Malaikat Bersayap

Malaikat Bersayap

Biarkan aku mengendap sebagai luka lama yang berangsur-angsur sembuh, yang sabar menemanimu menangis demi menghangatkan sepi.
Biarkan jiwaku menjaga tubuhmu yang sedang berkelana.


(Lukisan yang tergantung di Lantai 25 Rumah Sakit MRCCC Siloam Hospital Semanggi Jakarta)
 

"Jangaaan!" Teriakan Harum tertahan sepasang tangan dengan jari-jari kuat menekan bibirnya. Tangan kekar dan panas seorang lelaki. Entah datang dari arah mana. Dalam kegelapan tubuh yang kuat itu menghimpitnya ke pintu mobil. Lelaki itu semakin beringas tak terkendali. Dengan cepat tangan-tangan liar itu berusaha melepaskan jas putih yang menutup tubuh bagian atas. Otot paha yang kencang menahan tubuhnya hingga tak bisa bergerak. Harum berjuang mati-matian melepaskan diri dari cengkeraman lelaki asing itu. 

"Diammm!" Lelaki itu berteriak. Dengusan napasnya yang berbau alkohol mulai menjarah. Bibir panas itu mulai bergerak cepat mencium leher Harum yang jenjang. Dengan keberanian yang masih tersisa Harum menggigit kuping lelaki itu hingga mengerang kesakitan. Aroma darah segar mulai tercium.  Lelaki asing itu semakin berang. Dia memegang kuping yang robek oleh taring gigi Harum. Dengan kasar dijambaknya rambut Harum hingga tubuh Harum terjerembab ke belakang. Gadis berkulit kuning langsat itu mengerang di atas ubin kasar. Rasa kesal membuat lelaki itu makin buas bergerak di atas tubuh perempuan muda yang tampak sangat ketakutan.

"Buggg...!" Suara benda tumpul memukul lelaki itu tepat dibelakang kepalanya. Tiba-tiba lelaki itu diam tak bergerak. Seluruh kekuatan yang menindih tubuh harum lenyap seketika. Harum memanfaatkan situasi yang datang. Dia segera menggeliat bangun dan memperbaiki pakaiannya. Untunglah hari ini dia mengenakan setelan celana jeans dan kemeja berlapis. Setidaknya lelaki itu membutuhkan waktu panjang untuk memporak-porandakan kehormatannya. Geraknya cepat masuk ke dalam mobil dan segera menguncinya dari dalam. Yang ada di dalam pikiran Harum hanya satu. Segera pergi dari tepian jalan tempatnya memarkir mobil. Sejak pagi parkir rumah sakit sangat penuh sesak sehingga dia memilih parkir agak jauh.

"Tunggu!" Teriak lelaki yang telah menolongnya. 

Harum menyempatkan diri untuk menoleh ke arah datangnya suara. Seorang lelaki yang paling dibencinya sampai hari ini sedang berdiri tepat di depan mobilnya. Tidak mungkin menabrak lelaki yang sudah membantunya tadi. Sesungguhnya ini pertemuan kedua mereka setelah perpisahan beberapa tahun yang lalu. 

"Tolong antarkan aku pulang!" pintanya.

"Masuklah!" jawab Harum dengan bibir bergetar. Kakinya bagai mengambang di atas pedal gas mobilnya. Mata yang merah menahan tangis itu memandang awas kearah sekeliling jalanan yang sepi. Dia menyimpan banyak kekhawatiran. 


Bagaimana kalau laki-laki tadi adalah salah seorang anggota geng motor? Bagaimana kalau laki-laki asing itu bangun lagi dan mengejarku? Bagaimana kalau ada yang melihat peristiwa ini? pikir Harum dalam kalut.  


"Ayo, kita jalan saja!" ajak Awan menyadarkan Harum dari kalutnya.

Tanpa menjawab Harum menurut. Mobil berwarna putih mutiara itu segera melaju meninggalkan seorang lelaki asing yang terbujur tak berdaya. Tidak seorang pun dari mereka berdua ingin tahu kondisi orang itu. Harum akan menunggu panggilan polisi jika memang ada yang melaporkan peristiwa malam ini. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah segera meninggalkan lokasi. 

