarti tidak bisa.

 

Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Sesekali membuat keputusan yang salah adalah wajar selama tidak melakukannya berkali-kali. Mengikuti google map juga terkadang dibuat nyasar. Yang semestinya disadari adalah memaafkan itu ternyata berbeda dengan menyembuhkan luka. Disaat pasangan kita sudah memutuskan untuk memaafkan, maka bantulah dia untuk menyembuhkan lukanya. 

 

Pasangan yang menolak sebuah saran bukan berarti dia berani menentang.  Menolak tidak sama dengan melawan. Setiap orang punya alasan untuk menolak satu atau beberapa pilihan tanpa harus menjelaskan secara rinci dan ilmiah alasan-alasan penolakannya. 


Yuk’s mulai belajar menghargai dari rumah sendiri.

 

Setiap mahluk punya fase istirahat. Melihat istri tertidur atau duduk santai ketika suami pulang kerja bukan berarti dia bermalas-malasan sepanjang hari. Istirahat sangat jauh berbeda dengan malas. Istri/suami jangan merasa bersalah saat membutuhkan fase ini.  Hal ini rentan dialami saat memiliki satu atau lebih anak yang berusia balita. Pekerjaan rumah sangat mungkin terbengkalai karena harus merawat balita yang nota bene aktif bergerak dengan rasa ingin tahu yang besar. Jika suami yang pulang kerja langsung protes karena lantai kotor belum disapu, istri yang kelelahan seharian dirumah berjuang akan merasa sakit hati. Sekedar makan atau mandi saja membutuhkan perjuangan hebat, dengan mudahnya suami menempelkan kesan malas itu. Berhati-hatilah kalau istri tidak hobby ngomel, maka kesan-kesan yang menyakiti hatinya akan tersimpan rapi dalam ingatan. Parahnya lagi kalau tinggal serumah dengan mertua. Terkadang ada mertua yang merasa paling rajin di dunia. Melihat menantunya istirahat membuat hatinya panas. Ini persoalan yang berbeda lagi.

 

Wahhhh! terbayangkan rumitnya sebuah hidup pernikahan. 

 

Nyatanya pernikahan juga menyimpan sisi manfaat yang menyenangkan. Sebagai keputusan hidup yang sakral, menikah dapat meningkatkan gaya hidup sesorang menjadi lebih sehat dan bahagia. Yang terpenting adalah memiliki kemampuan merasa cukup dan mensyukuri anugerah semesta. Terkadang konflik hadir dari yang ringan sampai dengan pertengkaran hebat. Sesekali mengalah bukan berarti kalah. Karena menikah tidak sama dengan bertarung. Diam bukan berarti berhenti, melainkan istirahat sejenak untuk mempersiapkan langkah start kearah yang lebih baik.

 

Hidup tak selamanya bahagia atau selamanya susah. Untuk tetap bertahan, badai pun harus terus bergerak. Dia tidak akan diam disatu tempat secara terus menerus.

Jangan memenjarakan diri dengan membiarkan tubuh dan pikiran terjebak dalam perasaan dan pikiran yang tidak tepat (alias berlebihan).

 

Diluar rumah kita berjuang, beringas bertarung dengan segala tantangan dan pekerjaan. Kembali ke rumah adalah saat kita kembali memeluk rasa tenang dan damai. Yang mampu menciptakan itu semua adalah diri kita sendiri.

 

Hanya karena seseorang pernah gagal dalam menjalin hubungan dalam pernikahan, bukan berarti dia tidak boleh melanjutkan kebahagiaannya. Di depan jalan masih terbentang panjang. Kita tidak mungkin duduk sepanjang waktu membolak-balik buku cerita yang sama. Hal yang paling tepat dilakukan saat mengalami kondisi darurat adalah menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu. Semua kembali kepada pribadi masing-masing. Niat baik pasti akan membantu hidupmu disaat yang tepat.

 

Lalu mengapa orang-orang sangat peduli menanyakan kapan akan menikah? Kapan akan punya anak? Tanpa menyampaikan tantangan apa saja yang ada di depan. Seringkali kita dengar kata-kata, “Nikah saja dulu, nanti belajarnya sambil jalan.”

Walaupun ungkapan itu bernada memberi semangat agar tidak takut dan pesimis, alangkah baiknya generasi milenial tetap bijaksana dalam mengambil langkah hidup mereka. Persiapan yang matang sebelum menikah tentu akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Apapun keputusannya, semua mempunyai nilai lebih dan kurangnya masing-masing.

 

Tulisan ini dibuat bukan karena penulisnya merasa paling sukses dalam melalui pernikahannya. Catatan ini lahir dari sebuah pengalaman yang masih terus melaju ke depan, kepada waktu yang tetap menjadi misteri bagi setiap jiwa. Proses belajar terus berlangsung sepanjang hidup. Pelajarannya menyesuaikan waktu, tempat, dan situasi yang terus berubah-ubah.

 

Bagi saya, tidak ada yang sempurna sebelum perjalanan itu selesai.

 

Jika ada yang harus diperbaiki, mari kita bertutur bersama dengan secangkir kopi dan pisang goreng di meja makan.

 

Love you Universe




 




 


EmoticonEmoticon