NAPAS TITIPAN


Wajahnya kusut masai. Gelap mendominasi aura yang terpancar. Dahinya tertata apik oleh kerutan demi kerutan kulit yang makin menua. Beban yang berat hadir nyata dari wajah yang melipat.

Kadir adalah mahluk dari alam bawah yang sedang diberi kesempatan untuk mencicipi rasanya jadi manusia. Ternyata alam manusia itu kejam, sungguh kejam. Langkahnya terseok-seok menahan nyeri. Kawan-kawannya silih berganti memanfaatkan Kadir demi keuntungan sendiri. Pekerjaan yang digeluti malah melemparnya semakin jauh ke dasar jurang. Sebuah tempat yang sepi, pengap, lengang, dan gelap.

“Mengapa kau tidak kembali saja?” tanya Bambang, sahabatnya. Mereka sudah bersahabat sejak masih menjadi siluman. Bambang banyak memengaruhi hidup Kadir dimasa lalu. Dia juga yang membuat Kadir bisa mendapat kesempatan untuk mencoba peruntungan sebagai manusia. 

Ketika diberi pilihan, Bambang meminta dilahirkan disebuah keluarga petani sederhana. Sedangkan Kadir memilih peruntungan yang lebih baik. Perpisahan dengan Bambang membuatnya menempuh jalan sesat. 

Kadir memilih rahim istri seorang tuan tanah. Besar harapannya untuk memperbaiki hidup menjadi lebih bergengsi. Uang dan kekayaan tentu memiliki kemampuan menyihir penduduk di kampungnya. Keluhuran budi pakerti menjadi terlupakan. Seperti barang bekas yang sebaiknya diletakkan jauh-jauh dari akal sehat.

Lahir dalam lingkaran kehidupan keluarga kaya membuatnya lupa kepada tujuan kelahiran kali ini. Kehidupan di neraka nyata ini penuh dengan godaan harta, tahta, dan cinta. Semua hal yang kemudian menghalanginya pulang kepada sifat-sifat luhur manusia.

Istri tuan tanah itu bernama Retno. Perempuan dengan garis rahang yang tegas. Setiap permintaan yang keluar dari mulutnya adalah perintah. Kadir dijaganya bagai buronan. Hidupnya dipantau dengan pengawasan melekat. Bahkan ketika Kadir memilih Nunung sebagai istri, sang Ibu enggan menyadari posisinya ada dimana.

Retno mampu membelokkan rencana matang yang siap dieksekusi beberapa jam lagi. Kehadiran Nunung menjadi bulan-bulanan Retno. Jangankan membela cintanya kepada Nunung, menolong pikiran-pikirannya sendiri saja Kadir tidak mampu. 

Nunung patah arang. Rumah tangganya bersama Kadir semakin tidak nyaman. Permasalahan mereka bukan hanya menjadi urusan sepasang suami istri saja. Dilain pihak, Kadir juga tertekan karena terkesan harus memilih satu diantara dua. Kadir terbunuh pelan-pelan oleh sikapnya yang mengambang ke kanan ke kiri bagai air di daun talas.

Seiring berjalannya waktu, Nunung menjadi keras kepala dan cenderung untuk berontak. Orang-orang yang tidak tahu menahu tentang akar masalah justru menyudutkan posisi Nunung. Bukannya dibantu keluar dari kubangan, Retno malah menekan kepala Nunung terjerembab semakin jauh ke dasar lumpur. Sebagai Ibu, Retno merasa berhak untuk menguasai hidup putranya. Jika hidup sang anak ada dalam kendali Retno, secara otomatis Retno merasa kehidupan menantunya juga ada dalam kuasanya.

“Yang aku sedihkan hanyalah ketidakmampuanku menolongmu. Aku hanya bisa diam dan bengong saja. Hasil perbuatanmu menjadi urusanmu sendiri. Kalaupun dulu kau diberi kesempatan yang sama, itu bukan karena aku. Kamu sendiri yang berhasil meniru jalan pilihanku.” Bambang tergopoh-gopoh membantu Kadir yang melangkah dengan terhuyung. Tumpukan kertas-kertas putih yang dikempitnya pada ketiak jatuh berserakan di lantai.

“Apa ini?” Wajah Bambang bertanya.

“Wasiat jika aku mati.” Kadir menyandarkan keningnya di tepi daun pintu dialasi dengan satu tangan. Kadir sedang mengatur irama jantung yang hilang timbul.

“Aku putus asa,” lanjutnya lesu.

"Aku mencintai Nunung!" Suara Kadir makin lirih.