Sambil tetap fokus dengan jalanan yang dilalui, Harum melirik tubuh lelaki kekar yang duduk disampingnya. Lelaki yang dadanya pernah menjadi sandaran kepala disaat lelah. Lelaki yang pundaknya pernah digelayuti dengan manja. Lelaki yang selalu menemani hari-hari Harum dimasa lalu.

 “Mengapa dulu kau tidak mau menungguku?“ gumam Awan datar.  Entah apa yang mendorongnya mengeluarkan kata-kata itu. Harum lebih memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Awan. Hatinya masih kacau. Dia berusaha menata detak jantungnya yang hampir amblas. Hening, dua anak manusia itu hanya terdiam. Masing-masing kepala sibuk dengan pikirannya.

“Aku merasa ada sesuatu yang engkau sembunyikan. Apakah dokter muda itu sungguh mencintaimu?“ celetuk Awan tiba-tiba  mengejutkan Harum.

“Kamu memang sudah menolongku tadi. Tapi bukan berarti kamu boleh banyak bicara." Harum mengerutkan keningnya.

"Jangan menggangguku!“ Harum menambahkan.

“Aku tidak akan melakukannya.“ Awan membela diri.

“Ya, aku percaya. Kalau tidak, mana mungkin aku memberimu tumpangan." Harum mengejar mata Awan dengan galak. Harum belum mampu menyembunyikan rasa penasarannya. Angin mana yang membawa Awan datang menolong disaat yang tepat.

“Aku mencintaimu, Har!“ suara Awan cepat

"Diamlah! Please...." Harum melambatkan laju mobil.

“Aku sudah bertunangan. Diamlah!" lanjut Harum. 


Apa hebatnya mendengar ulangan kata cinta dari seorang mantan kekasih yang sudah menghianatiku, pikir Harum.


“Cinta tidak mengenal musim. Ijinkan aku menjelaskan semuanya, Har!” Wajah Awan sungguh memelas.

“Omong kosong! Aku sudah rela melepaskanmu,“ suara Harum semakin tinggi. 

"Sudahlah, diam dan jangan bicara lagi!" Harum memperbaiki posisi duduknya.


Aku adalah bagian yang selalu engkau lewatkan. Kehilanganmu membuat jiwaku penasaran. Andai Kau mengerti jika yang paling menyesakkan dan membuatku berdarah-darah adalah mengenangmu, keluh Awan.


Terhenyak, ingin rasanya Awan segera memeluk erat tubuh perempuan di sampingnya. Melumat bibir ranumnya hingga aliran listrik kembali menyengat sampai ujung kepala. Sampai kapanpun dia akan tetap mencintai perempuan ini.

Isi kepalanya menerawang lagi. Mengenang masa-masa terbaik dalam kehidupan percintaan mereka. Ketika hubungan itu hadir bagai cahaya pagi yang menghangatkan hari.


Awan segera menarik kepalanya ke belakang, lalu bersandar di jok kursi tempatnya duduk. Tidak mungkin bermimpi melakukan itu lagi. Keadaannya sudah tidak sama. Ragu-ragu diliriknya perempuan yang dulu pernah dia pertahankan dengan segenap kemampuan.  “Kapan bisa bertemu lagi?“ Suara Awan berusaha menggapai telinga Harum. Menoleh saja tidak dilakukannya, apalagi menjawab pertanyaan Awan. Pandangan Harum lurus ke depan. Awan mengerti jika tidak mungkin memaksa lagi. 