"Sebelum menolong istrimu, lebih baik kau tolong dirimu sendiri terlebih dahulu, Dir!" Bambang mengguncang lengan lunglai disampingnya.

“Coba kau menemui seorang dokter yang praktek di ujung waktu. Mungkin dia dapat membantumu keluar dari masalah.” Bambang memberi saran sambil membantu Kadir menyusun kembali wasiat-wasiat yang tercecer dan kotor oleh cipratan karma yang kelabu.

Bambang kesal bukan pada penderitaan yang sedang dialami Kadir.  Melainkan karena ketidakmampuannya untuk mengatasi hal-hal yang bebas merajah hidupnya.  

Kadir tidak mau mendesak dirinya untuk segera membuat pilihan. Bukannya menentukan keputusan dari pemikiran akal sehatnya, ia malah sibuk mencerna pendapat orang lain. Mengikuti perintah Retno atau pun menjalankan rajah pesan dari kawan-kawan yang hanya mencari keuntungan pribadi. Kadir mulai mengalami kesulitan untuk meletakkan pikiran-pikirannya diatas pemikiran orang lain. 

Kadir memandang langit-langit. Sorot matanya sangat tertekan seperti seorang tahanan lapas yang menunggu sidang. Pertahanan akal sehatnya berserakan dilantai. Pandangan suramnya digelitik suara dokter yang membangunkan dari lamunan.

“Jadi selama ini siklus napas sudah tidak teratur ya?”  dokter itu mengulang informasi awal kedatangan. Kadir mengangguk pelan.  

“Sebelum ngobrol lebih lanjut, kita lihat dulu rekamannya, ya!“ Dokter itu tersenyum sambil mengoleskan sebuah krem dingin pada dahinya.

“Tahan, ya!“ Dokter itu mulai menyentuhkan sebuah alat pada area diatas kedua alisnya. Alat itu lebih mirip dengan alat penghisap debu mini. 

Aroma  wangi dokter mulai membangunkan bulu-bulu halus tubuhnya. Kadir memejamkan mata, sejenak berpikir dan menimbang-nimbang keputusannya. Apakah akan melanjutkan pemeriksaan ini atau tidak.

Kadir memandang layar di atas tempatnya berbaring, Layar itu menampilkan gambar dari mesin yang sedang memindai perbuatan sebelumnya..

        “Apakah saya masih mungkin untuk bahagia, Dok?” Dahi Kadir berkerut-kerut menampakkan keraguan.

“Sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan lengkap, ya?” Dokter itu menghentikan gerakan tangannya. 

“Belum, Dok!“ jawab Kadir datar.

“Kalau begitu, tahu darimana jika ada perbuatan sebelumnya yang bermasalah?“ Dokter itu kembali menahan senyumnya. Sedikit demi sedikit dokter mulai memahami Kadir sebagai manusia yang tidak punya pendirian. Menyadari jika Kadir telah melupakan jika hidup di dunia hanya bertamu. Memberikan tanggung jawab membahagiakan diri sendiri, justru kepada orang lain.

“Buktinya sampai sekarang saya tidak kunjung bahagia.“ Kadir membela pendapatnya. Merasa pikirannya paling benar. 

“Banyak sekali faktor penyebab mengapa seseorang tidak bahagia. Dan itu bukan melulu masalah fungsi organ. Orang awam sering memberikan vonis kepada tubuhnya sendiri. Padahal itu hanya ungkapan putus asa seolah-olah sudah tidak ada jalan lain.” Perempuan didepannya tersenyum.

"Dari pengamatan yang tampak, hidup Bapak terlihat baik-baik saja. Maaf, jika Bapak ingin segera melepaskan beban, sebaiknya Bapak datang dengan hati yang lebih tenang dan ikhlas.. Nanti saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.“ Dokter itu mengusap area pemeriksaan tadi dengan tissue kering. 

Kadir mengangguk tanda mengerti. Menuruni ranjang sambil menarik napas dalam-dalam. Dengan sisa kemampuannya sebagai lelaki, Kadir merayu napas yang sedari tadi menemani dengan terpaksa. Melangkah keluar dan menutup pintu ruangan dengan perlahan. Berharap jika masih ada kemungkinan untuk memperbaiki tingkah lakunya, sebelum semuanya terlambat. 

Kadir menyerahkan secarik kertas kepada petugas yang mengatur jadwal periksa pasien berikutnya, kemudian memilih salah satu kursi yang masih kosong untuk menunggu panggilan pembayaran tagihan konsultasinya.

Ahhh, Bambang benar, pikirnya.


EmoticonEmoticon