Dengan tangan kanannya, Awan memberi isyarat untuk berhenti. Mobil sedan mungil itu menepi, tepat di depan Panorama Town House Lebak Bulus Jakarta Selatan. Perlahan dia turun dan berlalu menjauh. Dari balik punggungnya hanya terdengar ucapan terima kasih. Tubuh Awan tenggelam di dalam gelap. Harum menyempatkan diri untuk melirik deretan rumah yang tertata rapi itu. Mengingat cerita masa lalu membuat kerut-kerut amarah yang tadi melukis bibirnya mendadak menghilang. Ada sesuatu yang terasa aneh. Aroma busuk berhembus semakin lama semakin kuat menusuk hidungnya. Harum segera menginjak pedal kopling dengan penuh dan memindahkan tuas transmisi dari posisi netral ke posisi gigi satu. Mobil mulai melaju setelah pedal gas di bawah kaki kanannya diberi tekanan. Harum mencoba mengintip ke belakang dengan bantuan kaca spion yang menempel pada plafon mobil di atas kepalanya. Dia sangat khawatir ada sesuatu yang aneh disana. Harum mengusap dadanya, semua baik-baik saja. Hampir saja dia kembali memanggil nama Awan. 


Harum menyusuri jalan TB Simatupang yang tidak pernah mati. Dari pagi hingga pagi lagi manusia seakan tidak pernah berhenti bergerak. Harum tersenyum kaku, menelan ludahnya. Sungguh ia tidak pernah menyangka, setelah beberapa tahun berpisah dengan Awan, mereka dipertemukan kembali di salah satu jalanan di pinggir kota Jakarta. Lelaki yang pernah singgah itu belum berubah. Harum berusaha menghapus ingatan. Harum berupaya menyembunyikan perasaannya jika malam ini rindu mereka berlarian saling mendahului.

"Dia sudah meniduriku," aku Sarah pelan.

Harum menoleh ke samping. Ditemukannya wajah Sarah yang menunduk. Tak percaya dengan kata-kata yang baru saja mengusik telinganya, Harum mengguncang pundak Sarah.

"Kamu bicara apa tadi?" selidik Harum.

"Awan sudah meniduriku," ulang Sarah pelan.

"Kamunya yang mau kan?" Harum balik bertanya.

Sarah menundukkan kepalanya lebih dalam. Harum hanya menatap jengah perempuan muda disampingnya. Kalau bukan karena rasa kasihan yang datang menyelinap, sudah sejak tadi Harum menampar pipi putih mulus Sarah.

"Dimana kalian melakukannya? Di kamar kos ini? Siaaal!" teriak Harum sambil berdiri. Lututnya gemetar menyangga tubuh yang mulai oleng.

"Jangan dijawab, aku tak bersungguh-sungguh ingin tahu bagaimana penghianatan itu kalian lakukan! Keluar dari kamarku!" teriakan berikutnya makin memekakkan telinga. Malam yang lengang menjadi saksi pertengkaran hebat di kamar kos mereka di salah satu sudut selatan pulau Bali.  

Sarah beringsut mengambil tas besar yang sudah dia persiapkan sebelumnya. Apalagi yang mungkin dilakukan Harum selain mengusirnya. Tarikan napas yang semakin memburu membuat Sarah bergerak lebih cepat. Itu menjadi malam terakhir Harum dan Sarah ngobrol berdua di kamar kos mereka. Sakit hati Harum sudah sampai diujung. Dipandangnya hasil test pack kehamilan yang tergeletak disamping tempat tidur mereka. Ada dua garis merah muncul dengan jelas. 

Mengingat cerita itu membuat Harum menarik napas panjang. Semakin ke depan, nyatanya hanya waktu yang menyembuhkan luka hati. Masa lalu memang susah untuk menghilang. Dia selalu bimbang untuk menemukan jalan pulang. Itulah alasan kuatnya merantau ke Jakarta. Sebuah kota asing yang kini menjadi rumah baginya. Bersyukur pekerjaannya sebagai seorang dokter berhasil membuatnya sibuk dan perlahan-lahan hanyut dalam rutinitas baru. Di kota ini juga dia bertemu lelaki lain yang berhasil membuatnya lupa, jika sebelumnya pernah sangat hancur.


Hari ini adalah jadwal Harum untuk jaga di IGD. Dengan semangat dia mengosongkan segelas susu hangat dan melumat tuntas roti lapis berselai nanas kesukaannya. Setelah mengucap syukur atas berkah Tuhan, Harum bergegas mengambil jas putih bersih yang tergantung di lemari pakaian. Langkahnya pasti menyambut hari. Harum adalah seorang dokter di rumah sakit Mitra Sehat. Ada banyak kondisi yang membuatnya menyelesaikan pendidikan kedokterannya dalam waktu singkat. Kemampuan akademis yang sempurna dan rasa sakit hati membuatnya bertekad untuk cepat.

 "Code Blue!!!" Teriak seorang perawat IGD. Teriakan yang paling dikhawatirkan seluruh nakes disana. Sebuah sinyal kegawatdaruratan. Sontak Harum melompat ke ruangan pasien yang dimaksud. Baru saja operan jaga dengan kolega sebelumnya. Suasana sibuk IGD rumah sakit Mitra Sehat sudah menyapanya. Perempuan malang di atas brankar itu berusaha bertahan dalam keadaan tersengal-sengal karena sesak napas. Disampingnya berdiri seorang laki-laki berpakaian lusuh.

"Saya suaminya, Dok!" ujar laki-laki itu dengan wajah pucat.

"Ah, iya ya...!" Jawab Harum singkat masih dengan perasaan bingung dengan pemandangan yang ada didepannya. Entah apa yang menjadi alasan alam semesta mempertemukannya dengan perempuan ini lagi. Harum mengusir rasa penasarannya dan bergerak cepat untuk memberi pertolongan.

"Ambil set resusitasi di depan!" seru Harum kepada seorang siswa perawat yang mematung dengan wajah pucat. Mungkin ini pengalaman pertamanya menyaksikan pasien yang sedang bertaruh nyawa. "Pasang monitor, panggil residen anastesi untuk evaluasi dan back up ICU...!" Intruksi Harum memenuhi sebagian ruang IGD

"Mohon menunggu diluar, Pak. Segera daftarkan istri Bapak di front office dan kami akan berusaha menolong istri Bapak." Harum memberi pengertian kepada suami perempuan itu.

"Tolong aku...." Sayup-sayup terdengar suara lemah pasien itu. Sebenarnya tanpa meminta tolongpun, Harum tidak pernah ragu untuk memberi pertolongan kepada setiap pasien yang datang. Hanya saja ketenangan Harum dalam bertugas hari ini cukup terganggu. Dia berusaha bersikap profesional dan menerima kenyataan. Perempuan ini adalah salah satu pasiennya di IGD hari ini, yang memiliki hak sama dengan pasien lainnya. 

"Siapkan set intubasi...!" seru Harum sambil memasang sarung tangan yang baru. Harum segera melakukan intubasi dan memompa napas pasien. Junior yang lain melakukan kompresi dada karena nadi semakin melemah. 

"Harum, ma...maafkan aku. Awan tidak ber...salah. Di...dia menyusulmu ke kota ini. Se...tahun yang lalu A...Awan sakit. Dia dikuburkan di TPU Ta...Tanah Me...Merah!" Sarah berjuang sekuat tenaga mengeja kalimat yang sudah lama ingin dia sampaikan. 

Berampul-ampul adrenalin sudah diinjeksikan. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dua puluh menit melakukan resusitasi jantung paru, layar monitor berseru nyaring menampilkan aktivitas datar jantung pasien. Kedua pupil Sarah berdilatasi maksimal.

Harum merasa seluruh plafon ruang IGD menghimpitnya dengan kuat. Sakit sekali, terlampau sakit untuk dia lalui sendiri.

"Maafkan aku, Ibu. Aku gagal lagi menjaga titipanmu. Bahkan sampai hari inipun aku masih tidak mampu menolong saudara sambungku sendiri," gumam Harum lirih. 


Dilepasnya jas putih yang membalut tubuhnya. Harum merasa sesak. Tatapan kosong jatuh kepada tubuh Sarah yang pucat pasi. Satu-satunya saudara perempuan yang dititip ibu sambungnya, ketika almarhum ayahnya menikah lagi. Lalu, siapa lelaki yang hadir menolongnya selama ini? Harum menutup wajahnya dengan kedua tangan.










 



EmoticonEmoticon